Polemik putusan MK soal usia minimal capres-cawapres menuai komentar negatif publik. Ketua MK yang baru, Suhartoyo, berharap bisa memulihkan kembali citra MK sebagai penegak konstitusi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Polemik putusan usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden telah mencoreng citra Mahkamah Konstitusi atau MK sebagai lembaga hukum. Ketua MK yang baru Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra berkomitmen untuk memulihkan citra MK.
”Kami pokoknya berupaya memperbaiki bersama-sama kondisi hari ini yang sudah menjadi catatan bersama,” kata Saldi seusai rapat permusyawaratan hakim (RPH) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Dalam RPH pemilihan ketua MK pengganti Anwar Usman, sembilan hakim konstitusi menyepakati Suhartoyo sebagai Ketua MK dan Saldi Isra tetap menjadi Wakil Ketua MK. Adapun MK diamanatkan putusan Majelis Kehormatan MK untuk memilih ketua MK yang baru setelah pemberhentian hakim konstitusi Anwar Usman sebagai ketua MK.
Saldi mengatakan, ia dan Suhartoyo telah berdiskusi terkait situasi yang terjadi di MK. Kepemimpinan di MK mendatang juga diharapkan berjalan secara kolektif yang dikomandoi dwitunggal. Hal ini mengingat Suhartoyo sudah berada di MK selama hampir delapan tahun dan Saldi sudah 6,5 tahun.
Sementara itu, Suhartoyo mengatakan dirinya belum bisa memberikan komentar terhadap hal yang substansial. Ia masih harus menunggu hingga resmi dilantik sebagai ketua MK pada Senin (13/11/2023).
”Semua itu mungkin bisa kami sampaikan kalau saya sudah dilantik. Tapi, semangat kami berdua tetap sama bahwa yang sekiranya di MK itu dipandang ada yang tidak baik tentunya akan kami perbaiki bersama, termasuk bersama-sama dengan hakim yang lain karena ini, kan, kolektif kolegial,” ucapnya.
Kan, masih sidang, kalau masih sidang itu tidak boleh (dikomentari). Nanti ada MKMK lagi karena perkara sedang berjalan dikomentari.
Karena itu, Suhartoyo meminta agar publik terus mengkritik apabila ada pelanggaran atau hal yang tidak baik dilakukan oleh MK. Dengan demikian, MK senantiasa bisa mengevaluasi diri saat ada kesalahan kecil sekalipun.
Saat ditanya mengenai komitmen penyelesaian perkara-perkara di MK, khususnya terkait pemilu, ia enggan berkomentar karena proses persidangan tengah berjalan. Begitu pula saat ditanya mengenai desakan agar Anwar Usman mundur sebagai hakim konstitusi.
Adapun MK kini tengah memproses perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 yang menguji kembali syarat batas usia minimal capres dan cawapres yang sudah diputus dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan itu membolehkan seseorang berusia di bawah 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres asal pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih dalam pemilu termasuk pilkada.
”Kan, masih sidang, kalau masih sidang itu tidak boleh (dikomentari). Nanti ada MKMK lagi karena perkara sedang berjalan dikomentari,” katanya.
Saat ditanya lebih lanjut apakah perkara 141 akan diputus secara cepat mengingat tahapan pemilu terus berlangsung, Suhartoyo mengatakan, ”Nanti normal saja, semua penanganan perkara ada di kepaniteraan.”
Profil Ketua MK
Merujuk situs resmi MK, Suhartoyo sudah menjabat hakim konstitusi sejak 17 Januari 2015. Ia menggantikan Ahmad Fadlil yang habis masa jabatannya pada 7 Januari 2015. Suhartoyo mengawali kariernya sebagai hakim saat bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung pada 1986. Setelah itu, Suhartoyo dipercaya menjadi hakim di PN Curup (1989), hakim PN Metro (1995), hakim PN Tangerang (2001), hakim PN Bekasi (2006), dan hakim Pengadilan Tinggi Denpasar.
Selain itu, ia terpilih menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), hingga Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
Saat dipilih Mahkamah Agung untuk menjadi hakim konstitusi, pelantikan Suhartoyo menuai kontroversi. Pengangkatannya ditentang Komisi Yudisial karena ia masih ditelusuri terkait dugaan pelanggaran kode etik.
Dalam perkara nomor 90 terkait usia minimal capres-cawapres, Suhartoyo merupakan hakim yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion). Ia juga konsisten menolak permohonan serupa lainnya karena tak memiliki kedudukan hukum yang jelas.