RPH Bocor, Semua Hakim MK Dinyatakan Langgar Kode Etik
Seluruh hakim konstitusi dianggap melanggar kode etik karena membiarkan adanya kebocoran rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang bersifat rahasia.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK menyatakan seluruh hakim konstitusi melanggar kode etik karena membiarkan kebocoran informasi mengenai rapat permusyawaratan hakim atau RPH. Mereka diberi sanksi teguran lisan secara kolektif. Di sisi lain, hakim konstitusi Arief Hidayat menerima sanksi tambahan akibat pendapatnya di ruang publik.
”Para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi… menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif kepada para hakim terlapor,” ujar Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Jimly bergantian membacakan putusan aduan dugaan pelanggaran etik dengan dua anggota MKMK lainnya, yakni Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih. Adapun perkara itu dilaporkan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI), Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani, dan Alamsyah Hanafiah.
Dalam pertimbangannya, MKMK menemukan kebocoran informasi dalam RPH yang bersifat rahasia diuraikan secara jelas dan lengkap dalam pemberitaan di majalah Tempo bertajuk ”Skandal Mahkamah Keluarga” pada 22 Oktober 2023. Padahal, informasi mengenai RPH tidak dibuka untuk umum.
Bintan Saragih melanjutkan, MKMK telah memeriksa seluruh hakim konstitusi. Walakin, tidak ada hakim konstitusi yang mengetahui oknum pembocoran informasi rahasia RPH dalam proses penanganan perkara 90/PUU-XXI/2023. Sementara, apabila MKMK meminta kesaksian dari majalah Tempo akan terbentur Undang-Undang Pers.
”Namun, MKMK meyakini kebocoran informasi boleh jadi terjadi secara sengaja ataupun tidak sengaja dilakukan oleh hakim konstitusi. Secara kolektif, hakim konstitusi dianggap memiliki kewajiban hukum dan moral untuk menjaga agar informasi rahasia yang dibahas dalam RPH tidak bocor,” katanya.
Dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait dissenting opinion terhadap hakim terlapor tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi.
Sementara itu, hakim konstitusi Saldi Isra turut dilaporkan terpisah atas dugaan pelanggaran kode etik yang termaktub dalam pendapat berbeda atau dissenting opinion miliknya. Namun, MKMK berpandangan pendapat berbeda merupakan bagian yang tidak terpisah dari putusan perkara sehingga tidak bisa diganggu gugat.
Ungkapan emosional yang tertuang dalam bagian awal pendapat berbedanya juga dianggap tidak menyalahi kode etik. Perkara itu dilaporkan Dewan Pimpinan Pusat Advokasi Rakyat untuk Nusantara (ARUN), Advokat Lingkar Nusantara (Lisan), LBH Cipta Karya Keadilan, serta TAPHI.
Hal yang sama juga dipertimbangkan mengenai dugaan pelanggaran etik Arief Hidayat atas pendapat berbedanya pada putusan perkara 90. "Dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait dissenting opinion terhadap hakim terlapor tidak terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi,” kata Jimly.
Meskipun demikian, ungkapan Arief di depan media melalui wawancara terbukti sebagai bentuk pelanggaran kode etik. Atas hal tersebut, ia disanksi tambahan berupa teguran tertulis.
Selain itu, MKMK juga menyatakan Ketua MK Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Atas hal itu, Anwar juga diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan dilarang mengadili sejumlah perkara persidangan.