Data Intelijen, PDI-P dan Gerindra Tak Persoalkan, Demokrat Menyayangkan
Respons partai politik cenderung beragam terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo yang memiliki data intelijen mengenai arah dukungan parpol. Pada intinya, mereka berharap data tersebut tidak disalahgunakan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
KOMPAS/NINA SUSILO
Presiden Joko Widodo menjelaskan pentingnya kepemimpinan nasional di tahun 2024, 2029, dan 2034 untuk Indonesia dalam pembukaan Rakernas Sekretariat Nasional Jokowi di Kota Bogor, Jabar, Sabtu (16/9/2023) pagi.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo mengenai dirinya yang memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik pada Pemilihan Presiden 2024. Partai Demokrat bahkan keberatan atas hal tersebut. Sementara parpol lainnya berharap agar Jokowi tidak menyalahgunakan intelijen yang dimilikinya.
”Saya kira tidak hanya Partai Demokrat, semua parpol keberatan atas statement itu karena bukan ruangnya Presiden. Seandainya Kepala Negara tahu dan mengerti data itu, cukup untuk dirinya sebagai Presiden dalam mengelola negara, bukan disampaikan ke publik,” ujar Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Demokrat pun menyayangkan pernyataan Presiden Joko Widodo di hadapan publik karena bisa berdampak pada stabilitas politik. Apalagi, saat ini tahapan pemilihan umum tengah berlangsung. Ia pun memandang bahwa belum ada Presiden yang pernah mengumbar kepemilikan data intelijen.
Menurut Hinca, setiap parpol berhak untuk menjalankan aktivitas politiknya secara independen. Ia pun tidak mempermasalahkan Jokowi yang memiliki data parpol sebagai informasi membangun negara. Hanya saja, data intelijen sebaiknya dijaga kerahasiaan dan tidak perlu diungkap.
Baliho daftar partai politik peserta Pemilu 2024 beserta nomor urutnya dipasang di depan kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lebak, Banten, Minggu (17/9/2023).
Sebelumnya, Presiden Jokowi menyampaikan pernyataan terkait data intelijen soal parpol saat membuka Rapat Kerja Nasional Sukarelawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023). Presiden menyampaikan ia mengetahui semua data hingga arah dukungan parpol dari informasi intelijen Badan Intelijen Negara (BIN), intelijen Polri, dan Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI.
Senada dengan Hinca, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al-Habsyi menilai pernyataan Jokowi memicu pertanyaan di kalangan masyarakat yang berujung kegaduhan. Pada dasarnya, informasi intelijen memang menjadi asupan Presiden bukan pihak lainnya.
Pernyataan Jokowi melanggar kebebasan berekspresi publik. Hal tersebut juga menimbulkan rasa tidak aman, ketakutan, dan tekanan yang bisa mempengaruhi publik dalam membuat keputusan, termasuk penentuan pilihan dalam pemilu.
”Kalau (informasi intelijen) digunakan untuk kepentingan selain kenegaraan, itu bermasalah. Kalau digunakan untuk kepentingan partai a atau b, itu abuse of power,” jelasnya.
Meskipun demikian, Aboe yakin bahwa Jokowi merupakan orang baik sehingga tidak menyalahgunakan informasi yang dimilikinya. Sebab, sudah banyak penangkapan apabila posisi Presiden diisi oleh orang buruk.
Mengenai Jokowi yang mengungkapkan memiliki informasi intelijen di hadapan relawan, Aboe menganggap hal itu sebagai hiburan aktor politik. ”Saya mau ngomong yang lebih tajam enggak enak,” tuturnya.
Menurut pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pernyataan Jokowi melanggar kebebasan berekspresi publik. Hal tersebut juga menimbulkan rasa tidak aman, ketakutan, dan tekanan yang bisa mempengaruhi publik dalam membuat keputusan, termasuk penentuan pilihan dalam pemilu.
Dalam kapasitas jabatannya, Presiden dilarang menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan politik praktis, apalagi sampai memanfaatkan badan dan institusi negara untuk kepentingan pemenangan partai politik atau kandidat tertentu.
Dalam konteks pemenangan, UU Pemilu sangat membatasi peran presiden. Hal ini seperti pemberlakuan ketentuan di masa kampanye yang mengikutsertakan presiden harus dilakukan tanpa penggunaan fasilitas jabatan kecuali pengamanan pejabat. Presiden harus berdiri di atas semua kepentingan politik dan golongan, serta menunjukkan profesionalitas kerja yang melayani semua kelompok.
”Dalam kapasitas jabatannya, Presiden dilarang menyalahgunakan kewenangan dan fasilitas jabatan yang dimilikinya untuk kepentingan politik praktis, apalagi sampai memanfaatkan badan dan institusi negara untuk kepentingan pemenangan partai politik atau kandidat tertentu,” kata Titi.
Pengajar hukum pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini.
Hal biasa
Ketua DPP PDI-P Said Abdullah mengutarakan, pernyataan Jokowi merupakan hal yang biasa. Namun, menjadi tidak biasa apabila dijadikan alat untuk memantau parpol. Ini karena parpol memiliki kedaulatan dan bukan musuh negara sehingga bukan menjadi obyek intelijen.
Presiden Jokowi itu kader PDI-P, kami mendukung penuh. Namun, dukungan kami itu kritis konstruktif. Kalau memang ada yang perlu diingatkan, kami akan ingatkan.
Ia menduga Presiden hanya ingin menyatakan bahwa dirinya memiliki informasi yang mumpuni terkait pergerakan intelijen di bawahnya. ”Presiden Jokowi itu kader PDI-P, kami mendukung penuh. Namun, dukungan kami itu kritis konstruktif. Kalau memang ada yang perlu diingatkan, kami akan ingatkan,” katanya.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menuturkan, data intelijen yang dimiliki Presiden tidak hanya terkait politik, tetapi juga ekonomi, budaya, dan hal lainnya yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan. Pernyataan secara terbuka oleh Jokowi juga dinilai tidak ada salahnya.
Ia percaya Presiden mampu menempatkan diri sebagai negarawan sehingga informasi intelijen yang dimiliki hanya dipakai untuk keputusan strategis pemerintahan.