PP Muhammadiyah Tegaskan Sikap Independen dalam Pemilu 2024
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas menyatakan perserikatan bersikap independen dan tak ingin terjerumus pada kepentingan politik menyambut hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang tinggal enam bulan lagi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Pusat Muhammadiyah menegaskan bahwa perserikatan bersikap independen menyambut hari pemungutan suara Pemilu 2024 yang tinggal enam bulan lagi. Tidak dipungkiri, sulit bagi organisasi massa berlambang Matahari itu untuk bersikap netral karena ingin memilih pemimpin yang terbaik bagi bangsa. Namun, mereka ingin tetap independen tanpa terjerumus tarik-menarik kepentingan politik.
Hal itu ditegaskan oleh sejumlah tokoh PP Muhammadiyah dalam diskusi daring bertema ”Posisi dan Peran Muhammadiyah dalam Kontestasi Pemilu Serentak 2024”, Senin (28/8/2023). Acara dihadiri oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik ayau LHKP PP Muhammadiyah Ridho Al Hamdi, Peneliti Senior Bidang Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, serta mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum 2021-2022 Ilham Saputra.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Busyro menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki peran profetik untuk mengawal agenda pesta demokrasi lima tahunan, yaitu Pemilu Serentak 2024. Peran profetik itu tercantum dalam visi-misi besar Muhammadiyah sebagai perserikatan yang ikut merumuskan calon pemimpin masa depan serta kebijakan yang berpihak kepada publik.
”Peran Muhammadiyah juga diatur dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan parpol, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara,” kata Busyro.
”Peran Muhammadiyah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan parpol, lembaga swadaya masyarakat, atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara. ”
Ia juga khawatir dengan fenomena kian masifnya korupsi lintas sektor dan berbagai lini. Baik itu korupsi perizinan, kebijakan publik multisektor, dan politik hukum maupun penegakan hukum, maupun sektor agraria. Masifnya korupsi itu menunjukkan bahwa sirkulasi elite politik yang dipilih melalui pemilu tidak menghasilkan calon yang berintegritas. Lebih parah lagi, kebebasan publik untuk melontarkan kritik juga, menurut dia, dibungkam melalui represi aktivis, ilmuan dan tokoh, serta intervensi kampus dan organisasi masyarakat.
”Jika ingin membenahi dari akarnya, perlu ada revisi Undang-undang Partai Politik, UU Pemilihan Umum, dan UU Pilkada yang menurut saya telah menabrak nilai-nilai HAM dan demokrasi dan daulat rakyat,” katanya.
Ridho menambahkan khittah Muhammadiyah telah ditegaskan sejak tahun 1971 tidak memiliki hubungan organisatoris dan tidak memiliki afiliasi dengan suatu parpol mana pun. Hal ini ditegaskan melalui Muktamar 1978 di Surabaya di mana Muhammadiyah adalah jaringan independen yang tidak menjadi bagian dari partai mana pun, baik dengan oligark, pejabat, maupun pihak mana pun.
“Muhammadiyah tidak bisa bersikap netral dalam pemilu kali ini. Muhammadiyah bersikap independen, karena dulu sejarahnya pada Pilpres 2004 pernah mendukung kader terbaiknya untuk maju pilpres. Sekarang pun ada program satu daerah pemilihan satu kader Muhammadiyah. Sehingga, sikap Muhammadiyah adalah independen.”
”Muhammadiyah tidak bisa bersikap netral dalam pemilu kali ini. Muhammadiyah bersikap independen karena dulu sejarahnya pada Pilpres 2004 pernah mendukung kader terbaiknya untuk maju pilpres. Sekarang pun ada program satu daerah pemilihan satu kader Muhammadiyah sehingga, sikap Muhammadiyah adalah independen,” katanya.
Sikap independen artinya adalah Merdeka dan tidak terpengaruh dengan pemilik modal, tidak bisa dipengaruhi oleh pejabat publik level nasional, dan independensi Muhammadiyah selama pemilu tidak akan bisa dipengaruhi.
”Kalau ada hubungan yang mutual itu persoalan yang lain. Yang jelas, kami tidak akan menyatakan dukungan secara terbuka terkait pemilu. Ini yang harus menjadi catatan penting karena Muhammadiyah memosisikan diri sebagai kelompok kekuatan moral,” tuturnya.
Meskipun memiliki sikap moral yang independen, Muhammadiyah tetap berjuang mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk bisa duduk di lembaga negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Muhammadiyah tidak antipati pada politik dan menilai politik sebagai sesuatu yang kotor. Justru, mereka tetap bersikap kritis kepada pemerintah dengan memberikan kritik yang konstruktif tanpa terpengaruh dengan pihak mana pun.
”LHKP memiliki program gerakan satu dapil, satu kader-MU. Ini adalah sebuah ijtihad politik untuk menjalankan tugas Muhammadiyah secara lebih luas.”
”LHKP memiliki program gerakan satu dapil, satu kader-MU. Ini adalah sebuah ijtihad politik untuk menjalankan tugas Muhammadiyah secara lebih luas,” katanya.
Kualitas penyelenggara pemilu
Siti Zuhro menyoroti tentang kualitas penyelenggara pemilu yang, menurut dia, tidak cukup independen. Hal itu lantaran tim seleksi anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 dianggap kental dengan politik akomodatif dengan sejumlah parpol. Timsel yang tidak independen ini akhirnya menghasilkan komisioner yang kurang profesional, kurang amanah, dan sulit dipercaya tanggung jawabnya.
”Demokrasi yang kita bangun masih sebatas demokrasi prosedural. Seharusnya, pemilu kali ini dimaknai sebagai arena suksesi dan koreksi terhadap rezim dan pemerintahan sehingga menghasilkan pemimpin yang profetik. Namun, nyatanya penyelenggaranya pun banyak yang partisan.”
”Demokrasi yang kita bangun masih sebatas demokrasi prosedural. Seharusnya, pemilu kali ini dimaknai sebagai arena suksesi dan koreksi terhadap rezim dan pemerintahan sehingga menghasilkan pemimpin yang profetik. Namun, nyatanya penyelenggaranya pun banyak yang partisan,” katanya.
Sementara itu, Ilham Saputra membenarkan bahwa tidak hanya komisioner di tingkat pusat yang diduga berpihak atau sarat politik akomodatif dengan partai politik. KPU, Bawaslu di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota pun juga tidak lepas dari unsur kepentingan politik akomodatif. Hal itu dibuktikan dengan telatnya pelantikan anggota KPU dan Bawaslu di 514 kota dan kabupaten yang lalu. Fenomena itu diakui menunjukkan bahwa seleksi penyelenggara pemilu masih kental dengan aroma politisasi.
”Penyelenggara pemilu seharusnya netral dan tidak memihak parpol tertentu. Ini prinsip agar penyelenggaraan pemilu benar-benar berdasarkan prinsip luber dan jurdil,” katanya. (DEA)