Pakar Hukum dan Parpol Beda Sikap Soal Pembatasan Jabatan Ketum Parpol
Sejumlah pimpinan parpol menolak wacana pembatasan masa jabatan ketua umum parpol. Sementara itu, beberapa pakar hukum tata negara mendukung pembatasan masa jabatan ketum parpol.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengurus sejumlah partai politik menyebut permohonan uji materi terkait pembatasan masa jabatan ketua umum partai tidak tepat sasaran. Setiap partai dinilai memiliki mekanisme penentuan aturan main yang disesuaikan dengan identitasnya. Namun, sejumlah pakar hukum tata negara menilai pembatasan masa jabatan ketua umum partai perlu dilakukan. Sebagai pilar utama demokrasi, partai politik perlu mewujudkan hakikat demokrasi itu sendiri, yakni pembatasan kekuasaan.
Wacana pembatasan masa jabatan ketua umum parpol mengemuka dengan adanya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan diajukan Eliadi Hulu dan Saiful Salim yang diregistrasi dengan Nomor 69/PUU-XXI/2023 tanggal 27 Juni 2023. Adapun uji materi dilakukan pada Pasal 23 Ayat (1) UU No 2/2011.
Dalam dokumen permohonan yang diregistrasi, para pemohon menjelaskan, alasan permohonan di antaranya UU Parpol wajib memerintahkan pengaturan pembatasan masa jabatan pimpinan parpol dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Pengaturan pembatasan periodisasi pimpinan parpol dipandang perlu karena implementasi dari parpol sebagai instrumen, pilar demokrasi, dan pelaksana kedaulatan rakyat.
Para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 Ayat (1) UU No 2/2011 bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai bahwa pergantian kepengurusan parpol di setiap tingkatan dilakukan sesuai AD/ART. Khusus untuk ketua umum atau sebutan lainnya, AD/ART wajib mengatur masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
Menanggapi permohonan tersebut, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto, Minggu (2/7/2023), mengatakan, uji materi untuk membatasi masa jabatan ketua umum parpol tak tepat sasaran. Sebab, setiap parpol berdiri dari landasan ideologis, historis, kultur, basis massa, dan cara mengorganisasikan rakyat guna mendapat kekuasaan secara konstitusional. Berdasarkan prinsip itu, setiap partai memiliki sifat yang unik, termasuk dalam tradisi kepemimpinannya.
Tradisi kepemimpinan di setiap parpol tidak bisa dilepaskan dari ideologi, sejarah, kultur, dan kehendak pemegang kedaulatan partai yang disampaikan melalui lembaga pengambil keputusan tertinggi, yakni kongres partai. ”Dengan demikian, pembatasan masa jabatan (ketua umum) tidak diperlukan. Isu yang paling penting terkait partai adalah pelembagaan partai,” ujarnya.
Ia menambahkan, di PDI-P, pelembagaan partai dibangun sebagai pembauran antara kepemimpinan, ideologi, kultur, dan transformasi organisasi dalam beradaptasi dengan kemajuan zaman. Hal itu membutuhkan komitmen kuat dan dilakukan secara terus-menerus serta arahan dari pemimpin. Karena itu, kepemimpinan di PDI-P disebut sangat khas.
Selain itu, kata Hasto, merujuk konstitusi dan pengalaman di negara lain, masa jabatan yang semestinya dibatasi adalah pejabat negara dan/atau pemerintah. Adapun durasi jabatan ketua umum parpol bergantung pada konsensus di internal atau AD/ART partai. ”Masa jabatan ketua umum parpol tidak sepatutnya direduksi berdasarkan masa jabatan pejabat negara atau pejabat pemerintah,” ujarnya.
PDI-P merupakan parpol yang berakar dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan sejak 1927 oleh Ir Soekarno, Presiden pertama RI. Di akhir masa Orde Baru, partai yang masih bernama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu mengalami dualisme kepemimpinan yang dipimpin Suryadi dan Megawati Soekarnoputri. Adapun PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri kemudian bertransformasi menjadi PDI-P pada Februari 1999. Sejak saat itu hingga lima kali kongres yang dilakukan setiap lima tahun sekali, Megawati Soekarnoputri selalu kembali terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi.
Pola kepemimpinan serupa juga terjadi pada parpol lain, salah satunya Partai Gerindra. Sejak didirikan oleh Prabowo Subianto pada 2008, partai tersebut baru memiliki dua ketua umum. Pada 2008-2014, Gerindra dipimpin oleh Suhardi. Adapun sejak 2014 hingga saat ini, partai tersebut dipimpin oleh Prabowo yang tak hanya menjadi ketua umum, tetapi juga ketua dewan pembina.
Begitu pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Partai yang didirikan pada 1998 itu pernah dipimpin oleh Matori Abdul Djalil (1998-2001) dan Alwi Shihab (2001-2002). Adapun sejak 2005 sampai saat ini, setelah melakukan empat kali melakukan Muktamar, Muhaimin Iskandar terpilih empat kali berturut-turut secara aklamasi.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman melihat, uji materi terhadap masa jabatan ketua umum parpol merupakan gugatan yang aneh dan justru menentang prinsip kebebasan berorganisasi yang dijamin konstitusi. Parpol merupakan organisasi independen yang dibentuk masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan pendapat, kehendak, dan cita-cita.
”Dengan begitu, soal masa jabatan ketua umum adalah domain internal parpol. Berapa pun lama masa jabatannya, akan diatur secara demokratis melalui AD/ART. Aneh kalau aturan internal justru dimohonkan agar diatur oleh negara melalui UU. Ini namanya perampokan hak demokrasi rakyat,” kata Habiburokhman.
Ia menegaskan, parpol merupakan organisasi yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat. Jika organisasi tersebut tidak menerapkan prinsip demokrasi, dengan sendirinya parpol akan ditinggalkan masyarakat dan tidak dipilih dalam pemilu. Karena itu, tidak adanya pembatasan masa jabatan ketua umum dalam AD/ART parpol tidak serta-merta berarti parpol tidak demokratis. Parpol memiliki mekanisme tersendiri untuk menjamin hal tersebut, tidak terkecuali di Gerindra.
”Kami ada mekanisme pengambilan keputusan berjenjang, di mana yang berdaulat adalah anggota,” ujarnya.
Prinsip demokratisasi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengungkapkan, parpol merupakan sumbu utama penerapan prinsip demokratisasi. Selaku instrumen demokrasi, sudah sewajarnya jika pembatasan kekuasaan petinggi partai dilakukan. ”Kalaupun tidak akan diatur dalam undang-undang, pembatasan yang dimaksud dapat dimuat dalam anggaran dasar sebagai komitmen dari setiap partai,” katanya.
Charles juga membantah keras jika ada yang berpandangan bahwa parpol bukan lembaga publik. ”Partai politik disebut di dalam konstitusi sehingga kemudian dia merupakan milik bersama sebagai bagian dari pilar-pilar negara demokrasi konstitusional. Makanya, argumentasi yang menyatakan parpol bukanlah lembaga publik bagi saya itu salah,” kata Charles.
Dilihat dari bentuk badan hukumnya, parpol adalah badan hukum publik karena mengurus urusan publik. Terlebih, parpol menjadi pilar utama dalam sistem ketatanegaraan yang diatur konstitusi. Hal ini juga dapat dilihat dari Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang menempatkan partai politik sebagai bagian dari badan publik.
”Giliran masalah APBN, mereka bilang badan publik. Begitu bicara pembatasan, mereka bilang badan privat,” katanya.
Partai politik menerima dana dari negara yang jumlahnya bervariasi, bergantung pada perolehan suara mereka di pemilu.
Secara terpisah, mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqie juga sepakat dengan adanya sejumlah pembatasan untuk ketua umum partai. Selain masalah demokrasi internal, pembatasan lain yang perlu diatur ialah larangan rangkap jabatan serta benturan kepentingan antara parpol dengan jabatan publik, korporasi, ormas, dan industri media.
Modernisasi parpol tersebut, menurut Jimly, bisa diatur ulang dengan undang-undang omnibus sistem pemilu dan kepartaian. Selain itu, omnibus di bidang sistem pemilu dan kepartaian juga dapat mencakup UU Ormas, UU Penyiaran, dan UU Perseroan Terbatas. ”Biar tidak ada konflik kepentingan antara politik dengan bisnis dan juga dengan media penyiaran,” kata Jimly.