Komentar Warganet Jadi Bukti Laporan Dugaan Pelanggaran Etik
Pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam putusan soal usia capres-cawapres dinilai menodai marwah MK karena memicu kegaduhan. Namun, Ketua Majelis Kehormatan MK Jimly Asshiddiqie menepis pandangan ini.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komentar dari warganet di media sosial turut menjadi alat bukti dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi Saldi Isra. Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi itu dinilai telah memicu kegaduhan akibat pendapat berbeda atau dissenting opinion miliknya. Saldi bersama Hakim Konstitusi Arief Hidayat diminta untuk diberhentikan secara tidak terhormat.
Komentar warganet itu didokumentasikan oleh pelapor dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Advokasi Rakyat untuk Nusantara (Arun) untuk sidang pemeriksaan pendahuluan perkara pelanggaran etik kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Mereka menilai dissenting opinion dari Saldi Isra saat putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 memantik komentar kejam dari warganet terhadap MK.
”Keributan substantif yang hari ini terjadi tidak lepas bahkan didominasi oleh dissenting opinion dari Saldi Isra. Maka, kami menyerahkan ke Yang Mulia, mungkin tidak pemecatan, tetapi sesuai aturan yang berlaku. Kami tidak ingin marwah MK menjadi luntur karena peristiwa ini,” ujar pelapor, Ketua DPP Arun Bob Hasan, saat sidang pemeriksaan pendahuluan perkara di Majelis Kehormatan MK, Jakarta, Kamis (2/11/2023).
Putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 merupakan tafsir MK atas Pasal 169 Huruf (q) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Akibatnya, seseorang yang berusia di bawah 40 tahun bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden apabila pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
Saldi Isra merupakan salah satu dari empat hakim yang memiliki pendapat beda. Bob menilai, pandangan Saldi khususnya pada kalimat ”sejak menapakkan kaki di MK, 6,5 tahun lalu baru kali ini mengalami peristiwa aneh, mahkamah berubah sikapnya hanya dalam sekelebat…” tidak mengandung legal reasoning, tetapi curahan hati.
Akibat dissenting opinion dari Saldi, kata Bob, warganet berkomentar ”Hakim yang berubah pikiran mengabulkan permohonan mungkin terkena suap atau diintimidasi, harus diselidiki lebih lanjut”, ”Kalau diminta mundur hampir pasti tidak akan terjadi karena masih ingin memutus sengketa pilpres untuk keuntungan keponakannya”. Ada pula komentar tajam seperti permintaan pemecatan terhadap Ketua MK Anwar Usman hingga persepsi bahwa Anwar terlalu bernafsu.
Secara gamblang, Saldi Isra menceritakan dinamika rapat permusyawaratan hakim pada perkara 29, 51, 55 yang diputus tanpa kehadiran Anwar Usman dengan mayoritas hakim menolak. Seluruh informasi tersebut adalah termasuk privasi lembaga MK.
Komentar-komentar warganet ini dinilai muncul, kata Bob, setelah Saldi menyampaikan pendapat berbeda. Dissenting opinion dari Saldi memantik komentar tajam terhadap sosok Anwar dan merendahkan martabat MK. Selain itu, Saldi juga dipandang membocorkan informasi tertutup yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik.
Hal yang sama juga diutarakan pelapor lainnya, Wakil Ketua Umum Lisan, Ahmad Fatoni. Ia menilai pendapat berbeda dari Saldi telah viral, khususnya pada bagian ”peristiwa aneh” dan ”pendirian mahkamah yang berubah sekelebat”.
”Secara gamblang, Saldi Isra menceritakan dinamika rapat permusyawaratan hakim pada perkara 29, 51, 55 yang diputus tanpa kehadiran Anwar Usman dengan mayoritas hakim menolak. Seluruh informasi tersebut adalah termasuk privasi lembaga MK,” katanya.
Berdasarkan Pasal 17 Huruf (j) Undang-Undang 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), kata Fatoni, rapat permusyawaratan hakim termasuk informasi yang tidak boleh dipublikasikan. Selain itu, ada pula Pasal 40 Ayat (1) UU MK juncto Pasal 17 UU KIP dan Pasal 3 butir (1) Huruf (m) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. ”Perbuatan Saldi sama saja dengan membocorkan rahasia negara,” tutur Fatoni.
Selain itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat diduga melanggar etik setelah persidangan dilakukan. Arief berkomentar di hadapan publik mengenai pakaian hitam yang dikenakannya karena dirinya sedang berkabung akibat prahara di MK. Pernyataan Arief dinilai tidak pantas diucapkan di luar persidangan.
”Beliau (Arief) telah menuduh, putusan perkara 90 itu dipengaruhi aspek-aspek non-hukum. Pandangan dia di luar pengadilan membuat persepsi publik emosional publik meningkat mendegradasi MK, tempat beliau bekerja,” lanjutnya.
Berdasarkan hal tersebut, Saldi dan Arief diduga melanggar kode etik. Apabila terbukti, maka keduanya perlu disanksi pemberhentian secara tidak terhormat.
Ketua MKMK Jimly Asshidique, saat memimpin sidang, berpandangan, permintaan pemberhentian secara tidak terhormat dari pelapor cukup kejam. Padahal, kegaduhan publik sudah bermula sejak Agustus 2023, sebelum putusan perkara nomor 90.
”Ada laporan dari Denny Indrayana (pelapor lainnya), Agustus itu, putusan kan baru Oktober. Jadi bukan gara-gara putusan ini, sejak sebelumnya. (Tapi), Sesudah ada pengujian dan pengujiannya banyak. Sudah lama ini ributnya ini bukan gara-gara dissenting opinion,” ungkapnya.
Meskipun begitu, Jimly tetap menampung laporan dan permintaan dari para pelapor. Ia bersama anggota MKMK lainnya, Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih, akan menilai argumentasi serta bukti-bukti dari pelapor.