Butuh Regulasi Penjabat Kepala Daerah yang Terindikasi Bawaslu Maju Pilkada
Majunya penjabat kepala daerah dalam pilkada juga berpotensi melanggar netralitas ASN. Perlu regulasi untuk menganitipasi potensi tersebut di daerah.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Penjabat Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo (kedua dari kiri), Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Nikolaus Kondomo (ketiga dari kiri), dan Penjabat Gubernur Papua Tengah Ribka Haluk (kedua dari kanan) mengucapkan sumpah jabatan didampingi Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (kiri) di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Jumat (11/11/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menyoroti potensi penjabat kepala daerah yang bisa ikut sebagai peserta pada Pilkada 2024. Pasalnya, mereka telah berinvestasi infrastruktur politik saat menjabat sebagai penjabat kepala daerah. Karena itu, regulasi untuk mencegah potensi tersebut sangat dibutuhkan.
Hal itu diungkapkan Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Bawaslu Rahmat Jaya Parlindungan Siregar dalam peluncuran pemetaan kerawanan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 di Manado, Sulawesi Utara, Kamis, (21/9/2023). Adapun pembahasan berfokus pada aspek netralitas aparatur sipil negara (ASN).
Menurut Rahmat, penjabat kepala daerah merupakan pejabat administratif yang bertugas untuk melayani masyarakat di daerah, bukan pejabat politik. Apalagi, saat ini hampir seluruh kepala daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota dijabat oleh penjabat.
”Bagi Bawaslu, mungkin saja baru menjadi kabar angin atau sekadar diskusi kalau ada kemungkinan penjabat-penjabat itu akan maju saat pilkada mendatang,” ujarnya.
Sejumlah guru honorer dilantik dalam upacara di halaman Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (28/7/2023). Sebanyak 5.846 guru dilantik sebagai pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di lingkungan kerja DKI Jakarta. Pelantikan dan pengambilan sumpah/janji dipimpin langsung Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Joko Agus Setyono.
Para penjabat kepala daerah itu memang bertugas sebagai perwakilan pemerintah pusat. Namun, hal itu bisa saja berpotensi dimanfaatkan sebagai investasi mereka dalam membangun infrastruktur politik. Karena itu, potensi majunya penjabat dalam pilkada perlu diperhatikan dan menjadi catatan.
Bawaslu, kata Rahmat, merasa dibutuhkan suatu aturan untuk mempertegas posisi penjabat kepala daerah untuk tidak boleh maju dalam Pilkada 2024. Hal itu bisa dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dengan membentuk suatu aturan sebagai legal formal. Sebab, itu berpotensi mengganggu netralitas ASN.
Seorang penjabat kepala daerah yang mundur mendekati masa pendaftaran peserta pilkada. Kemudian, ia mencalonkan diri sebagai, misalnya, gubernur atau wakil gubernur. Hal tersebut tentu diperbolehkan.
”Meski belum terjadi, itu menjadi indikasi yang cukup kuat. Bagi kami, potensi majunya para penjabat kepala daerah perlu menjadi catatan dalam dialektika demokrasi,” ucapnya.
Sementara itu, Staf Ahli Menteri Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antarlembaga Kemendagri Togap Simangunsong berpandangan, potensi majunya penjabat kepala daerah memang masih bersifat opini. Namun, dari segi aturan memang belum ada sehingga mereka tetap bisa menjadi peserta pilkada.
Ia mencontohkan, seorang penjabat kepala daerah yang mundur mendekati masa pendaftaran peserta pilkada. Kemudian, ia mencalonkan diri sebagai, misalnya, gubernur atau wakil gubernur. Hal tersebut tentu diperbolehkan.
”Mumpung masih ada waktu, Bawaslu bisa merekomendasikan hal itu ke DPR atau pemerintah. Tapi, peraturan pemerintah saja juga sudah bisa,” ungkap Togap.
DIAN DEWI PURNAMASARI
Badan Pengawas Pemilu, Komisi Nasional Aparatur Sipil Negara (KASN), Kementerian Dalam Negeri, dan kepala daerah menandatangani pakta integritas dalam acara Rapat Koordinasi Bawaslu dan Kepala Daerah dalam Mewujudkan Netralitas ASN pada Pemilihan Umum Tahun 2024 di Bali, Selasa (27/9/2022).
Pada umumnya, kepala daerah yang melanggar netralitas ASN menyingkirkan staf yang tidak sejalan dengan petahana, mengangkat ASN yang sepemahaman, dan melakukan aksi balas dendam atau balas jasa. Oleh karena itu, untuk menjaga netralitas, para penjabat kepala daerah dilarang mengganti pejabat dalam enam bulan terhitung sejak pelantikan.
Sejumlah sanksi, lanjut Togap, bisa dijatuhkan kepada ASN yang melanggar netralitas. Ini seperti sanksi moral terbuka dan tertutup, pemotongan tunjangan, disiplin ringan hingga berat, penurunan jabatan, hingga pemberhentian secara tidak terhormat. Dalam konteks ini, Kemendagri punya tugas khusus untuk merumuskan kebijakan agar kepala daerah netral.
Menurut anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, isu netralitas ASN termasuk potensi pelanggaran paling rawan dalam pemilu, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Sejumlah motifnya adalah upaya untuk mempertahankan jabatan, promosi, tidak paham regulasi, dan sanksi yang tidak menimbulkan efek jera.
”Dalam kasus ini, para pejabat struktural yang berkuasa umumnya tidak tersentuh karena menjadi perantara. Sementara korbannya adalah para staf karena berada dalam posisi serba salah,” ujarnya.
Sejumlah pola pelanggaran yang sering dilakukan ASN adalah mempromosikan calon tertentu, pernyataan dukungan secara terbuka di media sosial, menggunakan fasilitas negara, bergabung dalam grup-grup tim pemenangan, hingga terlibat aktif.
Adapun kabupaten/kota dengan tingkat kerawanan tertinggi, antara lain, Siau Tagulandang Biaro, Wakatobi, Kota Ternate, Sumba Timur, Kota Parepare, Bandung, Jeneponto, dan Mamuju. Sementara itu, untuk provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi adalah Maluku Utara, Sulawesi Utara, Banten, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur.
Strategi pencegahan terbaik itu melalui komunikasi yang baik pula. Bawaslu tingkat daerah harus membangun komunikasi dengan baik ke pemerintah daerah masing-masing. Dengan demikian, mereka lebih mudah diyakinkan untuk menjaga perilaku dan bersikap netral.
IQBAL BASYARI
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty
Oleh karena itu, Bawaslu merekomendasikan beberapa strategi kepada Bawaslu tingkat daerah, yakni memasifkan sosialisasi daring dan luring kepada seluruh ASN terkait netralitas, optimalisasi patroli pengawasan siber di media sosial, serta memperkuat komunikasi dan kerja sama dengan multipihak. Beberapa pihak tersebut, antara lain, kepolisian, TNI, dan pemerintah daerah.
”Strategi pencegahan terbaik itu melalui komunikasi yang baik pula. Bawaslu tingkat daerah harus membangun komunikasi dengan baik ke pemerintah daerah masing-masing. Dengan demikian, mereka lebih mudah diyakinkan untuk menjaga perilaku dan bersikap netral,” ujar Lolly.