Tak Mau Terpotong Masa Jabatannya, Tujuh Kepala Daerah Gugat UU Pilkada
Tujuh kepala daerah, di antaranya Wali Kota Bogor Bima Arya dan Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, berkeberatan jika masa jabatan mereka dipangkas.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Tujuh kepala daerah yang akan ”dipaksa” mengakhiri masa jabatan pada Desember 2023 meminta Mahkamah Konstitusi menetapkan agar mereka bisa tetap memegang jabatan selama lima tahun seperti diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Pilkada. Mereka berkeberatan jika harus berhenti pada akhir 2023 karena masa jabatan mereka terpotong antara dua hingga enam bulan.
Ketujuh kepala daerah itu mempersoalkan Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang mengatur, ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota serta Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023”. Mereka berkeberatan karena meskipun terpilih pada 2018, baru dilantik pada 2019.
Adapun ketujuh kepala daerah tersebut adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.
Dalam sidang perdana yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Rabu (15/11/2023), kuasa hukum para kepala daerah tersebut, Donal Fariz, mengungkapkan, Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada telah melanggar hak para pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum. Pasal 162 Ayat (1) dan (2) UU Pilkada mengatur bahwa kepala daerah memegang jabatan selama lima tahun. Namun, pasal yang diuji tersebut telah mengakibatkan pengaturan masa jabatan selama lima tahun tidak dapat diwujudkan.
Selain diatur oleh UU Pilkada, Donal juga mengungkapkan bahwa masa jabatan lima tahun juga dicantumkan dalam keputusan presiden (keppres) tentang pengangkatan tujuh kepala daerah tersebut.
Murad Ismail dilantik pada 24 April 2019 sehingga seharusnya memegang masa jabatan hingga 24 April 2024. Dengan berlakunya Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada, maka masa jabatan Murad terpotong selama lebih kurang empat bulan. Sementara itu, Emil Dardak akan kehilangan masa jabatan sekitar dua bulan (seharusnya sampai dengan 13 Februari 2024).
Bima Arya dan Dedie A Rachim akan kehilangan masa jabatan lebih kurang empat bulan. Marten A Taha terpotong masa jabatannya hingga enam bulan. Sementara Hendri Septa terpotong lima bulan. Adapun Khairul terpotong lebih kurang tiga bulan masa jabatan.
Sebenarnya siklus kepemimpinan lima tahun tersebut tidak mengganggu keserentakan pilkada. Akan lebih baik pemerintahan tetap dipegang oleh pejabat definitif, khususnya jika dikaitkan dengan penuntasan program politik dan kesinambungan pembangunan
Donal menilai, pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang memberikan jaminan kepastian hukum. ”Ketentuan di dalam Pasal 201 Ayat (5) UU No 10/2016 telah menciptakan ketidakpastian hukum, karena secara sadar ketentuan di dalam pasal a quo sama sekali tidak mempertimbangkan masa jabatan kepala daerah, terutama masa jabatan para pemohon a quo yang baru dimulai sejak 2019, meskipun para pemohon a quo dipilih melalui keserentakan pemilihan pada bulan Juni 2018,” papar Donal.
Para kepala daerah juga meminta MK agar mempercepat penanganan perkara tersebut untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi para kepala daerah tersebut jika diberhentikan oleh pemerintah. Selain itu, mereka juga meminta MK untuk tidak menunjuk serta melantik penjabat di wilayah-wilayah di mana para kepala daerah itu menjabat. Hal ini untuk menghindari adanya tumpang tindih hukum apabila MK mengabulkan permohonan.
Bima Arya yang hadir secara langsung di MK mengungkapkan, ada kekosongan norma di Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang diuji oleh para pemohon, yakni bahwa tidak diperhitungkan tentang masa jabatan. Ia memahami pengaturan tersebut karena ada situasi darurat di mana masa jabatan disesuaikan dengan keserentakan pelaksanaan pilkada pada 2024.
Tak ganggu keserentakan
Bima juga menyampaikan bahwa sebenarnya siklus kepemimpinan lima tahun tersebut tidak mengganggu keserentakan pilkada. Akan lebih baik pemerintahan tetap dipegang oleh pejabat definitif, khususnya jika dikaitkan dengan penuntasan program politik dan kesinambungan pembangunan.
Suhartoyo yang memimpin sidang meminta para pemohon memberikan narasi kepada MK, terutama apabila permohonan yang diajukan diakomodasi, bagaimana pemerintah harus menjelaskan mengenai perlakuan yang berbeda atau diskriminatif. Sebab, ada permohonan serupa yang sebelumnya sudah ditolak oleh MK.
Selain itu, ia juga mempertanyakan mengapa para kepala daerah itu mempersoalkan pasal tersebut saat ini. Sebab, sebelum maju dalam pilkada tahun 2018, mereka sudah mengetahui adanya Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang mengatur bahwa masa jabatan mereka akan selesai pada 2023. Ia juga mempertanyakan, apakah para kepala daerah terkait sudah mempersoalkan keppres yang tetap mencantumkan masa jabatan mereka selama lima tahun ke pengadilan lain.
”Karena keppres, kan, tidak sama dengan semangat yang ada di norma UU-nya. Lalu, tolong kami juga diberi data sebenarnya yang mengalami nasib yang sama, selain pemohon yang ada di sini, ada berapa lagi,” kata Suhartoyo.
Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra meminta agar pemohon memperjelas perbedaan permohonan yang diajukan dengan perkara serupa yang diputus oleh MK sebelumnya. Ia bahkan meminta pemohon membuat tabel perbandingan alasan permohonan dan batu uji yang digunakan dengan perkara-perkara sebelumnya
Saldi juga meminta pemohon untuk menguraikan tahapan pemungutan suara (pilkada), misalnya kapan akan dimulai hingga pengambilan sumpah dikaitkan dengan petitum yang dimohonkan. Selain itu, kuasa hukum pemohon juga diminta menambahkan keterangan siapa saja dari tujuh kepala daerah yang mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 205 Ayat (1) UU Pilkada yang akan mengikuti kontestasi dalam Pilkada 2024.