Demi menjaga netralitas ASN saat pemilu, seperangkat aturan diterbitkan pemerintah. Namun, pelanggaran netralitas tetap terjadi, tak terkecuali menjelang Pemilu 2024.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
HUMAS KOMISI ASN
Kampanye publik netralitas aparatur sipil negara (ASN) di Hari Bebas Kendaraan di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (10/3/2019).
Mengacu pada data Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), 64 ASN terbukti melanggar netralitas ASN saat pemilu sejak awal 2023. Pelanggaran itu seperti sosialisasi atau kampanye di media sosial; mengunggah, menyukai, membagikan, mengomentari, dan mengikuti grup atau media sosial dari bakal calon peserta Pemilu 2024, bahkan ada ASN yang menjadi anggota atau pengurus partai politik dan turut memberikan dukungan bagi bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Banyaknya pelanggaran netralitas ASN ketika Pemilu 2024 masih berada di tahapan awal itu menguak problem klasik pelanggaran netralitas ASN saat pemilu, yang belum juga bisa dicegah. Asisten KASN Pengawasan Bidang Penerapan Nilai Dasar, Kode Etik, dan Kode Perilaku ASN, dan Netralitas ASN Iip Ilham Firman bahkan memprediksi pelanggaran netralitas akan terus meningkat dan mencapai puncaknya saat masa kampanye. Tak hanya itu, ia memperkirakan pelanggaran netralitas di Pemilu 2024 lebih tinggi karena ketatnya kontestasi akibat lebih banyak parpol, bakal calon anggota legislatif (caleg), dan kemungkinan bakal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yang jadi peserta pemilu.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) saat mengikuti HUT Ke-45 Korpri Jawa Timur di Gedung Grahadi Surabaya, Selasa (29/11/2016).
Padahal, setumpuk aturan sudah diterbitkan pemerintah untuk membentengi ASN dari ”godaan” peserta pemilu. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, misalnya, mengatur tegas asas penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN adalah netralitas.
Kemudian, tahun lalu, lima pucuk pimpinan kementerian/lembaga, antara lain Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), KASN, dan Badan Kepegawaian Negara, juga menandatangani surat keputusan bersama berisi pedoman pembinaan dan pengawasan netralitas ASN dalam pemilu dan sekaligus pemilihan kepala daerah serentak nasional pada 2024, termasuk kode etik untuk ditaati.
Aturan dalam surat keputusan bersama ini lebih detail. ASN sebagai contoh tak boleh memasang alat peraga; ikut sosialisasi dan kampanye, baik daring maupun luring; serta hadir dalam kegiatan yang berkaitan dengan peserta pemilu.
Foto bersama
Tak hanya itu, di dalamnya bahkan diatur larangan bagi ASN untuk mengunggah, berkomentar, menyukai, membagikan, dan ikut bergabung dalam grup peserta pemilu atau akun pemenangan. Mereka juga tak boleh berfoto bersama calon, tim sukses, dan alat peraga para peserta pemilu.
Para aparatur sipil negara (ASN) mengikuti upacara Hari Ulang Tahun Ke-47 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (29/11/2018).
”Filosofinya demi menjaga netralitas ASN. Makanya, diatur mendetail hingga tak boleh like, share, dan comment di media sosial para calon peserta pemilu karena itu juga berindikasi menunjukkan keberpihakan,” ujar Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kemenpan dan RB M Averrouce.
Selain UU ASN dan surat keputusan bersama lima kementerian/lembaga, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antarlembaga Kemendagri Togap Simangunsong mengingatkan, UU No 10/2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah juga mengatur sejumlah hal yang mencegah pelanggaran netralitas ASN. Hal itu, antara lain, ialah larangan pegawai ASN, kepala desa, dan perangkat desa lain mendukung pasangan calon kepala-wakil kepala daerah tertentu.
Ada pula Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang melarang ASN memberikan dukungan kepada capres-cawapres, calon kepala daerah-wakil kepala daerah, dan caleg.
Lantas mengapa pelanggaran terus terjadi saat seperangkat aturan sudah dihadirkan?
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja (kiri) didampingi anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Menurut anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, sejumlah pemicu pelanggaran adalah adanya upaya dari ASN untuk mempertahankan jabatan, mengincar promosi jabatan, ketidakpahaman terkait regulasi, dan sanksi yang tidak menimbulkan efek jera. Ironisnya, tidak jarang terjadi para ASN pejabat struktural yang berpolitik umumnya justru tidak tersentuh karena mereka menjadi perantara antara peserta pemilu dan ASN. Sementara yang menjadi korban adalah staf.
Daerah rawan
Khusus untuk Pemilu dan Pilkada 2024, Bawaslu mengingatkan, terdapat 10 provinsi yang rawan pelanggaran netralitas ASN. Provinsi itu adalah Maluku Utara, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Sumatera Barat, Gorontalo, dan Lampung.
Adapun untuk kabupaten/kota dengan tingkat kerawanan tertinggi, antara lain, ialah Siau Tagulandang Biaro, Wakatobi, Kota Ternate, Sumba Timur, Kota Parepare, Bandung, Jeneponto, dan Mamuju.
”Bawaslu daerah harus merumuskan strategi khusus dalam menanggulangi pelanggaran netralitas ASN di lokasi rawan,” ujarnya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja (kiri) dan Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Pengawasan Netralitas ASN dalam Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024, di Jakarta, Selasa (31/1/2022).
Senada dengan Lolly, pengamat politik dari Universitas Nasional, Irfan Fauzi Arief, melihat banyak ASN yang bermain politik karena mencari jalan singkat untuk mencapai jabatan yang diinginkan.
”Tapi, ASN kadang dilema. Satu sisi sebagai birokrasi, dia pelayan rakyat, di sisi lain ASN berada dalam sebuah struktur di mana unsur pimpinannya adalah orang-orang partai politik,” ucapnya.
Menurut pengajar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, untuk mewujudkan ASN yang netral tak cukup dengan menghadirkan seperangkat aturan. Upaya pencegahan, seperti sosialisasi, teladan atasan, dan pengawasan oleh instansi asal ASN, juga penting. ”Sistem whistle blower atau pengaduan aman bagi jajaran ASN juga diperlukan agar mereka berani melaporkan koleganya yang terindikasi tak netral,” katanya.
Saat bersamaan, kerja sama antarlembaga, seperti Bawaslu dan KASN, diperkuat agar tercipta upaya preventif yang efektif dalam mencegah/menindak ASN yang melanggar.