Dihukum Penjara 8 Tahun dan Dicabut Hak Politiknya, Lukas Enembe: Tolak!
Meski dinyatakan terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, majelis hakim menghukum Lukas Enembe terbatas 8 tahun penjara. Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni 10 tahun 6 bulan penjara.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe, terdakwa penerimaan suap dan gratifikasi, Kamis (19/10/2023), divonis hukuman 8 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp 19,6 miliar, serta pencabutan hak politik untuk dipilih selama lima tahun sejak selesai menjalani pidana. Vonis itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni pidana penjara 10 tahun 6 bulan.
Menanggapi vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tersebut, Lukas melalui penasihat hukumnya langsung menyatakan menolak.
Menyatakan terdakwa Lukas Enembe telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan gratifikasi.
”Menyatakan terdakwa Lukas Enembe telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan gratifikasi sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua penuntut umum,” kata Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Putusan itu disampaikan Rianto dengan didampingi dua hakim anggota, yakni Dennie Arsan Fatrika dan Ali Muhtarom.
Sebelumnya, jaksa KPK mendakwa Lukas bersama-sama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2013-2017) Mikael Kambuaya dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2018-2021) Gerius One Yoman menerima hadiah atau janji dengan total nilai Rp 45,84 miliar. Lukas juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 1 miliar.
Penerimaan hadiah atau imbalan itu seluruhnya terkait dengan upaya agar perusahaan yang digunakan oleh Piton Enumbi dan Rijatono Lakka, selaku pihak swasta, dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tahun anggaran 2013-2022.
Untuk itu, Lukas didakwa dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Adapun pada perkara gratifikasi, jaksa mendakwa Lukas dengan Pasal 12B UU Tipikor.
Lukas juga dinilai bersikap tidak sopan karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas berupa makian dalam ruang sidang.
Bersikap tidak sopan
Dalam putusannya, majelis hakim menyebutkan, Lukas juga dikenai denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara serta membayar uang pengganti sebesar Rp 16,9 miliar yang jika tidak dibayar diganti dengan 2 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak Lukas untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokok.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Lukas tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Lukas juga dinilai bersikap tidak sopan karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas berupa makian dalam ruang sidang.
Adapun hal yang meringankan, menurut majelis hakim, Lukas belum pernah dihukum. Meski dalam keadaan sakit, Lukas mengikuti persidangan sampai akhir. Selain itu, Lukas juga masih memiliki tanggungan keluarga.
Menanggapi putusan tersebut, Lukas melalui kuasa hukumnya yang duduk di sampingnya, Petrus Bala Pattyona, menyatakan menolak putusan itu. Sementara itu, jaksa KPK menyatakan pikir-pikir.
Seusai sidang, kuasa hukum Lukas, OC Kaligis, mengatakan, pihaknya akan langsung melakukan upaya banding pada Kamis ini. Petrus juga mengungkapkan bahwa dia sempat menyampaikan kembali putusan majelis hakim kepada Lukas. ”Beliau (Lukas) bisik kepada saya, tolak,” kata Petrus.