Masih ada harapan untuk melawan kekuatan oligarki. Cara melawan oligarki, misalnya, dengan penguatan aktor gerakan sosial dalam aksi kolektif di antara masyarakat,
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Suasana diskusi ”Membebaskan Demokrasi Indonesia dari Cengkraman Oligarki, Mungkinkah?” yang diselenggarakan di gedung rapat Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Proses demokrasi di Indonesia telah mengubah politik, tetapi belum mengubah sistem oligarki yang berjalan dengan struktur formal politik elektoral. Menguatnya dominasi kekuatan oligarki yang tidak tertandingi oleh kekuatan politik partai dan kekuatan sipil dapat mengancam keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Meski demikian, ada sejumlah harapan karena oligarki dalam praktiknya tidak selalu sukses mencapai kepentingan individu ataupun kelompok tertentu. Oleh karena itu, perlu ada upaya-upaya untuk mencegah ancaman oligarki yang semakin kuat melalui peningkatan aksi kolektif masyarakat dan memperkuat politisi akar rumput untuk lebih berperan.
Demikian mengemuka dalam diskusi ”Membebaskan Demokrasi Indonesia dari Cengkraman Oligarki, Mungkinkah?”, yang diselenggarakan di gedung rapat Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Hadir sebagai pembicara pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Usman Hamid; Irine Hiraswari Gayatri dari Pusat Penelitian Politik BRIN; dan Kepala Prodi S3 Ilmu Politik Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savirani.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Aktivis yang tergabung dalam People Heist menunjukkan poster yang mereka bawa saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka, antara lain, menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merejalela, khususnya pascapengesahan UU Cipta Kerja.
Usman Hamid menuturkan, oligarki secara gradual berhasil mengontrol keputusan negara. Tetapi, tak selalu sukses mencapai kuasa negara, partai politik, ataupun merevisi sejumlah undang-undang dan aturan, seperti masa jabatan presiden, penghapusan pemilihan langsung, dan penundaan pemilu.
”Artinya, demokrasi masih bertahan atas resistensi dan resiliensi kekuatan non-oligarki, yaitu para aktivis, masyarakat sipil, reformis, dan politisi yang berakar secara sosial,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Usman, masih ada harapan untuk melawan kekuatan oligarki. Beberapa cara untuk melawan oligarki adalah dengan penguatan aktor gerakan sosial dalam aksi kolektif di antara masyarakat, penguatan politisi yang berakar secara sosial, pendidikan kritis bagi generasi muda, dan penguatan lembaga-lembaga keamanan dan penegak hukum agar melayani dan melindungi masyarakat kelas bawah.
Menurut dia, telah banyak bukti yang menunjukkan bagaimana partai politik di Indonesia bukannya berkompetisi, melainkan justru saling bekerja sama membuat aliansi kolusif untuk bersama-sama mengeksploitasi sumber daya negara. Hal ini tentu saja merugikan karena dampaknya adalah kebijakan tidak dibuat untuk menyejahterakan masayarakat.
Mendekati Pemilu 2024, Usman Hamid berharap elite dan partai politik dapat menyampaikan agenda dan kebijakan yang mendukung kepentingan masyarakat, keadilan sosial, demokrasi politik, dan demokrasi ekonomi. ”Kami menantikan kebijakan yang tidak hanya melayani pemodal besar, tetapi menguntungkan masyarakat kelas bawah,” ujarnya.
Irine Hiraswari Gayatri dari Pusat Penelitian Politik BRIN mengatakan, isu oligarki selalu muncul ketika membicarakan politik Indonesia. ”Saya sering mendengar ucapan, ’lantas kenapa kalau keturunan orang kaya, berasal dari keluarga terpandang, apakah mereka tidak boleh berpolitik?’. Pertanyaan seperti ini mencerminkan sempitnya refleksi terhadap fenomena sehari-hari, padahal berdampak besar pada kehidupan,” ujarnya.
Menurut calon doktor dari Pusat Perdamaian dan Keamanan, Monash University, Australia, ini, oligarki patut dikritisi karena oligarki tidak hanya menguasai dan memonopoli institusi politik dan ekonomi, tetapi sering kali melakukan penyimpangan, bahkan korup dalam pengelolaan sumber daya publik.
Ia menjelaskan pengaruh oligarki dalam bidang ekonomi, yaitu ketika anggota kelas elite memiliki kendali yang signifikan terhadap perekonomian, termasuk perusahaan besar, lembaga keuangan, dan sumber daya. ”Kekuatan ekonomi dapat diterjemahkan menjadi pengaruh politik karena kepentingan ekonomi membentuk kebijakan dan peraturan pemerintah,” ujarnya.
Salah satu spanduk yang dibentangkan dalam Aksi Kamisan ke-767 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/3/2023).
Umumnya, menurut Irine, kaum oligarki menolak reformasi dan perubahan yang akan mengurangi kekuasaan mereka. ”Para elite ekonomi atau oligarki ini sering kali memiliki kendali yang signifikan terhadap industri dan sumber daya utama sehingga menghasilkan pengaruh politik,” ujarnya.
Amalinda Savirani mengatakan, ada sejumlah capaian gerakan masyarakat sipil sepanjang 2014-2023, seperti mendorong pengesahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meskipun capaian ini perlu dikritisi karena terkait isu yang tidak mengganggu kepentingan kelompok ologarki, ini menunjukkan resiliensi masyarakat dan semakin kuatnya organisasi masyarakat sipil dalam advokasi kebijakan.
”Resiliensi ini terbangun karena iklim politik yang masih menyisakan ruang demokrasi meskipun terus berkurang. Dibutuhkan perluasan skala gerakan secara horizontal dan vertikal,” katanya.