Di UI, Ganjar Ditanya soal Konflik Agraria hingga Petugas Partai
Ganjar Pranowo mengajak publik untuk melihat rekam jejaknya selama 10 tahun di Jawa Tengah, apakah kebijakan yang ia keluarkan lebih banyak menguntungkan partai atau masyarakat.

Bakal calon presiden Ganjar Pranowo menyalami dan berbincang dengan para mahasiswa yang hadir sebelum memberikan kuliah umum kebangsaan dengan tema ”Hendak ke Mana Indonesia Kita?” di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2023).
DEPOK, KOMPAS — Bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, ”dihujani” berbagai pertanyaan oleh sivitas akademika Universitas Indonesia, mulai dari persoalan konflik agraria hingga komitmen Ganjar kepada rakyat ketika terpilih menjadi presiden pada Pemilihan Presiden 2024. Dalam forum itu, Ganjar menekankan, ketika seseorang telah dipilih menjadi pemimpin, tugasnya ialah melayani rakyat.
Selama lebih dari dua jam, Ganjar mengisi kuliah kebangsaan bertajuk ”Hendak ke Mana Indonesia Kita? Gagasan, Pengalaman, dan Rancangan Para Pemimpin Masa Depan” di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2023). Acara yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI itu dihadiri sejumlah pengajar dan ratusan mahasiswa FISIP UI.
Seusai Ganjar menyampaikan materinya, acara dilanjutkan dengan diskusi panel yang dimoderatori oleh Dekan FISIP UI Semiarto Aji Purwanto. Dalam diskusi panel tersebut, hadir sejumlah dosen dan mahasiswa yang telah ditunjuk sebagai penanya, yakni Guru Besar Sosiologi FISIP UI Sudarsono Hardjosoekarto; pengajar Departemen Antropologi FISIP UI, Suraya Afiff; dosen Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, Ummi Salamah; Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa FISIP UI Muhammad Fikri Rafi Dartaman; serta mahasiswi FISIP UI, Della Azzahra Soepardiyanto.

Bakal calon presiden Ganjar Pranowo memperoleh sambutan meriah para hadirin saat memasuki ruangan sebelum memberikan kuliah umum kebangsaan dengan tema ”Hendak ke Mana Indonesia Kita?” di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2023).
Dalam diskusi tersebut, Della Azzahra Soepardiyanto menyampaikan, salah satu permasalahan yang paling mengkhawatirkan saat ini ialah konflik agraria. Ia mengutip catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria yang menyebutkan, ada tren kenaikan konflik agraria dari 207 kasus (tahun 2021) menjadi 2.012 kasus (tahun 2022).
Meski hanya naik lima kasus, lanjut Della, luas konfliknya meningkat drastis bahkan sampai 100 persen. Pada 2021, luas konflik lahan sekitar 500.000 hektar. Pada 2022, luas konflik lahan menjadi 1 juta hektar. Keluarga terdampak dan tren kriminalisasi pun ikut meningkat.
”Hal ini berhubungan dengan penanganan konflik agraria yang sarat akan kekerasan. Bagaimana penanganan resolusi konflik yang bisa dilakukan pemerintah, tidak hanya dengan memaksakan konflik harus selesai dengan memberikan bargain atau kompensasi, tetapi bagaimana pemerintah melihat akar permasalahan ini?” tanya Della.
Suraya Afiff juga menguatkan argumentasi Della. Menurut dia, akar masalah dari kemunculan konflik agraria ialah paradigma ekonomi pembangunan yang lebih mengarah pada penggusuran dan pemindahan secara paksa. Praktik semacam ini sudah dipakai sejak zaman kolonial di mana ketika seseorang tidak bisa membuktikan tanahnya dengan kepemilikan sertifikat, maka itu merupakan tanah negara.
Padahal, lanjut Suraya, konstitusi dalam Pasal 33 UUD 1945 telah mengatur bahwasanya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. ”Nah, itu kalau negaranya budiman. Tetapi, negara ini punya persoalan. Nilai dan norma selama ini mengarah pada kepentingan siapa?” tanyanya.

Warga membopong seorang siswa SMPN 22 Galang yang kesakitan akibat terkena gas air mata akibat bentrok antara aparat dan warga di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, Kamis (7/9/2023).
Ia mencontohkan, total perizinan perusahaan swasta di Kalimantan Timur ternyata lebih luas daripada daratan provinsinya. Sebagian besar daerah merupakan wilayah konsesi pertambangan. Apalagi, terdapat pula sebuah pulau kecil yang hampir seluruh wilayahnya telah dikuasai perusahaan tambang, yakni Pulau Taliabu, Maluku Utara.
”Ini akan merusak alam dan menggusur rakyat. Jadi, ini persoalan penting sekali karena banyak sekali ide bagus kita, tetapi karena paradigma ekonomi pembangunan ini yang dipakai adalah lewat menggusur, ini yang jadi akar masalah ketimpangan saat ini. Kesimpulan kami, siapa pun yang akan menjadi pemimpin, di semua level, tidak akan dapat menyelesaikan masalah ketimpangan tanpa mengubah paradigma pembangunan ekonomi,” tutur Suraya.
Ia meminta pendapat Ganjar terkait persoalan tersebut. Ia ingin mengetahui pendapat Ganjar terkait sejauh mana paradigma negara bisa diubah, yakni dengan mengakui kepemilikan lahan yang saat ini sudah dimanfaatkan rakyat, sebagaimana kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Adapun bentrokan di Pulau Rempang antara masyarakat adat dan aparat keamanan bermula ketika Badan Pengusahaan (BP) Batam berencana merelokasi seluruh penduduk Pulau Rempang yang berjumlah 7.500 jiwa. Hal itu dilakukan untuk mendukung rencana pengembangan investasi di pulau tersebut.
Baca juga: Ganjar Kembali Janjikan Kenaikan Upah Guru dan Dosen
”Harusnya, kan, diakui dulu, mana (tanah) yang milik rakyat. Kalau mau dijadikan kawasan untuk usaha, (tanah) yang mana? Dapatkah paradigma negara dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum yang terpaksa mengambil tanah rakyat ini tidak memakai praktik Orde Baru sehingga hanya untuk kepentingan swasta, untuk dikuasai swasta, dan untuk kepentingan profit dan pengusaha semata?” tanyanya.
Tidak menyusun mitigasi risiko
Setelah mendengar berbagai pertanyaan itu, Ganjar diberikan waktu menjawab. Ia menegaskan, ada dua hal yang kerap dilupakan oleh pemerintah sehingga konflik agraria muncul. Pertama, pemerintah sangat jarang melakukan upaya mitigasi risiko atas pekerjaan yang akan dilaksanakan. Kedua, sejauh mana penghormatan terhadap hak masyarakat di wilayah tersebut.
”Apalagi tanah ulayat, tanah adat yang sering kali semena-mena diambil, tetapi sayang mitigasinya kurang. Sekarang, misalnya, yang lagi ramai di Pulau Rempang, bagaimana caranya? Itu tanahnya siapa? Mitigasi itu penting untuk mencegah (terjadinya konflik),” ucap Ganjar.

Bakal calon presiden Ganjar Pranowo saat memberikan kuliah umum kebangsaan dengan tema "Hendak ke Mana Indonesia Kita?" di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2023).
Karena itu, ia kerap menyampaikan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Menteri Perdagangan, dan Menteri Investasi agar mereka tidak hanya sekadar merekrut karyawan lulusan insinyur. Menurut dia, perlu juga dalam sebuah tim tersebut dilibatkan karyawan lulusan bidang antropologi, sosiologi, dan psikologi.
”Jadi, pemerintah tahu dan bisa menjelaskan lebih dulu situasi secara holistik di sana seperti apa. Kadang-kadang, pemerintah tidak mau, capek menjelaskan, nanti malah (prosesnya) lama. Makanya, jeglek. Begitu (rakyat) tidak mau (menyerahkan tanah), hukum berjalan. Begitu hukum berjalan, tampilannya adalah kekerasan. Itu yang terjadi,” tuturnya.
Untuk itu, mitigasi risiko harus dikedepankan agar mencegah konflik berkepanjangan di masyarakat. Jika nanti ada konflik, istilah yang dipakai ialah kompensasi. Kompensasi ini juga tidak lagi ”ganti-rugi”, tetapi ”ganti-untung”. ”Kalau (konflik) sudah terjadi, tidak ada jalan lain. Mereka harus diajak berembuk. Berembuk, kirim orang. Saya pernah mengalami. Dua tahun proses rembuk. Tidak boleh ada kekerasan. Jangan ada instansi atau perusahaan masuk ke sana. Biarkan orang yang kami kirim itu untuk bernegosiasi. Dan akhirnya, masalah selesai,” tutur Ganjar.
Antara petugas rakyat atau petugas partai
Seusai diskusi panel, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, dan kesempatan bertanya hanya diberikan kepada beberapa mahasiswa atau mahasiswi terpilih. Salah seorang mahasiswa FISIP UI bernama Naufal melontarkan pertanyaan kepada Ganjar soal statusnya sebagai kader partai.
Ia mempertanyakan status Ganjar, apakah sebagai petugas partai atau petugas rakyat. Ia mengaku mengikuti momentum saat Ganjar diumumkan oleh Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri sebagai bakal calon presiden, pada 21 April 2023. Namun, ia merasa kecewa saat Ganjar kala itu disebut sebagai petugas partai.
”Pertanyaan saya, jika Bapak terpilih sebagai presiden kedelapan, apakah Bapak tetap dengan prinsip ’tuanku ya rakyat, gubernur hanya mandat’, dan tidak menjadi boneka Megawati? Jadi, intinya, saya ingin Pak Ganjar menjawab hari ini di Balairung yang terhormat ini. Supaya jelas pertanyaannya, apakah Bapak petugas rakyat atau petugas partai?” tanya mahasiswa tersebut, disambut tepuk tangan dari para mahasiswa yang hadir.

Bakal calon presiden Ganjar Pranowo berada di antara pengajar dan mahasiswa Universitas Indonesia ketika hadir sebagai pemateri kuliah umum kebangsaan dengan tema "Hendak ke Mana Indonesia Kita?" di Gedung Balai Serbaguna Purnomo Prawiro, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (18/9/2023).
Sontak, setelah mendengar pertanyaan itu, Ganjar langsung berdiri. Ia melontarkan pertanyaan balik kepada Naufal. ”Naufal, kamu mengikuti saya selama 10 tahun menjadi gubernur?” tanya Ganjar. Naufal mengangguk.
”Oke, saya petugas siapa?” tanya Ganjar. Naufal hanya terdiam. ”Finish (selesai),” tegas Ganjar.
Mantan Gubernur Jawa Tengah itu mengingatkan agar pendukungnya tidak perlu khawatir soal status sebagai petugas partai. Menurut Ganjar, selama 10 tahun menjadi gubernur, dirinya telah banyak mendapat kritik dari publik. Bahkan, sejumlah politikus PDI-P juga sempat mengkritiknya tatkala ia belum dideklarasikan menjadi bakal capres dari PDI-P.
Ganjar mengajak publik untuk melihat rekam jejaknya selama 10 tahun di Jawa Tengah, apakah kebijakan yang ia keluarkan lebih banyak menguntungkan partai atau masyarakat. ”Saya kader partai, tetapi presiden bukan, gubernur bukan. Itulah melayani. Jadi, kita bisa membedakan ketika sudah berada (di) jabatan. Maka, kalau Anda riset tentang saya, apa yang sudah saya lakukan, adakah kemudian saya berpihak hanya pada partai saya? Mungkin nyaris Anda tidak akan menemukan,” tuturnya.
Tak puas dengan jawaban Ganjar, Naufal mencoba menegaskan kembali pertanyaannya, ”Bapak berkomitmen bukan disetir partai, berarti disetir rakyat?”
Mendengar pertanyaan itu, Ganjar kemudian meminta stafnya memberikan Naufal sebuah buku biografi miliknya berjudul Hitam Putih Ganjar. ”Mungkin buku itu cukup bisa menjelaskan keraguanmu agar kelak nanti kamu bisa menentukan pilihan dengan obyektif. Siapa yang kamu pilih, tidak harus Ganjar. Jangan tergesa-gesa milih Ganjar, Anda cek dulu, Anda pastikan, Anda yakin enggak dengan saya. Saya minta kamu lihat perjalanan 10 tahun saya. 10 tahun bukan waktu pendek, dan 10 tahun itu artinya saya terpilih dua kali,” ucapnya.