MK Diminta Batasi Pencalonan Presiden, Maksimal Dua Kali
Permohonan pembatasan pencalonan presiden diajukan karena praktik politik di Indonesia belum menunjukkan kematangan sekaligus kenegarawan yang ditandai dengan dikedepankannya etika politik.

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk mengatur batas maksimal seseorang dapat mencalonkan diri sebagai kandidat presiden dan wakil presiden. Calon yang pernah dua kali gagal pencalonan presiden atau wakil presiden seharusnya tidak dapat lagi maju kembali di dalam pemilu berikutnya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghormati hak warga negara lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan presiden atau wakil presiden.
Dengan adanya pembatasan pencalonan, hak konstitusi warga negara yang memiliki kesempatan yang sama di dalam pemerintahan seperti diatur di dalam Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 dapat terlindungi.
Permohonan tersebut diajukan oleh Gulfino Guevarrato, warga Garut, Jawa Barat, yang mempersoalkan ketentuan Pasal 169 Huruf n Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK. Sidang perdana untuk perkara tersebut digelar pada Senin (18/9/2023) yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain menguji Pasal 169 Huruf n UU Pemilu, Gulfino yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Donny Tri Istiqomah dkk, juga menguji batas maksimal usia calon presiden dan wakil presiden yang tidak diatur di dalam UU Pemilu. Ia mempersoalkan Pasal 169 Huruf q UU Pemilu yang hanya mengatur batas minimal usia capres dan cawapres 40 tahun. MK diminta untuk mengubah ketentuan tersebut menjadi 21 tahun dan menambahkan aturan usia maksimal calon menjadi 65 tahun.
Baca juga: ”Mengepung” MK demi Batas Usia Capres-Cawapres 35 Tahun

Suasana sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/9/2018).
Donny Tri Istiqomah mengungkapkan, pihaknya sepakat dengan pengaturan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu yang membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden cukup dua kali untuk jabatan yang sama. Namun, pengaturan tersebut dinilai belum cukup untuk melindungi hak konstitusional pemohon yang ia dampingi. Sebab, praktik politik di Indonesia belum menunjukkan kematangan sekaligus kenegarawanan yang ditandai dengan dikedepankannya etika politik.
”Problemnya, dalam praktik politik di Indonesia, penghormatan terhadap hak orang lain seperti diatur di Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945 sering kali dilanggar. Salah satunya dalam proses pemilihan presiden dimana seorang warga negara yang mencalonkan diri sebagai capres, kalau kalau dua kali seharusnya mundur tidak perlu mencalonkan diri lagi. Ini demi tidak dilanggarnya Pasal 28J Ayat (1), demi menghormati hak orang lain. Tapi itu belum ada normanya,” kata Donny.
Ia bahkan membuat pembandingan dengan pemilihan presiden di Amerika Serikat, khususnya pada pencalonan Hillary Clinton yang kalah dua kali dalam pemilihan (vs Donald Trump) dan konvensi Partai Demokrat (vs Barack Obama). Setelah kalah dua kali, Hillary tidak maju lagi dalam pemilu berikutnya. Donny juga menyebutkan Megawati Soekarnoputri yang notabene Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menyerahkan pencalonan presiden kepada Joko Widodo setelah kalah pada Pemilu 2009.
”Seharusnya sifat kenegarawan ini normal dan tidak perlu dinormakan sebenarnya. Namun, dalam konteks saat ini, tidak ada garansi bahwa capres memiliki kedewasaan politik. Maka kami mohon demi terlindunginya hak kami karena kami terkena dampaknya mengalami kerugian konstitusional dimana hak kami terganggu sebab parpol akan memilih itu lagi itu lagi,” kata Donny.
Baca juga: Setelah Batas Usia Minimal, Muncul Gugatan Usia Maksimal Capres dan Cawapres 70 Tahun

Suasana sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Pemohon pun meminta MK untuk menyatakan Pasal 169 Huruf n UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ”Belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, dan belum pernah mencalonkan diri sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebanyak dua kali dalam jabatan yang sama”.
Masih terkait dengan syarat capres dan cawapres, Donny dan timnya juga mempersoalkan syarat usia minimal dan maksimal calon yang diatur di dalam Pasal 169 Huruf 1 UU Pemilu. Saat ini, UU Pemilu baru mengatur tentang syarat usia minimal capres dan cawapres 40 tahun dan tidak mengatur usia maksimal.
Menurut Donny, pihaknya sudah melakukan studi terhadap risalah perubahan UUD 1945. Pada bulan Oktober 2001, tim ahli Panitia Ad Hoc (PAH) I yang dipimpin Jimly Ashhiddiqie memberi rumusan tambahan terhadap Pasal 6 UUD 1945 dengan mengatur syarat umur minimal capres dan cawapres 40 tahun. Namun, sejumlah fraksi mengusulkan agar usia minimal tersebut diturunkan menjadi 35 tahun dengan pertimbangan bahwa angka kematian di Indonesia lebih rendah daripada di negara maju.
”Yang menarik lagi, ternyata ada usulan pembatasan usia tertinggi yaitu 60 tahun. Namun ternyata karena tidak ada kesepakatan, PAH I sepakat hal itu sebagai open legal policy sehingga lahirlah ayat (2) yang berbunyi syarat capres diatur dengan undang-undang. Masalahnya sejak tahun 2003 UU Pilpres dibentuk, open legal policy itu tidak dilaksanakan oleh pembentuk undang-undang karena yang dieksekusi hanya batas usia terendeah. Perdebatan PAH I di MPR perlu ada batas atas (usia) tidak dieksekusi,” kata Donny.

Petugas melakukan pengecekan kualitas surat suara Pilpres 2019 saat pencetakan surat suara di Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Oleh karena itu, ia melanjutkan, MK berwenang mengatur batas atas usia capres dan cawapres mengingat pembentuk undang-undang tidak melaksanakan amanat PAH I. Hal itu perlu dilakukan demi kepastian hukum. Agar tidak diskriminatif, pemohon pun membandingkan usia-usia pejabat di lembaga negara lain dan menemukan bahwa pengaturan usia maksimal pejabat di lembaga negara lain adalah 65 tahun pada saat diangkat.
Sementara itu, untuk batas bawah usia capres dan cawapres, pemohon meminta agar MK menyamakannya dengan syarat calon anggota legislatif, yakni 21 tahun.
Selain permohonan yang diajukan oleh Gulfino yang teregister dengan nomor 104/PUU-XXI/2023, MK juga menyidangkan gugatan serupa yang diregister dengan nomor 102/PUU-XXI/2023. Perkara 102/2023 diajukan oleh tiga warga negara yang juga mempersoalkan batas atas usia capres dan cawapres yang dinilai seharusnya maksimal 70 tahun.
Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh meminta pemohon untuk dapat lebih memperkuat dalil-dalil yang diajukan. Sebab, pemohon meminta MK menambahkan norma, yaitu mengatur batas usia maksimal capres dan cawapres yang tidak diatur oleh UU Pemilu.

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (kiri) dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh mengikuti upacara pengucapan sumpah hakim konstitusi dihadapan Presiden Joko Widodo di Istana Negara Jakarta, Selasa (7/1/2019).
”Kita tahu bahwa MK itu negatif legislator. Ini ada permintaan penambahan norma sehingga mengarahkan MK menjadi positif legislator. Sejauh alasan permohonan, kemudian dikaitkan dengan asas, doktrin, dan perbandingan hukum, jika bisa meyakinkan hakim, bisa saja disetujui dan dikabulkan oleh MK,” kata Daniel.
Sementara itu, Suhartoyo meminta pemohon untuk mencermati kedudukan hukum atau legal standing saat mempersoalkan batas usia maksimal dan minimal capres dan cawapres. ”Pemohon sekarang usianya berapa ketika mempersoalkan ambang batas minimal usia capres 21 tahun dan masimal 65 tahun. Hati-hati, apa ada di range usia itu. Lalu pemohon ini mendalilkan sebagai pemilih atau sebagai calon. Itu harus hati-hati,” kata Suhartoyo.
Baca juga: Soal Batas Usia Capres-Cawapres, Pemerintah Serahkan ke Mahkamah Konstitusi
Hal yang sama juga berlaku ketika pemohon mempersoalkan batas pencalonan yang dimintakan hanya dua kali. Suhartoyo meminta pemohon untuk berhati-hati dalam mengelaborasi persoalan tersebut.
Saat ini, MK tengah memeriksa lebih dari 10 permohonan tentang batas minimal/maksimal usia capres dan cawapres. Tiga perkara sudah selesai disidangkan oleh MK dan saat ini tengah memasuki babak akhir pengambilan keputusan oleh sembilan hakim konstitusi. Selebihnya, perkara-perkara yang lain sedang memasuki sidang pertama dan kedua pemeriksaan pendahuluan.