Rumoh Geudong dan Upaya Membangun Memori Kolektif Kebangsaan
Jika mengingat kekejaman di Rumoh Geudong di Desa Bili, Glumpang Tiga, Pidie, Aceh, acara di pagi yang cerah itu tentu tak mungkin ada. Luka tentu masih membekas. Namun, masa depan harus dijelang tanpa dendam.
Puluhan korban pelanggaran HAM berat berkumpul di bekas lokasi penyiksaan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A-Pidie, Aceh, Selasa (27/6/2023). Mereka mengenang kekejaman sebuah kekuasaan yang melumatkan kehidupan keluarganya saat dimulainya pemulihan hak korban pelanggaran HAM berat oleh pemerintah. Sebelum rangkaian acara dimulai, ayat suci Al Qur'an surat Ar-Rahman dilantunkan. Lagu Indonesia Raya juga mengalun lantang dinyanyikan para tamu undangan dan keluarga korban.
Jika mengingat kekejaman masa lalu yang terjadi di Rumoh Geudong, yang terletak di Desa Bili, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, acara di pagi yang cerah itu tentu tak mungkin terjadi. Luka tentunya masih membekas di sebagian korban dan keluarganya. Namun, masa depan yang bebas dari masa lalu, harus diputuskan agar kehidupan dapat terus berjalan.
Dahulu, tempat itu adalah bekas Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A-Pidie. Saat ada Daerah Operasi Militer (DOM) karena pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama 34 tahun, pos tersebut dijadikan tempat penyiksaan hingga eksekusi. Banyak warga yang disiksa karena dicurigai menyembunyikan atau bekerja sama dengan kombatan GAM. Penyiksaan itu meninggalkan luka dan trauma yang mendalam bagi korban hingga kini.
Baca Juga: Rumoh Geudong Penanda Pemulihan Hak
"Sudahlah, lupakan itu (kasus penyiksaan di masa lalu). Saya sudah memaafkan, saya ikhlas. Semoga orangtua saya sudah tenang di alam kubur," ujar Fauzi Nur Hamzah (49) menguatkan diri dan keluarganya saat menunggu acara peresmian penyelesaian pelanggaran HAM berat, yang dihadiri Presiden Joko Widodo beserta sejumlah menteri, di antaranya Menko Polhukam Mahfud MD.
Fauzi adalah anak korban penyiksaan di Rumoh Geudong. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Dia mengakui, Aceh dengan sejarah panjang DOM memang menyisakan trauma mendalam tentang konflik bersenjata dan konflik dengan kekerasan. Namun, bagi dia secara pribadi, luka lama itu harus dibuang untuk menatap masa depan. Sejarah kelam di Aceh telah membuat masyarakat kini berharap peristiwa tragis itu tidak terulang lagi di masa depan.
"Kami tinggalkan puing kekerasan di masa lalu, jangan sampai terulang kembali"
"Mungkin, Presiden memilih Aceh untuk memulai pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat itu untuk membuang luka itu semua. Kami tinggalkan puing kekerasan di masa lalu, jangan sampai terulang kembali. Warga Aceh sesungguhnya cinta damai," tegasnya.
Pernah dibakar massa
Di lokasi tempat kejadian perkara pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong, saat ini memang sudah diratakan oleh tanah, kecuali tangga tembok dan dua sumur yang pernah ada. Menurut penuturan sejumlah warga, sebelum dibongkar kondisi situs bersejarah itu memang sudah memprihatinkan. Yang tersisa hanya tinggal puing-puing tembok, karena rumah panggung itu pernah dibakar oleh massa pada tahun 1999.
Kini, artefak yang tersisa hanyalah undak-undakan atau tangga terbuat dari semen. Fauzi mengatakan, tangga itu awalnya juga mau dihancurkan. Namun, dia berkirim surat kepada anggota Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) Suparman Marzuki agar tangga itu disisakan. Sebab, hal itu bisa menjadi simbol artefak menuju tangga perdamaian.
"Saya meminta secara pribadi agar artefak itu ditinggalkan sebagai bukti sisa-sisa puing-puing masa lalu menuju era yang lebih indah, dan cinta damai"
"Saya meminta secara pribadi agar artefak itu ditinggalkan sebagai bukti sisa-sisa puing-puing masa lalu menuju era yang lebih indah, dan cinta damai," ungkapnya.
Samsul Bahri (34), korban pelanggaran HAM berat Simpang KKA, Aceh, juga mengalami trauma mendalam dan cacat fisik akibat peristiwa itu. Pergelangan kakinya terkena peluru, saat kerusuhan pecah di lokasi tersebut. Saat itu, usianya baru sembilan tahun. Dia bersama orangtuanya sedang ingin berkunjung ke rumah neneknya. Namun, dia justru terjebak kerusuhan bersenjata.
"Saya tertembak di pergelangan kaki kiri. Sampai sekarang, kondisinya belum normal. Setiap bulan selalu kumat, dan harus diurut. Saya juga tidak bisa berjalan dengan normal akibat penembakan itu," ungkapnya.
Akibat kerugian fisik itu, Samsul yang sebenarnya bercita-cita ingin masuk ke militer, urung mewujudkan mimpinya. Sekarang, dia juga harus mendapatkan perawatan rutin, dan tidak bisa bekerja keras, terutama yang melibatkan fisik terutama kaki. Setiap minggu, dia juga masih harus kontrol ke rumah sakit untuk mengecek kesehatan fisiknya.
"Pasca kejadian itu, saya mengalami trauma berat. Hidup saya terasa hampa, apalagi perhatian dari pemerintah kemarin belum optimal. Saya berterima kasih pemerintah memulihkan hak korban, saya berharap jangan hanya kali ini, kami tetap berjuang untuk lahirnya pengadilan HAM agar peristiwa di Aceh jangan terulang lagi," harapnya.
Simbol kemanusiaan
Dalam sambutannya sebagai Ketua Pengarah Tim PPHAM, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menuturkan, dipilihnya Provinsi Aceh sebagai awal dimulainya realisasi rekomendasi Tim PPHAM didasarkan pada tiga hal di antaranya kontribusi penting dan bersejarah rakyat dan Provinsi Aceh terhadap kemerdekaan Indonesia. Kedua, penghormatan negara terhadap bencana kemanusian Tsunami tahun 2004. Ketiga, respek pemerintah yang begitu tinggi terhadap proses perdamaian Aceh.
"Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusian yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang dan akan dilakukan"
"Ketiga hal tersebut memiliki dimensi kemanusian yang kuat, relevan dengan agenda pemenuhan hak korban dan pencegahan yang sudah, sedang dan akan dilakukan," katanya.
Mahfud juga menyebut bahwa di lokasi tempat kejadian perkara (TKP) Rumoh Geudong rencananya akan dibangun masjid yang dilengkapi taman hidup (living park). Jejak sejarah tetap dipertahankan sebagai pengingat dan pembelajaran bagi publik di antaranya adalah tangga yang terletak di dekat panggung dan dua sumur yang ada di bagian depan dan belakang area tersebut.
Pembongkaran puing-puing dan sisa bangunan Rumoh Geudong memang diprotes keras oleh masyarakat sipil dan pegiat HAM di Aceh. Dosen Fakultas FISIP Universitas Malikussaleh Aceh, Teuku Kemal Pasya, dalam opini di Kompas, Senin (26/6/2023), lalu menyebut, penghancuran situs dinilainya justru sebagai upaya menghilangkan bekas konflik.
Dia berpandangan, ada intensi seolah-olah kejahatan serius yang terjadi di lokasi itu untuk dilupakan. Bahkan, menurutnya, ada pengingkaran komitmen pemerintah untuk memberikan penyelesaian berkeadilan kepada korban, termasuk menulis ulang sejarah Indonesia.
Teuku Kemal juga menyebut bahwa lahan Rumoh Geudong yang sudah diratakan dengan tanah itu adalah ironi penyelesaian kasus HAM berat masa lalu. Aceh, disebutnya terjebak pada ruang gelap pembangunan dan enigma demokrasi pascakonflik. Padahal, jika tempat kejadian perkara itu dipertahankan, bisa menjadi politik memori atau cara untuk memperbaiki ruang sosial-politik yang telanjur cacat oleh konflik.
"Tak mungkin rekonsiliasi bermartabat bisa dibangun di atas puing-puing keterlupaan," imbuhnya.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo usai membuka acara dimulainya (kick off) implementasi pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat mengatakan, program pembangunan taman hidup dan masjid di tempat kejadian perkara pelanggaran HAM berat bukanlah politik pelupaan sejarah seperti kritik yang disampaikan oleh masyarakat sipil.
Menurut dia, pembangunan taman dan masjid di lokasi itu sudah melibatkan partisipasi dari masyarakat termasuk korban. Semua pembangunan harus sesuai dengan kehendak korban. Hal itu, baginya, adalah upaya untuk mengingat sejarah dengan cara yang lebih positif.
"Pemerintah tetap mengingat sejarah karena nanti akan ada benda-benda memorial diletakkan di situ. Masyarakat Aceh harus mengingat sejarah (konflik) dalam sebuah perspektif yang positif, bukan negatif," terangnya.
Memori kolektif
Sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso, berpandangan merawat memori kolektif sebenarnya adalah memilih cara untuk mengingat sejarah kelam. Tujuannya, tidak melupakan masa lalu, tetapi berfokus untuk menatap masa depan. Bagi Aceh, tentunya masa depan itu adalah sebagai bangsa Indonesia yang bersatu dan damai. Oleh karena itu, dalam upaya merawat memori kolektif itu, harus ada proses partisipasi publik yang bermakna. Masing-masing harus bernegosiasi untuk mencapai win-win solution yaitu menatap masa depan sebagai bangsa Indonesia.
"Baik pemerintah, korban, maupun masyarakat sipil pendamping korban harus bernegosiasi mana yang terbaik. Sebab, merawat memori kolektif itu adalah memilih sejarah mana yang akan diingat, untuk menatap masa depan yang lebih baik," katanya.
Bondan menyebut, konsensus yang harus dicapai dalam upaya penyelesaian non yudisial adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi ditempuh sebagai cara untuk merawat kebangsaan dan keindonesian yang pernah terkoyak karena konflik bersenjata.
Baca Juga: Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Dimulai dari Aceh
"Sejarah adalah masalah pilihan mana yang mau diingat, dan mana yang mau dilupakan. Tentunya, yang ingin dirawat adalah sesyatu yang baik, bukan yang justru menghancurkan kebersamaan yang ada. Memori kolektif adalah merawat kebangsaan dan keindonesiaan kita," tegasnya.
Beberapa korban berharap, jika taman hidup benar-benar dibangun, ada tugu memorabilia yang mencantumkan nama-nama korban. Nama-nama korban itu bisa dipakai untuk merawat ingatan tentang masa lalu yang pedih.
Ketua Tim Pemantau Implementasi Tim PPHAM Letnan Jenderal Teguh Pudjo Rumekso menegaskan, seluruh masukan dari masyarakat masih bisa disampaikan dalam proses pembangunan di lokasi Rumoh Geudong. Sebab, pembangunan itu memang ditujukan untuk memulihkan, dan mengembalikan harkat dan martabat korban yang hilang selama ini dan demi masa depan yang menjelang...