Klausul ”Kedaruratan” Tunda Pemilu Rentan Multitafsir
Kalangan akademisi mengingatkan, amendemen konstitusi harus dilakukan secara jernih, komprehensif, serta ditopang kajian yang kuat dan kokoh secara akademik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Urgensi amendemen konstitusi yang kembali diwacanakan Majelis Permusyawaratan Rakyat dipertanyakan sejumlah kalangan. Wacana amendemen konstitusi yang salah satunya dilakukan untuk memuat ketentuan dasar penundaan pemilu di tengah situasi darurat masih perlu kajian mendalam dan menyeluruh. Klausul ”kedaruratan” juga rentan multitafsir sehingga rentan dimanfaatkan untuk modus memperpanjang masa jabatan, baik presiden maupun anggota legislatif.
Sebelumnya, MPR kembali mewacanakan amendemen konstitusi untuk membuat dasar penundaan pemilu jika terjadi situasi darurat. Namun, amendemen tersebut dipastikan baru akan dilakukan setelah Pemilu 2024 sehingga MPR tidak lagi dicurigai memperpanjang masa jabatan presiden. Tambahan klausul ”kedaruratan” dalam amendemen akan diatur secara rigid agar tidak multitafsir.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (11/8/2023), mengatakan, dari sisi urgensi, belum ada kebutuhan mengamendemen konstitusi. Isu tersebut membutuhkan kajian mendalam dan menyeluruh agar betul-betul mencerminkan argumentasi soal adanya kebutuhan hukum untuk pengaturan melalui amendemen konstitusi.
”Amendemen konstitusi apalagi berkaitan dengan klausul penundaan pemilu harus dilakukan secara jernih, komprehensif, serta ditopang kajian yang kuat dan kokoh secara akademik. Karena itu, belum ada kemandesakan untuk melakukan amendemen konstitusi untuk mengatur hal itu,” ujar Titi.
Titi melanjutkan, Indonesia mempunyai pengalaman pemilihan langsung di masa darurat pandemi Covid-19, yang didahului keputusan penundaan sejumlah tahapan pemilihan. Meski banyak pihak meminta penundaan pemilihan kepala daerah dari 2020 ke 2021, pemerintah berkukuh pilkada tetap dilaksanakan pada 2020.
”Artinya, keputusan penundaan bukan sesuatu yang mudah dan sederhana. Menentukan kondisi darurat yang berdampak penundaan pemilu harus dilakukan sangat cermat, hati-hati, ditopang simulasi menyeluruh, mempertimbangkan situasi sosial politik kemasyarakatan, serta menghitung berbagai konsekuensi atas keputusan yang diambil tersebut terhadap tata kelola pemerintahan dan bernegara,” ujar Titi.
Menurut Titi, penambahan klausul ”kedaruratan” yang multitafsir akan rentan disalahgunakan oleh kepentingan-kepentingan pragmatis, baik agenda partisan maupun motif antidemokrasi lainnya. Hal itu juga dikhawatirkan dapat menimbulkan instabilitas politik serta memicu subversi pemilu di tengah kontestan politik yang masih bermental siap menang tetapi tidak siap kalah.
Amendemen konstitusi apalagi berkaitan dengan klausul penundaan pemilu harus dilakukan secara jernih, komprehensif, serta ditopang kajian yang kuat dan kokoh secara akademik.
Selain itu, klausul multitafsir juga bisa dimanfaatkan untuk modus memperpanjang masa jabatan, baik presiden maupun anggota legislatif, dengan dalih kedaruratan. Hal itu mudah dilakukan terutama saat terjadi persengkongkolan antara eksekutif dan parlemen. ”Makanya harus diatur soal pengaturan penundaan pemilu ini agar ada kontrol atau check and balances yang ketat dalam mekanismenya,” ujar Titi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati sependapat dengan Titi. Rencana mengamendemen konstitusi ini memerlukan kajian yang mendalam, terutama berkaitan dengan definisi kedaruratan.
”Karena misalnya saat pandemi lagi tinggi-tingginya di 2020 yang lalu, kita tetap menyelenggarakan pilkada walaupun banyak penolakan dari masyarakat. Artinya, situasi pandemi pun tidak dianggap sebagai sesuatu yang darurat karena kita tetap menyelenggarakannya,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap MPR tidak gegabah menggulirkan wacana amendemen. Sebab, selain memerlukan kajian yang mendalam dan serius soal ini, keterlibatan partisipasi publik yang bermakna secara luas juga menjadi keharusan.
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, juga berharap, pimpinan MPR bisa lebih bijak dalam mengusulkan perubahan konstitusi. Ia melihat, ide itu tidak relevan digulirkan saat ini di tengah gegap gempita seluruh pihak, termasuk masyarakat, menyiapkan agenda Pemilu 2024.
Semestinya, kata Charles, wacana amendemen juga tidak bisa serta-merta dimunculkan oleh elite, tetapi harus muncul dari diskursus publik. ”Jadi, desakan yang muncul dari masyarakat, bukan datang dari elite. Karena konstitusi itu bukan punya mereka, melainkan punya kita, rakyat Indonesia. Wacana amendemen konstitusi itu yang terpenting harus menjadi wacana publik,” katanya.
Indikator “kedaruratan”
Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember Bayu Dwi Anggono berpandangan, perubahan konstitusi memang merupakan kewenangan MPR. Namun, amendemen harus menangkap resultante kesepakatan sebagian besar masyarakat.
Jika belajar dari masa pandemi Covid-19, menurut Bayu, ada yang perlu dilengkapi dari kosntitusi. Di Pasal 22E Ayat 1 UUD 1945 memang mengatur pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Padahal, ada kondisi yang menyebabkan pemilu tidak bisa dilaksanakan lima tahunan, seperti kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, dan wabah penyakit yang berdampak luas dan sulit diatasi. ”Artinya, keselamatan rakyat hukum tertinggi. Buat apa pemilu kalau justru tidak memberikan keselamatan pada rakyat,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, penambahan klausul ”kedaruratan”dalam menunda pemilu sudah tepat diatur di UUD 1945 dibandingkan di UU. Sebab, UU merupakan domain presiden dan DPR. ”Jadi akan sangat tampak konflik kepentingan kalau diatur di UU karena presiden dan DPR yang terdampak dari penundaan pemilu, ada konflik kepentingan. Namun, dengan diatur di UUD, itu menjadi konsensus bersama,” tuturnya.
Meski demikian, Bayu mengingatkan agar klausul ”kedaruratan” itu diatur secara rigid. Setidaknya ada tiga hal mendasar yang perlu diatur. Pertama, apa saja indikator kedaruratan tersebut sehingga tidak multitafsir, misalnya bencana alam atau wabah penyakit yang berdampak luas dan sulit diatasi.
Kedua, pihak yang berhak memutuskan penundaan ialah MPR, bukan DPR atau presiden. MPR merupakan wadah tertinggi untuk memutuskan apakah penundaan itu sudah sesuai kriteria yang dibuat. Ketiga, penjelasan mengenai status jabatan yang berakhir jabatan ketika pemilu ditunda.