Dari Seminar Megawati Institute, Teknologi Jangan Sampai Kuatkan Oligarki
Kemajuan teknologi semestinya membawa kesejahteraan. Namun, ketika hanya dikuasai segelintir elite dan demokrasi tak terjaga, ketimpangan akan menjadi dan oligarki menguat.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemajuan teknologi seperti pisau bermata dua. Bisa diadopsi untuk mendorong kesejahteraan masyarakat, tetapi juga bisa menguatkan oligarki bila hanya dikuasai segelintir elite. Untuk itu, pengambil keputusan perlu memastikan teknologi betul-betul untuk mendorong pemerataan kesejahteraan dan menjaga demokrasi tetap hidup.
Hal ini menjadi benang merah dalam diskusi dan bedah buku Kekuasaan, Kesejahteraan, dan Perubahan Teknologi yang diselenggarakan secara daring oleh Megawati Institute, Selasa (27/6/2023), di Jakarta. Acara yang berlangsung dalam rangkaian Bulan Bung Karno ini membahas buku Power and Progress: Our Thousand-Year Struggle Over Technology and Prosperity (2023) yang ditulis Daron Acemoglu and Simon Johnson.
Hadir sebagai pembicara, antara lain, Peneliti Sigmaphi Faishal Rahman, Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif CELIOS, dan Direktur Eksekutif Megawati Institute Arif Budimanta, yang juga Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi.
Daron Acemoglu dan Simon Johnson dalam bukunya menekankan perkembangan teknologi yang pesat di dunia. Kendati teknologi digital membuka akses bagi ilmuwan untuk mencapai tujuan, ada dampak positif dan negatif yang menyertai.
Acemoglu dan Johnson mendialogkan Adam Smith yang menyebut teknologi semestinya membuat upah tenaga kerja bisa lebih tinggi. Namun, John Keynes memaparkan kenyataan bahwa teknologi malah menimbulkan pengangguran akibat kebutuhan pekerja semakin berkurang. Industrialisasi pun, kendati berdampak besar dalam meningkatkan taraf hidup, tidak serta-merta memeratakan kesejahteraan.
Kendati teknologi digital membuka akses bagi ilmuwan untuk mencapai tujuan, ada dampak positif dan negatif yang menyertai.
Otomasi yang lahir pada teknologi ataupun pemindahan industri ke negara-negara dengan upah buruh murah (offshoring), kata Faishal yang membahas buku Acemoglu dan Johnson, memulai ketimpangan. Perusahaan memindahkan pabrik untuk meningkatkan margin dan menurunkan biaya produksi di negara-negara dengan upah buruh murah. Akibatnya, kesejahteraan perusahaan boleh saja meningkat, tetapi kesejahteraan buruh tak membaik.
Tak hanya itu, kecerdasan buatan (AI) juga disebut meningkatkan ketimpangan global, melemahkan demokrasi, dan menguatkan otokrasi. Hal ini bisa terjadi bila teknologi dikuasai oleh segelintir elite, termasuk kekuasaan.
Tak hanya itu, kecerdasan buatan (AI) juga disebut meningkatkan ketimpangan global, melemahkan demokrasi, dan menguatkan otokrasi. Hal ini bisa terjadi bila teknologi dikuasai oleh segelintir elite, termasuk kekuasaan. Akibatnya, bisa muncul oligarki baru dengan kemampuan narasi meyakinkan.
Semangat Bung Karno
Peringatan Acemoglu, menurut Bhima, sejalan dengan semangat yang dibawa Bung Karno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi. Dalam buku tersebut, Bung Karno membahas kapitalisme gula. ”Jikalau industri gula membuat warga semakin melarat, penghapusan industri gula tidak merugikan, tapi menguntungkan,” kata Bhima menyitir tulisan tersebut.
Soekarno, lanjut Bhima, mengkritik bahwa proses industrialisasi yang dibawa kolonial bukan sesuatu yang tanpa niat, melainkan diniatkan untuk mengeksploitasi Indonesia dengan menggunakan teknologi. Ini serupa dengan teknologi yang tidak meningkatkan taraf hidup masyarakat yang disebutkan Acemoglu.
Jikalau industri gula membuat warga semakin melarat, penghapusan industri gula tidak merugikan, tapi menguntungkan.
Dicontohkan, industrialisasi 4.0 dinilai sebagai keniscayaan dan diadopsi di Indonesia. Bhima mengatakan, otomasi di Jerman, sebagai negara yang mengklaim sebagai negara industri 4.0 pertama, meningkatkan serapan tenaga kerja dan menurunkan pengangguran, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. ”Kenapa di Indonesia, (karena) industri 4.0 (masyarakat) ditakut-takuti akan mengurangi jumlah tenaga kerja secara signifikan, seolah-olah teknologi dijadikan pembenaran kalau ada pengurangan tenaga kerja,” ujar Bhima.
Dengan hilirisasi industri ataupun fasilitasi yang sangat besar kepada para pelaku usaha seperti yang diberikan Pemerintah Indonesia saat ini, Bhima menilai sesungguhnya Bung Karno tak pernah bersikap anti terhadap teknologi dan industrialisasi. Namun, ditegaskan bahwa Indonesia memerlukan kemandirian. Untuk itu, perlu ada alih teknologi. Investasi asing ataupun adanya ahli asing bisa diterima sepanjang ada batasan dan ada alih teknologi serta memberi tempat pada pekerja lokal.
Kita terlalu banyak memberi insentif-insentif. Untuk starter (awal) boleh, tetapi selanjutnya seharusnya mengelola sendiri sehingga tenaga lokal terserap, manfaat untuk masyarakat sekitar bisa lebih banyak. Jadi bukan anti asing, tapi kita harus bikin batasan sehingga power dan progress bisa dipegang anak bangsa.
”Kita terlalu banyak memberi insentif-insentif. Untuk starter (awal) boleh, tetapi selanjutnya seharusnya mengelola sendiri sehingga tenaga lokal terserap, manfaat untuk masyarakat sekitar bisa lebih banyak. Jadi bukan anti asing, tapi kita harus bikin batasan sehingga power dan progress bisa dipegang anak bangsa,” ujarnya.
Faishal juga menambahkan, Presiden Soekarno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 juga menyatakan, setiap kebijakan nasional memberi manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat Indonesia. ”Karenanya, kebijakan pemerintah yang diambil harus dipastikan manfaatnya bukan hanya untuk korporasi terkait, tapi juga masyarakat mendapat manfaat sebesar-besarnya. Prinsip lainnya kesejahteraan, tidak boleh ada ketimpangan,” katanya.
Ditambahkan pula, Bung Karno dalam pidato tersebut menegaskan, semestinya tidak boleh ada kemiskinan di Indonesia merdeka. ”Negara seperti ibu yang memangku anaknya dengan kasih sayang, memastikan masyarakatnya mendapatkan kesejahetraan yang layak. Jadi tugas pemerintah untuk memastikan hal ini,” ujarnya, menambahkan. (INA)