Jadi Ujung Tombak Kemurnian Suara, tetapi Penyelenggara ”Ad Hoc” Rentan Terjerat Politik Uang
Temuan Indeks Kerawanan Pemilu menempatkan penyelenggara ”ad hoc” pemilu sebagai salah satu aktor yang rawan jatuh dalam godaan politik uang. Padahal, mereka ujung tombak kemurnian suara pemilih.
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara ad hoc pemilu termasuk salah satu aktor yang paling rentan terjerat politik uang. Kedekatan mereka dengan akar rumput dan juga kuasa mereka di lapangan kerap dimanfaatkan oleh aktor politik untuk kepentingan pemilu. Jika praktik ini terus dibiarkan, integritas penyelenggaraan pemilu akan rusak. Bahkan, legitimasi pemilu juga rentan dipersoalkan.
Berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) tahun 2022, politik uang menjadi salah satu dari lima isu strategis yang menjadi perhatian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Keempat isu lain ialah netralitas aparatur sipil negara; politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan; kampanye hitam di media sosial; serta integritas penyelenggara pemilu.
IKP 2022 merupakan hasil survei dan pengawasan Bawaslu dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota pada Pemilu 2019 dan 2020. Sejumlah isu yang terpotret di IKP 2022 berpotensi terjadi di Pemilu 2024.
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, dalam peluncuran ”Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024: Isu Strategis Politik Uang”, di Bandung, Jawa Barat, Minggu (13/8/2023), mengatakan, dari hasil pemetaan, pelaku politik uang ada empat, yakni kandidat atau tim sukses atau tim kampanye; aparatur sipil negara; penyelenggara ad hoc; dan simpatisan atau pendukung.
Namun, penyelenggara ad hoc perlu menjadi perhatian karena berkaitan erat dengan tantangan integritas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. Penyelenggara ad hoc yang dimaksud bukan hanya yang dibentuk Bawaslu, melainkan juga Komisi Pemilihan Umum (KPU), mulai dari tingkat kecamatan hingga tempat pemungutan suara.
”Kenapa ad hoc? Karena memang ad hoc ini, kan, masa kerjanya sebentar, lalu mereka dekat dengan kepentingan, sangat dekat dengan konflik. Gaji mereka juga tidak terlalu tinggi karena memang kerja-kerja di penyelenggara itu pengabdian. Sehingga dalam posisi seperti itu, maka penyelenggara ad hoc jadi sangat rentan sebagai pelaku politik uang,” ujar Lolly.
Peluncuran pemetaan kerawanan politk uang itu dihadiri perwakilan seluruh Bawaslu provinsi, perwakilan partai politik di Jawa Barat, dan juga perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hadir pula anggota KPU, Parsadaan Harahap, dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ratna Dewi Pettalolo.
Selain itu, hadir Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Pemilu dan Penguatan Partai Politik di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Brigjen TNI Haryadi, Direktur Pengamanan Aparatur Negara Badan Intelijen Negara Antonius, perwira Staf Ahli Tingkat III Bidang Bantuan Kemanusiaan Panglima TNI Laksda TNI Bambang Eko Palgunadi, dan Kasubdit IV Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Boy Rando Simanjuntak.
Dalam paparan indeks, disampaikan, ada lima provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi isu politik uang, meliputi Maluku Utara (skor 100), Lampung (55,56), Jawa Barat (50), Banten (44,44), dan Sulawesi Utara (38,89). Skala skor ialah 0-100, semakin tinggi skor, semakin tinggi tingkat kerawanan isu politik uang di daerah itu. Kemudian, dari 514 kabupaten/kota, ada 24 kabupaten/kora dengan tingkat kerawanan tinggi isu politik uang. Dari jumlah tersebut, lima teratas adalah Jayawijaya (Papua), Banggai (Sulawesi Tengah), Banggai Kepualaun (Sulawesi Tengah), Sekadau (Kalimantan Barat), dan Lampung Tengah (Lampung).
Sanksi tegas
Lolly mengungkapkan, dari pengalaman Pemilu 2019 dan 2020, beberapa penyelenggara ad hoc yang terbukti melakukan politik uang sudah dikenai sanksi tegas, bahkan dipecat. Menurut dia, jika mereka terbukti melakukan politik uang, mereka memang sudah tidak layak lagi menjadi penyelenggara dan patut diberhentikan.
Untuk itu, lanjut Lolly, Bawaslu pusat hingga daerah mempunyai tanggung jawab besar untuk memastikan jajarannya tidak terjebak lagi pada perilaku-perilaku menyimpang, terutama sebagai pelaku politik uang. Ia pun meminta jajarannya untuk memperkuat tiga hal kepada jajaran pengawas ad hoc pemilu, mulai dari pembinaan, evaluasi kinerja, hingga penegakan hukum.
”Dalam konteks ini, apa warning-nya? Kami harus lebih cepat dan kuat lagi memastikan jajaran kami tidak ada yang nakal dan menjadi pelaku politik uang di Pemilu 2024, sebelum orang-orang masukkan (laporan) ke DKPP,” ucap Lolly.
Parsadaan Harahap sependapat dengan Lolly. Menurut dia, ada dua hal yang memang membuat penyelenggara ad hoc rentan didekati oleh para aktor politik dan akhirnya jatuh pada pusaran politik uang. Pertama, mereka memiliki kuasa yang signifikan sebagaimana diberikan oleh undang-undang, yakni menentukan suara sah dan suara tidak sah, serta menentukan pemungutan suara ulang.
”Nah, proses rekapitulasi, kan, juga berjenjang, langsung ke kecamatan, itu dilakukan badan ad hoc juga. Jadi, para aktor politik sudah paham, kekuatannya itu di badan ad hoc. Dan, badan ad hoc ini kadang-kadang lemah setelah mereka (aktor politik) muter ke bawah (lapangan),” kata Parsadaan.
Kedua adalah masalah mentalitas. Ia berpandangan, honorarium mereka kecil per bulan sehingga berpengaruh pada mentalitas para penyelenggara ad hoc ini. Berbeda dengan para penyelenggara pemilu di provinsi ataupun kabupaten/kota yang mana mereka bekerja secara permanen selama lima tahun.
”Yang permanen, kan, dia masih mikir jangka panjang. Jadi, dia menjaga itu dan agak ketahan. Karena itu, mentalitas ad hoc memang perlu dikuatkan terus oleh KPU dan Bawaslu. Saya juga selalu katakan kepada para penanggung jawab di tingkat provinsi dan kabupaten, kota, tolong badan ad hoc ini dikelola dengan baik. Karena kalau tidak dikelola dan dirawat dengan baik, mereka akan dikelola oleh orang,” tutur Parsadaan.
Ujian terberat
Ratna Dewi Pettalolo berharap seluruh jajaran penyelenggara pemilu bisa menjaga profesionalitas dan integritas. Ia meminta agar pemlu tak hanya dimaknai sebagai rutinitas ketatanegaraan setiap lima tahun sekali, tetapi pemilu juga harus dilihat sebagai medan uji integritas untuk para penyelenggara pemilu. ”Karena di sini ujian yang terberat buat kita semua,” katanya.
Ratna juga melihat proses seleksi sebagai penyelenggara pemilu, baik di Bawaslu maupun di KPU, masih bermasalah. Sebagaimana beberapa perkara yang disampaikan ke DKPP, ternyata banyak proses seleksi tersebut terbukti melakukan politik uang.
Berdasarkan data tahun 2023 saja, DKPP sudah menerima 100 perkara berkaitan dengan pembentukan badan ad hoc. Ia juga mendapatkan beberapa informasi bahwa akan ada banyak pula aduan terkait perkara seleksi penyelenggara di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi.
Baca juga: Bahaya Politik Uang bagi Demokrasi
”Mudah-mudahan, itu hanya informasi yang tidak menjadi perkara yang diadukan ke DKPP. Ini perlu menjadi perhatian kita semua. Kita berharap penyelenggara pemilu sejak dilahirkan memiliki karakter dan integritas yang kuat. Jadi, jangan mencederai proses seleksi dengan hal-hal yang mencederai integritas teman-teman sekalian. Kita tidak akan bisa sampai hasil pemilu ke depan bebas politik uang kalau kita menjadi pelaku politik uang itu sendiri,” kata Ratna.
Dihubungi secara terpisah, pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, melihat, kerentanan politik uang memang ada pada setiap tingkatan penyelenggara pemilu, bahkan sampai ke tingkat nasional. Bahkan, tahapan rekrutmen penyelenggara pemilu bisa menjadi arena bancakan untuk terjadinya suap menyuap demi jabatan.
”Hanya saja memang terkait kepentingan pemenangan pemilu, penyelenggara ad hoc lebih rentan terjadi politik uang karena akses mereka pada pengelolaan suara,” ujar Titi.
Karena itu, keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara, harus didesain sedemikian rupa untuk memastikan lebih banyak orang ikut mengawasi proses tersebut. Hasil suara juga harus bisa cepat terpublikasi secara digital. Dengan demikian, potensi kecurangan bisa dicegah dan diantisipasi.
Partai juga diminta ketat menjaga kader dan calon anggota legislatifnya agar berkomitmen tidak melakukan tindakan ilegal dan transaksional demi pragmatisme elektoral. Oknum partai jangan sampai dibiarkan menggoda penyelenggara untuk berbuat curang. Sebaliknya, penyelenggara pemilu juga perlu membangun benteng sistem agar tidak mudah bagi jajarannya terjebak politik uang dan melakukan kecurangan pemilu.
Ujung tombak kemurnian suara pemilih, lanjut Titi, berada pada penyelenggara ad hoc di lapangan. Suara pemilih sebagai cerminan kedaulatan rakyat bisa berbelok menjadi tidak berharga saat petugas di lapangan melakukan praktik transaksional yang berujung pada perubahan hasil suara yang bertolak belakang dengan kehendak rakyat.
”Ini bukan hanya sebagai kejahatan besar terhadap demokrasi dan konstitusi Indonesia, tetapi juga sangat rawan menimbulkan ketidakpuasan yang berujung konflik massa akibat publik tidak puas dengan hasil pemilu yang dianggap curang dan manipulatif,” ucap Titi.
Dampaknya pun bisa ke mana-mana, seperti stabilitas pemerintahan bisa terganggu, masyarakat bisa semakin terpolarisasi, serta meragukan legitimasi hasil pemilu. Akhirnya, penyelenggaraan pemerintahan tak bisa optimal karena warga masih menyimpan ketidakpuasan terhadap hasil pemilu yang mereka yakini diselenggarakan oleh penyelenggara yang transaksional.
Oleh karena itu, Titi berharap, pimpinan KPU dan Bawaslu bisa memberikan teladan dan serius melakukan rekrutmen serta memperkuat kapasitas dan integritas jajaran di bawahnya. KPU dan Bawaslu harus berbenah, khususnya melalui keseriusan membangun sistem kerja jajaran penyelenggara yang terbuka, transparan, akuntabel, serta aksesibel bagi publik untuk melaporkan berbagai pelanggaran dan kecurangan dengan mudah dan penuh rasa aman.
Sebaliknya, jika publik saja ragu pada kredibilitas pimpinan penyelenggara pemlu, sulit berharap peserta pemilu dan masyarakat juga akan percaya pada integritas penyelenggara pemilu di lapangan. ”Integritas penyelenggaraan pemilu pun bukan hanya terancam, tetapi rusak dan membuat legitimasi pemilu rentan dipersoalkan,” tegasnya.