Kewenangan Penyidikan Jaksa untuk Kasus Korupsi Dinilai Tidak Tepat
Penilaian dari pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, menuai banyak pertanyaan. Di antaranya dari kuasa presiden yang diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk menghapus kewenangan jaksa melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus-kasus korupsi dan tindak pidana khususnya lain yang diatur di undang-undang. Pemberian kewenangan tersebut dinilai tak tepat sebab Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana menganut prinsip diferensiasi fungsional.
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Jamin Ginting, mengungkapkan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menganut penuntut tunggal atau single prosecution system. KUHAP hanya memberikan kewenangan penuntutan kepada jaksa. Sementara penyelidikan dilakukan oleh kepolisian, sementara penyidikan oleh penyidik kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil.
Hal ini juga dipertegas di dalam UU No 5/1991 tentang Kejaksaan. Disebutkan pada Pasal 1 Ayat (1), jaksa merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan melaksanakan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Penegasan kembali disampaikan Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan yang menyebutkan Kejaksaan Ri adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.
”Tidak satu pun di undang-undang ini yang bilang jaksa melaksanakan fungsi penyelidikan dan penuntutan,” kata Jamin Ginting, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (11/7/2023).
Kewenangan jaksa melaksanakan fungsi penyelidikan dan penyidikan untuk kasus korupsi dan tindak pidana tertentu baru muncul dalam UU No 16/2004, di dalam Pasal 30 Huruf d. Kewenangan serupa juga disebutkan di dalam UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama pada Pasal 39, Pasal 44 Ayat (4) dan (5), dan Pasal 50 Ayat (4).
Dalam konteks criminal justice system atau sistem peradilan pidana, RI menganut asas diferensial fungsional dimana setiap aparat penegak hukum memiliki tugas dan fungsi sendiri-sendiri dan terpisah satu sama lain. KUHP telah membagi fungsi setiap aparat penegak hukum, yakni penyelidik dan penyidik adalah polisi, penyidik adalah pejabat polisi dan pejabat PNS tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undangan. Sementara jaksa melaksanakan tugas penuntutan dan penetapan hakim.
Mengacu pada Pasal 14 UU Kejaksaan, koordinasi dan fungsi pengawasan diberikan jaksa sejak diberikannya surat perintah dimulainya penyidikan atau SPDP. Jaksa berperan dalam memberi petunjuk dalam prapenuntutan dalam rangka hasil penyelidikan dan penyidikan.
”Dengan peran ini, maka seharusnya peran penyelidikan dan penyidikan setelah adanya KUHAP tidak lagi diberikan kepada jaksa. Ini karena akan membuat bias fungsi check and balances dalam pengawasan di mana penyelidik dan penyidik adalah jaksa, dan penuntut umum adalah jaksa. Egosektoral dan emosional institusi untuk saling melindungi akan mengaburkan fungsi pengawasan,” kata Jamin Ginting.
MK juga pernah mengeluarkan putusan nomor 28/PUU- V/2007. Putusan itu mengamanatkan, untuk mengatasi terjadinya tumpang tindih fungsi penyidikan yang dilakukan oleh berbagai aparat penegak hukum, demi tegaknya sistem peradilan pidana tertentu, perlu dibentuk undang-undang untuk menyelaraskan berbagai ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan penyidikan. Ini akan lebih mengukuhkan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pencari keadilan, juga jaminan kepastian hukum untuk aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Khusus dalam fungsi penyidikan, apabila pembentuk undang-undang menetapkan kejaksaan sebagai penyidik dalam pidana tertentu, maka seyogianya kepolisian ditentukan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan dalam tindak pidana tertentu tersebut. Demikian pula sebaliknya, bila wewenang penyidikan sepenuhnya diberikan ke kepolisian, jaksa hanya berwenang melakukan penuntutan.
Jamin Ginting juga mengutip buku Yudi Kristiana yang menyebutkan dalam kurun waktu 1999-2005 banyak penyelidikan dalam kasus korupsi dihentikan karena kebijakan pimpinan. Misalnya, pada 2005, dari jumlah 494 penyelidikan ditambahi sisa tahun sebelumnya sebanyak 30 buah, Sebagian besar dihentikan penyelidikannya (362 kasus). Yang ditingkatkan ke penyidikan sebanyak 169 kasus.
Atas keterangan tersebut, Jamin Ginting mendapatkan begitu banyak lontaran pertanyaan. Kuasa presiden yang diwakili dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mempertanyakan pandangan Jamin khususnya bahwa jaksa yang dinilai tidak seharusnya diberikan kewenangan penyidikan kasus korupsi dan kejahatan tertentu.
Ia mengingatkan Jamin Ginting bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) merupakan lex specialis yang bercirikan bahwa hal yang dilarang di dalam KUHP bisa menjadi tidak dilarang. Meskipun KUHAP tidak memberi kewenangan sebagai penyidik, UU PTPK merupakan lex specialis, maka jaksa pun boleh sebagai penyidik.