Indeks Kerawanan Pemilu tematik ini dinilai penting untuk memastikan berbagai potensi kerawanan pemilu dapat disikapi dengan strategi terbaik.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS — Seusai membuat Indeks Kerawanan Pemilu atau IKP pada Pemilu dan Pilkada 2024 di akhir tahun lalu, Badan Pengawas Pemilu segera meluncurkan IKP tematik. Pemetaan pelanggaran berdasarkan lima tema besar dibuat untuk memperkuat strategi pencegahan pelanggaran pemilu.
”Bagi Bawaslu, IKP Tematik ini menjadi penting untuk memudahkan kita semua memastikan berbagai potensi kerawanan bisa disikapi dengan strategi terbaik,” ujarnya saat Diskusi Media dan Media Gathering Bawaslu Tahun 2023 di Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (3/8/2023).
Dalam Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) pada Pemilu dan Pilkada 2024 yang diterbitkan 16 Desember 2022 lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyoroti empat dimensi utama yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilu yang demokratis. Dimensi penyelenggaraan pemilu paling banyak berkontribusi terhadap potensi kerawanan pemilu, disusul dimensi konteks sosial politik, kontestasi, dan partisipasi politik.
Bagi Bawaslu, IKP Tematik ini menjadi penting untuk memudahkan kita semua memastikan berbagai potensi kerawanan bisa disikapi dengan strategi terbaik.
IKP juga menunjukkan, ada lima provinsi (15 persen) tergolong rawan tinggi pada Pemilu dan Pilkada 2024, ada 21 provinsi (62 persen) tergolong dalam rawan sedang, dan 8 provinsi (24 persen) masuk rawan rendah. Provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi adalah DKI Jakarta dengan skor 88,95. Sementara di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 85 kabupaten/kota (16,54 persen) tergolong tingkat rawan tinggi, 349 kabupaten/kota (67,90 persen) memiliki tingkat kerawanan sedang, dan 80 kabupaten/kota tergolong tingkat rawan rendah. Dua kabupaten di Papua, yakni Intan Jaya dan Jayawijaya, menjadi kabupaten/kota dengan tingkat rawan tertinggi dengan skor 100.
Lolly menuturkan, IKP tersebut telah didistribusikan ke berbagai pemangku kepentingan untuk memitigasi risiko pelanggaran pemilu. Namun, dari hasil analisis Bawaslu, masih ada kebutuhan untuk memetakan potensi pelanggaran secara lebih detail sehingga perlu dibuat IKP Tematik.
Menurut dia, pemetaan potensi kerawanan secara tematik diperlukan untuk mengkaver beberapa hal yang belum bisa dipetakan secara lebih detail di IKP Pemilu dan Pilkada. Ada beberapa tema yang menjadi sorotan dalam IKP Tematik, yakni politik uang; netralitas aparatur sipil negara (ASN); politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA); serta pemilu di luar negeri.
”IKP Tematik akan diluncurkan sebelum proses kampanye dimulai. Tempat peluncurannya berdasarkan hasil IKP Tematik yang menunjukkan di provinsi mana kerawanan paling tinggi terjadi,” ucap Lolly.
Pada kesempatan yang sama, mantan anggota Bawaslu, Wahidah Suaib Witoeng, mengatakan, residu dari proses seleksi penyelenggara pemilu, yakni di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu, harus diantisipasi. Sebab, dari laporan dan pemantauannya, ada sejumlah persoalan yang muncul saat proses seleksi di pusat dan daerah. Tim seleksi yang telah dibentuk memiliki kedekatan dengan partai politik, mantan tim pemenangan peserta pemilu, serta berasal dari birokrat yang cenderung setia kepada kepala daerah.
”Seleksi yang tidak obyektif justru akan merepotkan penyelenggara pemilu. Jangan karena gerbong kelompoknya, jadi menafikkan peserta yang memiliki pengalaman dan integritas baik,” tuturnya.
Selain itu, Wahidah juga menilai kerawanan justru berasal dari produk hukum yang diterbitkan oleh penyelenggara pemilu. KPU mendegradasi aturan dengan mengubah pasal-pasal yang substantif dan mengakibatkan pertentangan dengan undang-undang. Salah satunya aturan penghitungan persentase keterwakilan perempuan dengan metode pembulatan ke bawah yang merugikan caleg perempuan.
Sementara di aspek akses data, Bawaslu kesulitan mengakses data pemilu yang dikelola KPU, salah satunya data bakal caleg. Dalih KPU untuk tidak membagi data karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi seharusnya tidak terjadi karena KPU dan Bawaslu sama-sama penyelenggara pemilu. ”Ini problem klasik yang semestinya diakhiri di periode ini,” katanya.
Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Unu Herlambang, mengingatkan, netralitas penyelenggara pemilu harus dijaga, bahkan sikap yang menimbulkan kesan berpihak harus dihindari. Integritas dan profesionalitas bisa diperkuat dengan peningkatan sumber daya manusia penyelenggara pemilu yang profesional, memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan, dan pengalaman.
Lebih jauh, lanjutnya, tren pengaduan ke DKPP terus meningkat seiring tahapan pemilu yang semakin krusial. Pada 2022, ada 49 perkara yang teregistrasi, meningkat lebih dari 100 persen menjadi 100 perkara selama Januari hingga Juli 2023. Prinsip profesionalitas menjadi yang terbanyak dilanggar oleh penyelenggara pemilu.
Oleh karena itu, menurut Unu, penyelenggara pemilu harus menjaga integritas dan profesionalitasnya. Hal itu bisa dilakukan, antara lain, dengan tidak menunjukkan sikap berpihak kepada salah satu calon atau peserta pemilu, termasuk sikap yang mengesankan adanya keberpihakan serta adil dalam mengakomodasi masukan, tanggapan, dan keberatan masyarakat dan peserta.
”Penyelenggara pemilu juga harus menjalankan mekanisme, tata cara, dan prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pedoman teknis sebagai bentuk profesionalitas,” katanya.
Kepala Desk Politik, Hukum, dan Keamanan Kompas Antony Lee mengatakan, isu polarisasi kembali menjadi perhatian publik dan media arusutama. Potensi polarisasi di Pemilu 2024 dipengaruhi beberapa hal, antara lain banyaknya kandidat beserta isu yang dibawa untuk memengaruhi pemilih. Selain itu, kedewasaan pemilih dalam menerima informasi juga sangat menentukan terjadinya polarisasi di masyarakat.
”Netralitas penyelenggara pemilu turut memengaruhi potensi polarisasi,” katanya.