PK, Upaya Hukum Luar Biasa yang Kehilangan Keluarbiasaannya?
PK adalah upaya hukum luar biasa untuk memeriksa ulang perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Pemeriksaan ulang putusan inkrah itu pun dengan alasan luar biasa. Namun, praktiknya, teceminkah luar biasa itu?
Tokoh-tokoh di dunia hukum bertemu di sebuah ruang penuh buku, tepatnya di Perpustakaan Erasmus Huis, pekan lalu. Ada Ketua Mahkamah Agung (MA) M Syarifuddin; Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Sunarto; mantan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro; sejumlah hakim agung seperti Nani Indrawati; mantan unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Chandra M Hamzah dan Laode M Syarif; unsur pimpinan Komisi Yudisial (KY) dan mantan pemimpin KY; serta para advokat senior; dan akademisi.
Tak hanya dari dalam negeri, acara tersebut juga dihadiri penulis buku Runtuhnya Mahkamah Agung, Sebastian Pompe; Guru Besar Ilmu Hukum di Australian National University Veronica Taylor; dan Guru Besar Ilmu Hukum dari Universitas Tilburg, Belanda, Maurice Adams.
Di dalam pertemuan yang dihadiri para pendekar hukum tersebut, mereka membahas upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK). Diskusi ini memang digelar dalam rangka peluncuran buku karya komisioner KY, Binziad Kadafi, berjudul Peninjauan Kembali, Koreksi Kesalahan dalam Putusan. Buku ini merupakan disertasi Binziad di Universitas Tilburg, Belanda.
Baca juga: Mendesain Ulang Peninjauan Kembali
Dalam acara itu, Binziad memaparkan secara ringkas isi bukunya yang merupakan hasil studi doktriner diracik dengan fakta empirik yang berhasil dia kumpulkan. Ia menguraikan PK baik dari sisi persyaratan formil, materil, maupun prosedural, lalu membandingkan dengan praktik PK yang ada di Belanda.
Secara ringkas, isi bukunya yang merupakan hasil studi doktriner diracik dengan fakta empirik yang berhasil dia kumpulkan. Ia menguraikan PK baik dari sisi persyaratan formil, materil, maupun prosedural, lalu membandingkan dengan praktik PK yang ada di Belanda.
Inkonsistensi
Dalam teorinya, PK merupakan upaya hukum luar biasa untuk memeriksa ulang suatu perkara pidana yang sudah diputus dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Pemeriksaan ulang terhadap putusan inkrah tersebut dilakukan dengan alasan yang luar biasa pula. Hanya saja, Binziad mempertanyakan apakah karakter luar biasa PK tersebut tecermin secara empirik dalam praktik selama ini.
Ia kemudian menguraikan makana frasa ”luar biasa”. Selalu dibayangkan bahwa luar biasa merupakan suatu situasi yang eksklusif, istimewa, berbeda dengan yang lain, dan tentunya mengesankan. Namun, fakta menunjukkan kondisi yang berbeda, bahkan berbalik dari gambaran tersebut.
PK bukan lagi sesuatu yang eksklusif. MA justru selalu kebanjiran perkara PK.
”PK bukan lagi sesuatu yang eksklusif. MA justru selalu kebanjiran perkara PK,” kata Binziad.
Hal ini setidaknya tergambar dalam data perkara MA tahun 2022. Pada tahun itu ada 9.519 permohonan PK masuk ke MA untuk berbagai jenis perkara. Sebanyak 64 persen dari jumlah PK yang masuk (6.093 perkara) adalah perkara PK pajak.
Jumlah tersebut tergolong sangat banyak jika dibandingkan dengan PK yang diterima Hoge Raad (MA) Belanda. Pada tahun 2022, MA Belanda hanya menerima tujuh permohonan PK pidana (herziening) dalam setahun. Sementara di Indonesia, jika dirata-rata dalam sembilan tahun terakhir, ada permohonan PK sebanyak 585 perkara yang masuk ke MA.
Khusus tahun 2022 ada kenaikan jumlah permohonan PK sebesar 66,55 persen dibandingkan dengan 2021. Kenaikan terbesar ada di perkara pajak, di mana terjadi peningkatan sebanyak 80,85 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam catatan Binziad, tingkat keberhasilan PK relatif kecil. Sebanyak 85 persen permohonan PK ditolak. Selama bertahun-tahun, tingkat keberhasilan PK hanya sekitar 12 persen. Anomali terlihat pada PK perdana khusus, yang mayoritas merupakan perkara narkotika dan korupsi. Tingkat keberhasilan upaya hukum PK untuk dua perkara tersebut lebih besar. Misalnya, pada 2022 tingkat keberhasilan PK dua perkara ini sebanyak 35 persen.
Tingkat keberhasilan PK relatif kecil. Sebanyak 85 persen permohonan PK ditolak. Selama bertahun-tahun, tingkat keberhasilan PK hanya sekitar 12 persen. Anomali terlihat pada PK perdana khusus, yang mayoritas merupakan perkara narkotika dan korupsi. Tingkat keberhasilan upaya hukum PK untuk dua perkara tersebut lebih besar. Misalnya, pada 2022 tingkat keberhasilan PK dua perkara ini sebanyak 35 persen.
Belakangan, Binziad mencatat adanya tren PK dijadikan satu-satunya upaya hukum yang ditempuh para terdakwa/terpidana. PK dijadikan pengganti banding dan kasasi. Mereka membiarkan putusan tingkat pertama berkekuatan hukum tetap dengan cara tidak mengajukan banding. Setelah itu, mereka mengajukan PK ke MA.
Pada 2022 jenis PK semacam ini melonjak drastis. Fenomena tersebut, menurut Binziad, terjadi akibat adanya ketentuan bahwa putusan PK tidak boleh lebih berat dari putusan sebelumnya ataupun setidaknya sama dengan putusan yang diajukan upaya hukum.
Hal ini diamini oleh hakim agung MA untuk kamar perdata, Nani Indrawati. Tak hanya di kamar pidana, fenomena melonjaknya perkara PK dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya juga terjadi di kamar perdata. ”Saya sebagai hakim di kamar perdata sering mempertanyakan, sebenarnya agak ’menuduh’ advokat yang mem-push para pihak. Saya kadang-kadang sebagai hakim agung sekarang ini merasa kasian banget dengan para pihak ini,” katanya.
Ia sering kali melihat banyak perkara yang sebenarnya sudah jelas dan remeh-temeh, tetapi diajukan PK. Misalnya, gugatan dari awal sudah amburadul sehingga diputus oleh pengadilan negeri tidak dapat diterima. Saat diajukan banding dan kasasi, putusannya sama. Tetapi, perkara itu masih tetap diajukan PK.
”Saya merasa, kayak tempat sampah saja ini MA. Semuanya bisa masuk. Bahkan saya baru memutus (perkara) yang disengketakan itu 5 meter, lo. Jadi, obyek sengketanya sendiri 432 meter persegi, tapi 5 meter yang dipersengketakan. Nilai gugatannya yang sangat sedikit itu sering kali saya periksa (perkaranya). Artinya, ini sebenarnya layak tidak diperiksa oleh MA,” tutur Nani. Ia pun mengusulkan agar dilakukan pembatasan perkara.
Rekomendasi
Dalam bukunya, Binziad Kadafi menegaskan pentingnya PK untuk menjaga finalitas putusan, tidak semata untuk mengoreksi kesalahan. Ia menawarkan fondasi baru sistem dan praktik PK yang berprinsip di Indonesia. Salah satu yang ia tawarkan adalah menghapus alasan PK karena ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata dalam putusan majelis hakim.
Menurut dia, alasan materiil PK sebaiknya dibatasi pada adanya novum atau bukti baru, putusan saling bertentangan, dan pernyataan terbukti bersalah tanpa pemidanaan. Ia juga mengusulkan suatu mekanisme untuk meninjau putusan hakim yang majelis hakim atau aparat penegak hukumnya disuap. Dalam situasi adanya putusan yang merugikan seperti ini, negara perlu mendapat fasilitas pengajuan PK.
Alasan materiil PK sebaiknya dibatasi pada adanya novum atau bukti baru, putusan saling bertentangan, dan pernyataan terbukti bersalah tanpa pemidanaan. Ia juga mengusulkan suatu mekanisme untuk meninjau putusan hakim yang majelis hakim atau aparat penegak hukumnya disuap. Dalam situasi adanya putusan yang merugikan seperti ini, negara perlu mendapat fasilitas pengajuan PK.
Buku tersebut juga mengusulkan perlunya perbaikan sistem dalam penanganan PK. Dalam system baru yang ditawarkan, MA hanya memutus apakah permohonan tersebut diterima atau tidak. Apabila diterima, perkara PK akan dirujuk ke judex factie dalam hal ini adalah pengadilan tinggi yang terdekat dengan locus delicti perkara. Alasannya, untuk memudahkan pemeriksaan faktual. Pengadilan tinggi juga yang nantinya memutuskan apakah permohonan tersebut akan dikabulkan atau ditolak, termasuk juga menyediakan ganti rugi atau kompensasi bagi terpidana ataupun korban.
Ketua MA M Syarifuddin mengapresiasi buku tentang PK tersebut. Demikian pula dengan hadirin lainnya. Lebih jauh lagi Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Sunarto mengungkapkan, ada sumbangan pemikiran yang diberikan Binziad Kadafi terutama berkaitan dengan kondisi perkara di MA saat ini yang terus meningkat. Dalam perkara PK, alasan yang paling banyak dikemukakan para pemohon PK adalah adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata di dalam putusan sebelumnya. ”Itu yang paling banyak,” kata Sunarto.
Meski kebanyakan perkara PK ditolak, masyarakat pencari keadilan terus ingin mencoba upaya hukum luar biasa tersebut. ”Publik masih ingin terus berpuas diri dengan putusan PK. Kalau putusan PK yang pertama, mungkin masih rasional. Ini bahkan ada PK keempat. Kapan perkara ini akan berakhir?” tanya Sunarto.
Arsul Sani, anggota Komisi III DPR, mengungkapkan, pemikiran yang ditawarkan Binziad Kadafi akan sangat berguna ketika pembentuk undang-undang memperbaiki Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KHUP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Undang-Undang MA. Saat ini pihaknya memang membahas apakah kondisi banjir perkara kasasi/PK ke MA akan dipertahankan atau tidak.
Dalam sistem hukum kita, kecuali mungkin beberapa hal termasuk praperadilan, boleh dibilang semua perkara—termasuk perkara perdata—bisa dikasasi. Dari urusan beli jarum pentul sampai satelit, bisa dikasasi. Di perkara perdata tidak ada pembatasan.
”Dalam sistem hukum kita, kecuali mungkin beberapa hal termasuk praperadilan, boleh dibilang semua perkara—termasuk perkara perdata—bisa dikasasi. Dari urusan beli jarum pentul sampai satelit, bisa dikasasi. Di perkara perdata tidak ada pembatasan,” kata Arsul.
Baca juga: Peninjauan Kembali Lucas Dikabulkan, KPK Diminta Maksimal Kumpulkan Bukti
Saat ini pihaknya juga sedang memikirkan apakah perkara gugatan cerai perlu sampai ke MA atau tidak. ”Ketika kita tetapkan bahwa ada pembatasan kasasi, konsekuensinya adalah apakah diberi kesempatan untuk PK. Kalau diberi kesempatan, harus kita konstruksikan kembali apa alasan-alasan PK yang memungkinkan. Ini supaya PK tidak kemudian dari peradilan keempat turun menjadi peradilan tingkat tiga,” kata Arsul.
Terobosan bagi persyaratan pengajuan PK yang tidak sekadar remeh-temeh tetapi substansial untuk mendekati keadilan dan kebenaran yang hakiki tentu diharapkan segera ditetapkan. Ayo MA, DPR, kalangan hukum, akademisi, praktisi, pengacara, mahasiswa hukum, gagasan dan pandangannya yang mumpuni demi kebaikan dan jalan lurusnya penegakan hukum kita.