Pejabat pembina kepegawaian (PPK) disangsikan perannya mengawasi netralitas ASN selama pemilu. Salah satunya karena PPK diisi jabatan politik, seperti bupati. Untuk itu, Ombudsman siap mengambil alih pengawasan itu.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dihapuskan, pemerintah menyerahkan pengawasan netralitas aparatur sipil negara dalam Pemilu 2024 kepada pejabat pembina kepegawaian (PPK). Namun, banyak kalangan, termasuk Ombudsman RI, menilai keberadaan PPK ini tak efektif mengawasi ASN.
Bahkan, ada kekhawatiran bahwa PPK selaku pengawas internal berpotensi memobilisasi ASN dalam pemilu untuk mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Hal ini mengingat PPK diisi oleh jabatan politik seperti bupati, wali kota, dan menteri.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (22/11/2023), mengatakan, memang ada kekhawatiran bahwa pengawas internal ASN tidak menjalankan fungsinya selama Pemilu 2024. Untuk itu, lanjutnya, Ombudsman siap mengambil pengawasan terhadap netralitas ASN, termasuk terhadap kepala daerah, kepala desa, dan aparatur desa selama pemilu berlangsung.
”Dengan situasi yang ada sekarang, pengawas internal sulit berjalan maksimal, maka kami akan mengambil alih. Ketika pengawas internal tidak berfungsi dengan baik, atau bahkan menjadi bagian dari masalah, kami selaku pengawas eksternal siap mengawasi ASN, pejabat dan kepala daerah, kepala desa dan aparatur desa, serta penyelenggara pemilu,” katanya.
Dalam kesempatan terpisah, Pelaksana Harian Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Aba Subagja, saat peluncuran ASN Culture 2023 di Jakarta Selatan, Rabu, menyebutkan, dengan dihapuskannya KASN, setelah adanya revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, tugas mengawasi netralitas ASN selama Pemilu 2024 ada pada PPK.
”Mekanisme kewenangan menghukum pegawai (tidak netral) ada di pejabat pembina kepegawaian atau PPK. Selain itu, ada juga satuan tugas netralitas yang terdiri dari Kementerian PANRB, Bawaslu, dan Kementerian Dalam Negeri. Untuk sanksinya, nanti dikembalikan ke PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) masing-masing. Nanti ada teguran lisan, sanksi moral, dan yang lainnya,” ujarnya.
Aba mengatakan, netralitas ASN sudah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang menyatakan setiap pegawai ASN harus patuh pada asas netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tentang pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas pegawai ASN dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum 2024. SKB ini ditandatangani oleh Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Plt Kepala Badan Kepegawaian Negara Bima Haria Wibisana, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto, serta Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.
Kekhawatiran itu didasarkan karena PPK merupakan jabatan politik yang diisi oleh pemimpin daerah seperti bupati, wali kota, gubernur, dan menteri dalam negeri.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai keberadaan PPK tidak efektif memastikan netralitas ASN dalam Pemilu 2024. ”Hal yang dikhawatirkan justru pejabat pembina kepegawaian mengintimidasi, mengarahkan, dan memobilisasi pegawai ASN untuk keperluan politik ataupun nepotisme,” ujarnya.
Kekhawatiran itu didasarkan karena PPK diisi oleh jabatan politik di antaranya pemimpin daerah seperti bupati, wali kota, gubernur, dan juga menteri.
Berdasarkan Peraturan Badan Kepegawaian Negara, PPK mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai aparatur sipil negara dan pembinaan manajemen aparatur sipil negara di instansi pemerintah. Pasal 1 dalam peraturan itu menyebutkan keputusan PPK bersifat konkret, individual, dan final.
Ray menilai, dalam praktiknya, PPK kerap berlaku diskriminatif. Oleh karena itu, tiga tahun lalu dibentuklah Komisi Aparatur Sipil Negara yang dapat bersikap independen dan profesional dalam menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai. ”Dengan dihapuskannya KASN, ini sama saja kembali ke titik semula. Kerja-kerja ASN akan semakin jauh dari semangat profesionalisme karena mereka diangkat dan diturunkan dari jabatannya berdasarkan politik, bukan profesionalisme,” ujar Ray.
Buka posko pengaduan
Untuk menjamin pengawas terhadap ASN berjalan, Ombudsman RI akan memperkuat perwakilannya di 34 provinsi. Robert mengatakan, perwakilan Ombudsman yang sudah berdiri di 34 provinsi itu akan menilai apakah kinerja ASN sudah memenuhi asas integritas dan netralitas. Dalam waktu dekat, Ombudsman juga akan membuka posko pengaduan di setiap provinsi untuk memantau empat pilar pelayan masyarakat, yakni ASN, pejabat dan kepala daerah, kepala desa dan aparatur desa, serta penyelenggara pemilu.
Selama pemilu berlangsung, Ombudsman akan menilai sejauh mana sikap tidak netral ASN memengaruhi dan membawa kerugian publik. Selain itu, penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan politik juga akan diawasi. Hal ini untuk memastikan ASN bersikap netral dan berintegritas selama pemilu.
Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesian Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menyampaikan, semestinya KASN masih ada saat ini. Hal ini mengingat peraturan pelaksana undang-undang dibentuk paling lama enam bulan sejak UU ASN ditetapkan 3 Oktober 2023.
”Seharusnya saat ini KASN masih ada, tetapi belum jelas bagaimana pelaksanaan fungsinya. Kekhawatirannya, posisi dan pengaruh KASN melemah,” katanya.