Saat Para Pemuda Menggugat Masa Jabatan Ketua Umum Partai Politik
Setidaknya ada tiga permohonan pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik yang masuk ke MK. Keseluruhannya diajukan oleh anak muda.
”Beri aku 1.000 orang tua dan bersama mereka dapat kupindahkan Gunung Semeru. Tapi beri aku 1.000. Tidak. Seratus, ya, bahkan hanya 10 pemuda dengan semangat muda dan cinta Tanah Air yang membara, akan kuguncangkan dunia.”
Kalimat itu disampaikan Soekarno, Presiden pertama RI, saat berpidato dalam Kongres Indonesia Raya di Surabaya pada 31 Desember 1931. Dari pernyataan itu terlihat bagaimana Bung Karno meyakini kaum muda punya semangat menggelora menjadi agen perubahan. Keyakinan Bung Karno itu pun terbukti, 14 tahun kemudian para pemudalah yang mengantarkan Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Reformasi 1998 juga merupakan buah perjuangan para pemuda dan mahasiswa. Mereka secara massif memperjuangkan demokratisasi dan menumbangkan rezim otoritarian Orde Baru.
Saat ini, ada sekelompok pemuda yang juga tengah mencoba membalik keadaan, mengguncang kemapanan dengan mengupayakan adanya norma atau ketentuan untuk membatasi masa jabatan ketua umum partai politik. Jalur yang digunakan adalah dengan menguji norma di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Para pemuda ini meminta Mahkamah Konstitusi membuat norma baru berupa pembatasan masa jabatan ketua umum parpol menjadi maksimal dua periode. Apabila satu periode masa jabatan adalah lima tahun, ketua umum partai politik tak boleh menjabat lebih dari sepuluh tahun.
Baca juga: MK Diminta Membatasi Masa Jabatan Ketua Umum Parpol
Setidaknya ada tiga perkara yang saat ini tengah berproses di MK. Keseluruhannya diajukan oleh anak muda. Ada yang baru berusia 19 tahun dengan status mahasiswa, ada advokat atau calon advokat, ada pula karyawan.
Adalah Risky Kurniawan, mahasiswa, menjadi pemohon uji materi UU Parpol yang didaftarkan pada Minggu (9/7/2023) dan hingga Rabu (12/7/2023) permohonannya belum diregistrasi. Risky didampingi oleh dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Internasional Batam, Albert Ola Masan Setiawan Muda dan Otniel Raja Maruli Situmorang.
Dua perkara lainnya, yakni perkara 69/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Eliadi Hulu dan Saiful Salim, Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, dan perkara 75/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Muhammad Helmi Fahrozi, E Ramos Patege, dan Leonardus O Magai. E Ramos Partege pernah menguji Undang-Undang Perkawinan, khususnya terkait dengan pernikahan beda agama, setelah gagal menikah karena ada perbedaan keyakinan.
Risky yang kini berusia 19 tahun telah menjadi anggota Partai Golkar sejak 30 Juni 2023. Ia punya mimpi untuk menjadi ketua umum partai politik. Namun, ia meyakini mimpi itu akan sulit terwujud karena terhambat tiadanya aturan yang mengikat dan pasti mengenai pembatasan masa jabatan ketua umum di dalam UU Partai Politik. Dengan demikian, ketua umum partai bisa menjabat selama-lamanya atau berhenti dengan sendirinya.
Risky dan kawan-kawannya mempersoalkan Pasal 2 Ayat (1) Huruf b UU Parpol ke MK, meminta agar pasal tersebut ditambahi norma baru berupa masa jabatan ketua umum partai cukup lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali dua kali dalam jabatan yang sama. Tidak adanya pembatasan masa jabatan berimplikasi pada adanya penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Wewenang yang melekat pada jabatan ketua umum dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan pribadi secara bebas.
Apabila permohonan tersebut dikabulkan, Risky berkeyakinan tidak akan menderita kerugian konstitusional ke depannya. Sebab, ia berniat untuk pindah keanggotaan dari Partai Golkar ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Sementara itu, perkara nomor 69/2023 diajukan bukan oleh anggota partai politik. Mereka sengaja tidak menempatkan anggota partai sebagai pemohon mengingat jika berstatus anggota partai, kebebasan mereka menjadi terhambat karena ada potensi intervensi dari petinggi-petinggi partai. Berbeda dengan pemohon sebelumnya, perkara nomor 69/2023 menyoal Pasal 23 Ayat (1) UU Parpol. Pemohon meminta MK memaknai ketentuan Pasal 23 Ayat (1) yang berbunyi, ”Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART”. MK perlu memberikan kepastian hukum dengan menyatakan AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga) partai politik mengatur masa jabatan pengurus selama lima tahun dan dapat dipilih satu kali dalam masa jabatan yang sama.
Baca juga: Pakar Hukum dan Parpol Beda Sikap Soal Pembatasan Jabatan Ketum Parpol
Perkara selanjutnya, nomor 75/2023, diwakilkan kepada kuasa hukum Zico Leonard Djagardo. Perkara ini belum disidangkan. Persoalan yang diajukan kurang lebih sama dengan dua perkara lainnya.
”Legal standing” masih kabur
Dari tiga perkara yang diterima MA, baru perkara nomor 69/2023 yang sudah disidangkan untuk pertama kalinya pada Selasa (11/7/2023) oleh majelis panel yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra. Dengan didampingi oleh hakim konstitusi Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic P Foekh, para pemohon diberi nasihat yang kebanyakan berkaitan dengan persoalan legal standing atau kedudukan hukum para pemohon. Persoalan legal standing sangat penting karena terkait dengan kerugian konstitusional yang diderita oleh pemohon sehingga mempersoalkan norma yang diuji.
Guntur Hamzah mempersoalkan para pemohon yang belum menjadi anggota partai politik tetapi menguji pembatasan masa jabatan ketua umum partai. Kerugian yang didalilkan pemohon masih bersifat potensial. Oleh karena itu, ia meminta agar persoalan kedudukan hukum harus digali kembali.
Lebih jauh Daniel Yusmic P Foekh menilai legal standing dari para pemohon masih kabur. ”Kalau anggota dari underbow partai (misalnya Soksi, Kosgoro, dan MKGR) mungkin ada irisian-irisannya. Tapi kalau sama sekali tidak ada, ini agak jauh, ya. Nanti coba di dalam perbaikan permohonan dielaborasi bagaimana mengaitkan ini supaya bisa meyakinkan hakim (bahwa pemohon) memiliki legal standing,” ungkapnya.
Saldi Isra meminta agar para pemohon memikirkan secara serius persoalan legal standing tersebut. ”Karena begini, baru potensi, ini Anda kan berandai-andai saja tadi. Karena kemungkinan ini usianya sudah lebih 17 tahun akan masuk partai politik. Nanti kalau ada UU Kedokteran, akan menjadi dokter juga. Ini akan repot jadinya,” katanya.
Ia pun meminta agar uraian tentang kerugian konstitusional yang masih potensial tersebut—menurut penalaran yang wajar—dapat dipastikan akan terjadi. ”Jadi, andai-andai Anda tadi itu harus didukung dengan bukti yang bahwa itu dipastikan akan terjadi. Nah, itu yang tidak Anda uraikan sama sekali,” tegas Saldi.
Substansi
Berkenaan dengan materi permohonan, Guntur Hamzah meminta pemohon untuk mencari referensi mengenai persoalan serupa di luar negeri. ”Di luar negeri, yang sudah masuk pada pembatasan jabatan ketua umumnya atau pengurusnya, berapa tahun? Satu periode, cari. Karena tentu ada di beberapa negara yang melakukan seperti itu,” ungkapnya.
Ia pun meminta agar argumentasi pembatasan masa jabatan ketua umum partai bisa lebih berkualitas dan komprehensif dengan mengungkapkan argumentasi dari sisi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Terkait dengan masa jabatan ketua umum partai, Daniel mencontohkan perlunya elaborasi lebih jauh mengenai pandangan ahli terkait demokratisasi di internal partai politik. Ini juga termasuk juga bagaimana mengukur tingkat demokrasi di internal partai, apakah dengan proses pembuatan keputusan dalam pemuatan program kerja, pengisian kandidat dalam jabatan-jabatan publik, atau ukuran lainnya.
Tidak ada elaborasi lebih jauh terkait dengan misalnya tidak menyebut berapa jumlah partai, bagaimana mekanisme pemilihan ketua partai, dan sebagainya.
Terkait aspek yuridis, Daniel menyarankan agar pemohon mengaitkannya dengan konstitusi. Setidaknya ada empat pasal di dalam UUD 1945 yang dapat dikaitkan dengan apa yang dipersoalkan oleh pemohon, misalnya Pasal 6A Ayat (2) terkait pengusulan pasangan calon presiden/wakil presiden, Pasal 8 Ayat (3) tentang mekanisme pengisian kekosongan jabatan presiden/wapres, Pasal 22E mengenai penegasan partai politik sebagai peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD, serta Pasal 24C Ayat (1) terkait kewenangan MK membubarkan parpol.
”Tidak ada elaborasi lebih jauh terkait dengan misalnya tidak menyebut berapa jumlah partai, bagaimana mekanisme pemilihan ketua partai, dan sebagainya. Karena itu, mungkin pemohon juga perlu mengangkat bagaimana original intent-nya dalam pembahasan, baik di undang-undang maupun juga mungkin UUD. Coba dielaborasi dalam permohonan ini,” pinta Daniel.
Terlepas dari masih banyaknya kekurangan di dalam permohonan para anak muda tersebut, semangatnya untuk melakukan perubahan melalui jalur konstitusional yang disediakan patut diapresiasi. Kenyataannya, memang ada status quo dalam kepemimpinan sejumlah partai.
Ada partai politik yang tidak berganti kepemimpinan sejak 1999, ada pula yang sejak 2001 dan baru berganti pada 2020 kemudian diteruskan oleh putranya, lalu ada pula yang memimpin sejak tahun 2008.
Apa yang dilakukan oleh para pemuda tersebut mengganggu sesuatu yang mapan, mengganggu praktik yang sudah berlangsung selama beberapa dekade belakangan ini. Apakah akan berhasil? Bisa ya, bisa tidak.