MK Belum Jadwalkan Pembacaan Putusan Pengujian Ulang Usia Capres-Cawapres
Penggugat meminta MK meninjau ulang putusan No 90/2023, sehingga dikajikan secara mekanisme hukum acara normal. Gugatan terkait proses pencalonan juga diajukan tiga aktivis 1998.
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi belum berencana untuk memutus pengujian ulang syaratusia calon presiden dan calon wakil presiden walaupun putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 diambil dalam kondisi sarat dengan pelanggaran etik. Perkara tersebut akan ditangani dengan mekanisme hukum acara normal. Padahal, Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan penetapan pasangan capres dan cawapres peserta Pilpres 2024 pada Senin (13/10/2023).
Putusan MK No 90/2023 menjadi dasar pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Melalui putusan itu, MK menetapkan warga negara yang belum berusia 40 tahun bisa menjadi capres maupun cawapres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan dari hasil pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Saat didaftarkan ke KPU, Gibran berusia 36 tahun, tetapi sedang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta.
Saat ini, putusan No 90/2023 tengah diuji materi di MK dan teregister sebagai perkara Nomor 141/PUU-XXI/2023. Perkara yang diajukan oleh Brahma Aryana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), mulai disidangkan pada Rabu (8/11/2023). Sehari kemudian, pemohon dan kuasa hukumnya sudah memasukkan perbaikan permohonan.
Semua perkara harus diperiksa sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Sebab, jika tidak sesuai, dapat dipastikan akan dipersoalkan oleh pihak yang berkepentingan
Juru bicara MK yang juga hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, mengungkapkan, semua perkara harus diperiksa sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Sebab, jika tidak sesuai, dapat dipastikan akan dipersoalkan oleh pihak yang berkepentingan.
”Setelah sidang pendahuluan, masih ada sidang perbaikan permohonan. Setelah itu baru dilaporkan ke RPH (rapat permusyawaratan hakim). Sabarlah,” kata Enny saat dikonfirmasi apakah perkara pengujian ulang pasal syarat usia capres dan cawapres sudah dibawa ke RPH atau belum, Jumat (10/11).
Dalam laman MK juga belum ada jadwal persidangan untuk perkara No 141/2023 tersebut.
Melalui perkara uji materi itu, pemohon meminta MK meninjau ulang putusan No 90/2023 yang telah mengubah bunyi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu menjadi, ”Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepada daerah”.
Mereka meminta MK membatasi kepala daerah yang bisa maju dalam pemilihan, menjadi berbunyi ”Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi.”
Saat ini, MK juga telah menerima permohonan menjadi pihak terkait dalam perkara tersebut, yaitu dari Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar. Keduanya sebenarnya mengajukan uji formil Pasal 169 huruf q UU Pemilu, tetapi belum juga diregister dalam Buku Register Perkara Konstitusi oleh Kepaniteraan MK.
KPU digugat
Selain permohonan pengujian ulang putusan MK, proses hukum terkait tahapan pemilu juga diajukan sejumlah pihak ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Pada Jumat (10/11), tiga aktivis 1998, yakni Petrus Hariyanto, Firman Tendry Masengi, dan Azwar Furgudyama, menggugat KPU dan mantan Ketua MK Anwar Usman, hingga Presiden Joko Widodo dan Menteri Sekretariat Negara Pratikno.
Gugatan dilayangkan karena KPU menerima berkas pendaftaran Gibran sebagai bakal cawapres. Padahal, saat Gibran mendaftar, Peraturan KPU (PKPU) No 19/2023 yang memuat ketentuan syarat capres dan cawapres belum diubah. Dalam PKPU itu masih diatur syarat capres dan cawapres adalah berusia minimal 40 tahun.
Sementara itu, Anwar Usman dinilai melanggar hukum karena terlibat dalam memutuskan perkara tentang syarat usia capres-cawapres yang sarat dengan pelanggaran etik.
Adapun Presiden Jokowi turut menjadi tergugat karena sebagai orangtua Gibran, Jokowi semestinya melarang anaknya melanggar hukum. Adapun Pratikno digugat karena diduga membiarkan Jokowi untuk tidak melarang dugaan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan KPU.
Firman Tendry Masengi mengungkapkan, jika para tergugat terbukti bersalah, pihaknya meminta hakim agar memutuskan penghentian pencalonan Gibran sebagai bakal cawapres. ”Pencalonan Gibran harus dihentikan karena proses pencalonannya ilegal,” tegasnya.
Gugatan serupa diajukan oleh Mardi Jaya, Ahmad Rizal Roby Ananta, dan Agung Tegar Prakoso ke PN Jakarta Pusat pada 2 November. Perkara tersebut akan disidangkan pada 16 November.
Menurut mereka, PKPU No 19/2023 masih berlaku mengikat. Untuk itu, harus dijadikan dasar oleh KPU dalam menerima pendaftaran bakal capres-cawapres karena belum ada perubahan yang dilakukan oleh KPU. Karena itu, yang dilakukan KPU dengan menerima berkas pendaftaran Prabowo-Gibran sebagai bakal capres-cawapres di Pilpres 2024 adalah melanggar ketentuan Pasal 13 Ayat 1 huruf q PKPU No 19/2023.
Selain itu, ada pula gugatan perbuatan melawan hukum oleh KPU yang diajukan Brian Demas Wicaksono. Gugatan tersebut diregister dengan nomor perkara 717/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst.
Melalui gugatan tersebut, Brian juga meminta KPU agar membayar ganti rugi sebesar Rp 70,5 triliun. Hitungan nilai kerugian itu merujuk pada keterangan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang digunakan untuk anggaran pemilu sebesar Rp 70,5 triliun.
Sementtara itu, di tengah proses hukum yang sedang ditempuh sejumlah pihak, KPU tetap melanjutkan proses pencalonan presiden dan wakil presiden. KPU segera menetapkan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, sebagai peserta Pilpres 2024.
”Semua dokumen persyaratan pendaftaran bakal pasangan capres-cawapres telah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kini tinggal menunggu ditetapkan pada 13 November 2023,” kata anggota KPU, Idham Holik, Jumat (10/11) di Jakarta.
Diduga ada motif politik
Menyikapi sejumlah gugatan tersebut, koalisi pendukung Prabowo-Gibran, Koalisi Indonesia Maju, menilai gugatan tersebut sudah bergeser objektivitasnya. Koalisi menilai, gugatan itu menjadi upaya mendegradasikan atau menggagalkan pasangan Prabowo-Gibran maju di Pilpres 2024.
“Kami melihat, ini mengindikasikan ada upaya ke arah sana, di mana objektivitasnya sudah bergeser, yakni pendegradasian," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Golkar Maman Abdurahman.
Menurut Maman, saat ini proses pemilu sudah berjalan. Karena itu, seharusnya putusan gugatan yang sudah diajukan MK, yakni putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, menjadi patokan untuk menjalankan pilpres mendatang. Terkait dengan layak atau tidak layaknya kontestan yang akan maju sebagai pemimpin mendatang, itu mutlak menjadi hak setiap masyarakat.
Wakil Komandan Echo (Hukum dan Advokasi) Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Habiburokhman, menduga, ada motif politik di balik gugatan-gugatan itu. Sebab, seharusnya apabila suatu pihak memiliki orientasi pada pelanggaran etik hakim MK dalam memutus gugatan, maka seharusnya dinamika itu sudah selesai sejak adanya putusan MKMK.
“Kalau orientasinya lain, maka dia menjadikan putusan tersebut sebagai alasan untuk mencari celah pembatalan putusan MK nomor 90 dan kalau sudah kesitu pasti sudah bukan penegakan etika lagi, pasti motif politik," ucap Habiburokhman.