Soal Batas Usia Capres/Cawapres, MK Diminta Tak Terjebak Kepentingan
MK diharapkan hati-hati dan tidak terjebak dalam panggung politik yang menguntungkan orang tertentu. MK diminta melihat konteks pengujian batas minimal atau maksimal usia capres/cawapres.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk tidak melihat perkara pengujian batas usia minimal ataupun maksimal calon presiden dan calon wakil presiden dalam ruang hampa. MK mesti memahami konteks politiknya di mana pengujian tersebut diajukan untuk kepentingan yang sangat personal, yaitu meloloskan atau tidak meloloskan pihak-pihak tertentu untuk maju dalam Pemilu Presiden 2024.
Tafsir living constitution atau konstitusi yang hidup dengan melihat kebutuhan hukum pada saat ini sangat tepat untuk digunakan. Dengan demikian, MK diharapkan hati-hati dan tidak terjebak dalam panggung politik yang menguntungkan orang tertentu sehingga sudah selayaknya persoalan tersebut dikembalikan ke pembentuk undang-undang untuk menyelesaikannya.
”Kebutuhan hukum itu, kan, kembali ke momentumnya. Kerugian konstitusional siapa yang akan dilindungi atau dipenuhi atau diperbaiki oleh MK dengan putusan ini?” kata Charles Simabura, Direktur Eksekutif Pusat Studi Kostitusi Universitas Andalas, Padang, Selasa (29/8/2023).
Mudah membawa MK ke proses politik
Ia menambahkan, ”Kalau saya melihat memang kondisi ini untuk meloloskan seseorang. Jadi sangat personal sekali. Bagi saya, kalau itu personal, meskipun itu memang hak warga negara, saya termasuk meyakini konteksnya tidak pas. Karena menjadi sangat mudah sekali membawa-bawa MK dalam proses politik ini.”
Saat ini, MK memang tengah menguji tiga perkara pengujian Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal tersebut mengatur tentang batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun.
Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah menguji pasal tersebut dan meminta MK untuk melonggarkan syarat usia minimal capres/cawapres. Ada yang meminta usia minimal diubah menjadi 35 tahun atau tetap 40 tahun tetapi membolehkan calon yang berada di bawah usia tersebut maju asalkan berpengalaman menjadi kepala daerah/penyelenggara negara.
Ada pula permohonan pengujian batas maksimal usia capres/cawapres menjadi 70 tahun.
Belakangan, muncul pula permohonan pengubahan batas usia minimal menjadi 21 tahun, 25 tahun, atau 30 tahun dengan masing-masing alasannya. Tak cuma batas bawah, ada pula permohonan pengujian batas maksimal usia capres/cawapres menjadi 70 tahun.
Mengakali syarat pencalonan
Permohonan pengujian syarat usia capres dan cawapres tersebut mengingatkan Charles dengan politik paling dasar untuk mengakali syarat pencalonan pimpinan lembaga mahasiswa. ”Ini kayak kita dulu di kampus mau pemilihan Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), tiba-tiba muncul syarat IPK (indeks prestasi kumulatif). Dulu pernah muncul. Itu kan politik kecil-kecilan, politik paling dasar untuk menghalangi orang maju. Ya, kita main di tatib (tata tertib),” katanya.
Oleh karena itu, ia meminta agar MK melihat konteks perkara permohonan pengujian batas minimal atau maksimal usia capres dan cawapres. MK tidak boleh melihat perkara tersebut di dalam ruang hampa.
”Konteksnya apa gitu kan? Kan memang ingin meloloskan salah satu orang (menjadi capres atau cawapres). Harus (dilihat) ke situ. Kita harus juga balik logikanya, kalau model-model (pengujian) begini diterima oleh MK, jangan-jangan buat saat ini bisa digunakan juga untuk menghalangi hak konstitusional orang untuk dicalonkan. Itu yang terjadi dengan batasan maksimal 70 tahun,” ujarnya.
Charles menilai, pengujian syarat minimal atau maksimal capres dan cawapres hanya seperti main-main untuk menjadikan panggung MK sebagai politik. Untuk itu, MK diminta untuk berani menyatakan bahwa persoalan usia capres dan cawapres merupakan kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.
Adukan Anwar Usman
Terkait perkara yang sama, Ketua MK Anwar Usman diminta untuk mundur dari penanganan perkara tersebut. Anwar dinilai memiliki konflik kepentingan dengan perkara itu karena memiliki hubungan keluarga dengan Gibran Rakabuming Raka (anak Presiden Joko Widodo) yang digadang-gadang oleh partai politik menjadi figur yang akan diajukan dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024.
Selain meminta Anwar mundur dari penanganan perkara, guru besar hukum tata negara Denny Indrayana juga melaporkan Ketua MK tersebut ke Majelis Kehormatan MK atas dugaan pelanggaran etik. Anwar dinilai melanggar prinsip ketidakberpihakan dalam Kode Etik dan Perilaku Hakim MK karena turut menangani perkara yang secara tidak langsung berhubungan dengan keluarganya.
Pengaduan etik terhadap Anwar tersebut sudah diajukan oleh Denny ke Majelis Kehormatan secara daring pada Senin (28/8/2023). ”Hubungan keluarga antara hakim terlapor dan Gibran (dan Jokowi) menyebabkan hakim terlapor seharusnya mengundurkan diri dari pemeriksaan tiga perkara pengujian UU Pemilu tersebut di atas. Karena yang diuji adalah syarat umum menjadi capres dan cawapres yang nyata-nyata mempunyai benturan kepentingan langsung dengan keluarganya sendiri, yaitu potensi Gibran (Jokowi) menjadi kontestan dalam Pilpres 2024,” ungkap Denny.
Apalagi, mengacu berbagai berita yang ada, sosok Gibran menjadi salah satu figur yang dipertimbangkan oleh partai-partai politik untuk menjadi salah satu kontestan pilpres.
Ia menyadari, baik Gibran maupun Presiden Jokowi tidak menjadi pihak langsung yang beperkara menguji Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Namun, berdasarkan penalaran dan logika hukum yang wajar, putusan MK terkait dengan pengujian itu bukan hanya berlaku untuk semua orang ( erga omnes). Namun, putusan itu lebih khusus punya akibat langsung dengan kepentingan Gibran maju sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.
Apalagi, mengacu berbagai berita yang ada, sosok Gibran menjadi salah satu figur yang dipertimbangkan oleh partai-partai politik untuk menjadi salah satu kontestan pilpres. Putusan MK mengenai syarat umur tersebut saat ini ditunggu-tunggu oleh partai politik dan publik secara luas. Sebab, ini akan berkorelasi dengan tertutup atau terbukanya peluang Gibran menjadi kontestan.
Hingga kini, MK masih menangani perkara pengujian syarat usia capres dan cawapres tersebut. MK akan menggelar sidang untuk mendengarkan keterangan pihak terkait pada Selasa (29/8/2023). Adapun pihak terkait yang akan didengarkan adalah dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan tiga pihak lainnya. Sidang kali ini kemungkinan besar menjadi sidang terakhir dalam perkara pengujian syarat capres/cawapres yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.