MK Minta Masyarakat Sabar Tunggu Putusan Batas Usia Capres-Cawapres
Masyarakat diminta sabar menunggu Mahkamah Konstitusi memeriksa perkara pengujian batas usia capres dan cawapres. MK menyatakan, perlu memeriksa perkara tersebut secara saksama.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi meminta semua pihak untuk bersabar menunggu putusan terkait dengan pengujian syarat minimal usia calon presiden dan wakil presiden yang kini tengah diuji MK. Lembaga tersebut sangat berhati-hati dalam memutus permasalahan tersebut.
Juru bicara MK yang juga Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, selain kehati-hatian, pengujian terhadap norma syarat usia capres dan cawapres yang diatur di dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 terus masuk ke MK.
”Perkara yang ditangani MK saat ini cukup banyak, termasuk permohonan pengujian materiil soal usia (capres-cawapres) dalam Undang-Undang Pemilu masih terus masuk. Semua permohonan harus dicermati secara saksama sehingga belum diputus. Mohon bersabar,” kata satu-satunya hakim konstitusi perempuan tersebut saat dikonfirmasi, Rabu (27/9/2023).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mempertanyakan lambatnya MK memutus uji materi batas usia capres dan cawapres. Hal ini mengingat pendaftaran capres dan cawapres pada Pemilu 2024 akan dibuka kurang dari satu bulan lagi, yaitu pada 19-25 Oktober. Padahal, menurut Mahfud, perkara pengujian konstitusionalitas batas usia capres dan cawapres tersebut sederhana (Kompas.id, 26/9/2023).
MK menerima banyak permohonan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Ada tiga perkara yang pemeriksaannya sudah selesai dilakukan MK, mulai dari pemeriksaan pendahuluan hingga pemberian keterangan pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang, pihak terkait, serta keterangan ahli.
Adapun ketiga perkara tersebut diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda), dan sejumlah kepala daerah (Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Mudhlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Albarraa).
Sembilan permohonan
Di luar ketiga perkara itu, MK menerima sembilan permohonan pengujian pasal yang sama yang diajukan oleh perorangan warga negara. Mereka yang mengajukan adalah Melisa Mylitiachristi Tarandung, Riko Andi Sinaga, Guy Rangga Boro, Hite Badenggan Lumbantoruan dan Marson Lumbanbaru, Almas Tsaqibbirru Re A, Arkaan Wahyu Re A, Rio Saputra dkk, Gulfino Guevarrato, dan Rudy Hartono.
Ada sejumlah varian batas usia capres dan cawapres yang diajukan pemohon. Misalnya, ada yang meminta agar batas usia minimal capres-cawapres diturunkan menjadi 35 tahun, 25 tahun, atau 21 tahun sama seperti syarat calon anggota legislatif. Selain itu, ada pula yang meminta agar MK menyatakan usia minimal capres dan cawapres tetap 40 tahun, tetapi membuka kemungkinan bagi orang yang belum berusia 40 tahun yang sudah pernah menjadi penyelenggara negara atau kepala daerah untuk mengajukan diri.
Selain batas bawah, batas atas usia capres juga dipersoalkan. Misalnya, ada pemohon yang meminta agar usia capres dan cawapres maksimal saat mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum adalah 65 tahun. Ada pula yang meminta batas atas usia calon adalah 70 tahun.
Persoalan usia capres dan cawapres merupakan open legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang.
Pengajar Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti, dalam keterangannya di persidangan 29 Agustus 2023, mengungkapkan, persoalan usia capres dan cawapres merupakan open legal policy atau kebijakan hukum yang menjadi ranah kewenangan pembentuk undang-undang.
Menentukan batas usia, misalnya untuk anggota parlemen yang 21 tahun, calon kepala daerah 25 tahun atau 30 tahun, sangat tergantung dengan perkembangan argumen yang sangat cepat karena sains pun bergerak cepat. Banyak hal yang harus dipertimbangkan sehingga pembentuk undang-undang sering mengundang ahli psikologi, ahli sosiologi, ataupun ahli politik untuk menentukan hal tersebut.
Bivitri juga mengatakan, tidak dapat mempersamakan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu itu dengan pengujian usia calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang oleh MK dibuka bagi orang yang kurang dari 50 tahun untuk maju dalam pemilihan (perkara 112/PUU-XX/2022).
Tak bisa disamakan
Seperti diketahui, revisi UU KPK terakhir membuat salah satu pimpinan KPK saat ini, Nurul Ghufron, tidak dapat maju kembali karena terhalang syarat usia yang belum 50 tahun. Ghufron kemudian mempersoalkan hal ini ke MK dan hakim MK mengabulkan permintaannya dengan menyatakan syarat usia minimal pimpinan KPK adalah 50 tahun atau sudah berpengalaman.
Menurut Bivitri, MK tidak dapat menggunakan logika ini dengan membuka keran bagi pihak yang sudah berpengalaman menjadi penyelenggara negara atau kepala daerah untuk maju sebagai capres dan cawapres meski usianya belum 40 tahun. Sebab, apabila disamakan dengan perkara Ghufron, calon yang dimaksud seharusnya juga sudah berpengalaman menduduki jabatan yang disyaratkan (presiden), bukan kepala daerah/penyelenggara negara.
”Kalau mau dijadikan ukuran, memang jadi harus berpengalaman yang sama. Berpengalaman dalam jabatan yang sama,” katanya.
Selain itu, menurut Bivitri, konteks pemilihan antara pimpinan KPK dan presiden/wapres berbeda. Pimpinan KPK dipilih melalui proses seleksi dengan mekanisme pemilihan yang lebih terbatas, sementara presiden dipilih secara langsung oleh rakyat atau popular vote sehingga keduanya tidak bisa diperbandingkan secara apple to apple.
Selain itu, kebijakan mengenai umur capres dan cawapres bukanlah dihasilkan oleh perubahan undang-undang seperti halnya yang ada di dalam UU KPK. Dengan demikian, apabila ingin mempersoalkan adanya diskriminasi dalam penentuan syarat usia capres dan cawapres, para pemohon seharusnya memiliki waktu untuk mempersoalkannya ke DPR mengingat aturan tersebut sudah ada sejak lama.