Insiden Rempang, Komnas HAM Ingatkan Hak Warga Tak Dilanggar
Komnas HAM membutuhkan keterangan dari pihak aparat keamanan untuk menyelesaikan laporan akhir terkait indikasi pelanggaran HAM saat insiden Rempang, awal September lalu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menggelar konferensi pers tentang temuan awal konflik lahan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, Jumat (22/9/2023).
JAKARTA,KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM masih membutuhkan waktu untuk menyelesaikan laporan akhir terkait indikasi pelanggaran HAM saat dua kali bentrokan antara warga sipil dan aparat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, awal September lalu. Meski demikian, berbasis temuan sementara, Komnas HAM mengingatkan negara untuk tidak melanggar hak warga atas tempat tinggal yang layak. Negara juga tidak boleh merelokasi paksa karena hal itu bentuk pelanggaran HAM.
Sikap Komnas HAM itu disampaikan saat konferensi pers temuan awal Komnas HAM atas kasus Pulau Rempang di Jakarta, Jumat (22/9/2023). Konferensi pers itu dihadiri oleh Komisioner Komnas HAM Abdul Haris Semendawai, Uli Parulian Sihombing, Prabianto Mukti Wibowo, Saurlin P Siagian, dan Putu Elvina.
Komnas HAM telah melakukan pemantauan pada 15-17 September di Kota Batam dan Pulau Rempang. Pemantauan berdasarkan pengaduan dari Ketua Koordinator Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) terkait permohonan legalitas lahan masyarakat kampung-kampung di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru pada 2 Juni lalu. Selain itu, Komnas HAM juga melakukan audiensi dengan Himad Purelang soal penolakan warga atas rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) di Kawasan Pengembangan Rempang Eco City.
Komisioner Bidang Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Putu Elvina mengatakan, Komnas HAM telah memeriksa lokasi dan meminta keterangan warga di SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang, bertemu dengan warga Desa Sembulang, Desa Dapur 6, dan Pantai Melayu pada 16 September 2023. Mereka juga meminta keterangan dari kelompok masyarakat sipil, Kapolresta Barelang, serta keterangan dari tiga tahanan pada peristiwa 7 September dan tiga tahanan terkait peristiwa 11 September 2023 di Kota Batam.
Masyarakat adat dari berbagai komunitas Melayu di Sumatera Utara berunjuk rasa menyampaikan solidaritas atas konflik yang dihadapi masyarakat Melayu di Pulau Rempang, di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan, Medan, Jumat (15/9/2023).
Sejumlah temuan menonjol seperti Kepala Sekolah SMPN 22 Galang yang menyampaikan gas air mata masuk ke lingkungan sekolah berasal dari hutan yang berada di depan SMPN 22 Galang yang berjarak 30 meter dari gedung sekolah. Sebelum gas air mata masuk dan terdeteksi di lingkungan sekolah, kepala sekolah mendengar tiga kali dentuman dari hutan di depan sekolah.
”Berdasarkan informasi dari Kepala SMPN 22 ada 10 siswa dan satu orang guru yang harus dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan pertolongan karena mengalami sesak napas hebat, pusing, dan mual,” kata Putu.
Pihak SDN 24 Galang juga mendengar dentuman keras di beberapa titik di lingkungan sekolah dan seketika lingkungan sekolah dipenuhi gas air mata. Peristiwa pada 7 September 2023 itu masih meninggalkan dampak psikologis bagi siswa sehingga kehadiran siswa tidak pernah mencapai 100 persen pascaperistiwa itu.
Komisioner Bidang Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Saurlin P Siagian menambahkan, Komnas HAM juga menemukan korban bayi berusia delapan bulan yang terdampak hebat akibat penggunaan gas air mata pada peristiwa 7 September, di sekitar SDN 24 Galang.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Seorang siswa SMP N 22 Galang menangis ketakutan akibat bentrok aparat dan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Dari sisi aparat, Komnas HAM juga menemukan pengerahan 1.000 pasukan gabungan untuk mengamankan rencana pengukuran atau pematokan tata batas di Pulau Rempang oleh BP Batam pada 7 September. Bahkan, Kapolresta Barelang meminta tambahan 400 pasukan dari Polda Riau untuk mengantisipasi aksi masyarakat yang semakin besar dan tidak terkontrol.
Komisioner Komnas HAM Bidang Media Prabianto Mukti Wibowo mengatakan, temuan pengerahan 1.000 pasukan gabungan dan tambahan 400 pasukan itu menunjukkan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM yang masih perlu didalami lebih lanjut. Ini menunjukkan bahwa ada pengerahan aparat secara berlebihan dalam pengamanan pematokan tanah dan unjuk rasa di depan kantor BP Batam kala itu.
”Pengerahan aparat yang berlebihan ini masih kami mintakan klarifikasi ke Irwasum Polri,” kata Prabianto.
Aparat memadamkan kontainer yang dibakar dan digunakan warga untuk menghalangi laju aparat gabungan saat akan mengamankan pematokan dan pengukuran lahan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Terkait temuan awal ini, Komnas HAM menyampaikan rekomendasi bahwa penggusuran harus sesuai dengan prinsip-prinsip HAM yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) juncto Komentar Umum Nomor 7 tentang KIHESB. Proses penggusuran yang sesuai dengan standar HAM itu harus memperhatikan musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak, relokasi sebelum penggusuran dilakukan.
Pemerintah juga harus melakukan dialog dan sosialisasi yang memadai dengan cara pendekatan kultural dan humanis atas rencana pengembangan dan relokasi sebagai dampak pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
Terkait penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi, negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak. Kebijakan negara tidak boleh diskriminasi dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, eksklusif, dan tidak proporsional. Negara juga tidak boleh melakukan relokasi paksa yang merupakan bentuk pelanggaran HAM.
”Tidak menggunakan cara kekerasan dengan pelibatan aparat berlebih dalam proses relokasi dan proses pembangunan Kawasan Pulau Rempang Eco City,” kata Komisioner Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Sihombing.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Polisi melakukan pengamanan saat bentrok dengna warga yang menolak pembangunan proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Komnas HAM juga mendesak kepolisian agar mempertimbangkan penggunaan keadilan restoratif dalam penanganan proses pidana kasus Pulau Rempang. Kelompok rentan, seperti anak-anak, perempuan, disabilitas, dan masyarakat adat harus dilindungi dari kekerasan lainnya di Pulau Rempang.
Selain itu, rekomendasi lainnya adalah meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto untuk meninjau kembali pengembangan kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai PSN berdasarkan Permenko RI Nomor 7 Tahun 2023. Terkahir, Komnas HAM juga merekomendasikan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk tidak menerbitkan hak pengelolaan lahan (HPL) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi belum clear and clean.
Pascatemuan ini, Komnas HAM masih akan mendalami dengan meminta keterangan dari Polda Kepri terutama tentang penggunaan pasukan Dalmas Brimob Kepri sehingga terjadi insiden penembakan gas air mata dalam bentrokan saat pematokan lahan pada 7 September lalu.
Aksi seorang peserta aktivis saat digelar Solidaritas dan Doa Bersama Untuk Rempang yang digelar bersama sejumlah aliansi aktivis kemanusiaan dan HAM di halaman kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (15/9/2023) malam.
Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo sebelumnya, menyatakan, ada komunikasi yang tidak berjalan dengan baik terkait rencana relokasi masyarakat Pulau Rempang, Kompas (15/9/2023).
Padahal, sebelumnya sudah dilakukan sosialisasi. Akibatnya, ketika lahan diukur dan dipasangi patok, terjadi ketegangan yang berujung bentrokan yang dihadapi petugas dengan lontaran gas air mata karena massa dinilai sudah bersifat anarkistis. Demikian pula ketika terjadi demonstrasi di depan kantor BP Batam. Menurut dia, saat itu sudah ada perwakilan yang diterima. Ketika situasi di luar ricuh, polisi berupaya mencegah dan mengambil posisi bertahan.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menampik adanya tindakan berlebihan dari aparat gabungan, termasuk TNI. Menurut dia, yang terjadi justru adanya provokator dari pihak luar Pulau Rempang yang mencoba melempar batu dan melakukan kekerasan terhadap polisi.