Manusia sering dibuat bingung, kagum, dan kaget, dengan kemajuan teknologi. Namun jika diamati, manusia tak akan kagum terhadap perkembangan teknologi. Sebab teknologi diciptakan untuk menutupi kelemahan alami manusia.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Selama lebih dari tiga dekade, peraih penghargaan Cendekiawan Berdedikasi Kompas 2023, Komaruddin Hidayat, menekuni jalan sebagai akademisi. Intelektual muslim ini ingin mempersiapkan sumber daya manusia yang kredibel dan berintegritas agar bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat.
Di usia yang hampir menginjak 70 tahun, Komaruddin dipercaya Presiden Joko Widodo menakhodai Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sebagai rektor pertama di kampus yang menjadi proyek strategis nasional di sektor pendidikan tersebut, Komaruddin meletakkan dasar-dasar UIII sebagai perguruan tinggi berstandar internasional. Pria kelahiran Magelang, 18 Oktober 1953 ini ingin menjadikan UIII sebagai model pendidikan tinggi Islam terkemuka dunia dalam pengkajian ke-Islaman strategis.
Sebagai akademisi, Komaruddin telah melanglang buana di berbagai kampus ternama di Tanah Air. Sebelum menjadi Rektor UIII periode 2019-2024, ia pernah menjadi rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, selama dua periode yakni 2006-2010 dan 2010-2015. Komaruddin juga pernah berkontribusi sebagai dosen di Universitas Gadjah Mada, Universitas Islam Indonesia, serta Universitas Indonesia.
Jika diamati dari awal, manusia tidak akan kagum terhadap perkembangan teknologi. Sebab teknologi merupakan perpanjangan yang menutupi kelemahan alami manusia.
Komaruddin juga aktif menulis kolom di beberapa media masa, termasuk menulis opini di Kompas sejak 1992. Kemampuan intelektualitasnya juga ditunjukkan dengan menjadi peneliti di beberapa lembaga kajian dan penelitian.
Melalui berbagai peran yang diembannya itu, Komaruddin ingin mempersiapkan generasi penerus bangsa yang sigap terhadap perkembangan teknologi. Terlebih di era kecerdasan buatan atau artificial intelligence(AI), teknologi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, teknologi mampu menutupi kelemahan dan memudahkan aktivitas manusia. Namun jika dimanfaatkan oleh pihak yang tidak berintegritas, teknologi justru berpotensi memperlebar kesenjangan antarmanusia.
Ia menuturkan, manusia sering dibuat bingung, kagum, dan kaget, dengan kemajuan teknologi. Namun jika diamati dari awal, manusia tidak akan kagum terhadap perkembangan teknologi. Sebab teknologi merupakan perpanjangan yang menutupi kelemahan alami manusia.
Beberapa di antaranya, manusia kagum pada elang yang penglihatannya jauh lebih tajam dibanding manusia. Sekarang dengan mikroskop dan teleskop, penglihatan manusia jauh lebih baik dibanding elang. Termasuk kekaguman pada kekuatan gajah dan kuda yang saat ini bisa digantikan dengan mesin. Begitu pula dengan AI yang merupakan bagian dari perkembangan inovasi teknologi di bidang intelegensia.
"Itu karena kemampuan otak yang menciptakan teknologi. Teknologi itu memberikan fasilitas teknis yang mengatasi kelemahan natural fisik kita. Artinya apa, bahwa dari dulu sesungguhnya karya-karya manusia itu memang bisa melebihi dan mengatasi kelemahan yang dirasakan oleh rata-rata manusia," ujar Komaruddin.
Pentingnya integritas
Dalam praktiknya, AI baru dimanfaatkan oleh segelintir kelompok manusia sehingga cenderung mempertegas piramida penduduk. Ada sekelompok kecil manusia yang menciptakan dan mengendalikan AI, namun ada sekelompok lain yang lebih besar yang tidak paham dan menjadi korban dari perkembangan AI. Dalam kondisi ini, negara bertugas mengendalikan sekelompok kecil yang menguasai teknologi agar memberikan dampak positif kepada kelompok yang lebih besar.
Di sisi lain, perkembangan teknologi selalu menimbulkan deviasi atau penyimpangan yang tidak sesuai dengan harapan. Sebab, pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada manusia yang mengelolanya. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang berintegritas agar mampu memanfaatkan teknologi dengan baik.
"Perkembangan teknologi dan sains luar biasa, tetapi ada yang tidak pernah berubah, yakni integritas. Bahwa kejujuran, tanggung jawab, cinta ilmu, kepedulian, dan sikap kolaboratif itu tetap. Yang repot adalah kalau terhadap perkembangan AI kita menjadi korban, sementara integritasnya hancur, ini menjadi repot," katanya.
Jika generasi penerus memiliki integritas yang baik, ia meyakini manusia tidak akan menjadi korban dari keunggulan teknologi. Sebaliknya, jika integritas lemah, maka sebaik apa pun sistem dan teknologi akan digunakan untuk tujuan yang tidak baik. Pemihakan terhadap dalam negeri pun harus diperkuat agar seunggul apa pun teknologi selalu digunakan untuk memajukan bangsa dan negara.
"Saya khawatir, teknologi yang demikian maju, berada di tangan-tangan yang tidak punya integritas, yang tidak punya empati kepada masyarakat," tutur Komaruddin.
Dalam kondisi demikian, menurutnya, banyak pekerjaan rumah agar bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Negara harus memainkan perannya mendorong kemajuan serta melindungi orang-orang. Negara pun harus mengontrol penggunaan teknologi oleh segelintir kelompok agar mampu melindungi kelompok lain yang kalah bersaing.
"AI itu masih elitis. Mumpung belum, masih jauh (penggunaannya di masyarakat), harus segera (dikendalikan). Sebab kalau tidak, nanti akan semakin bingung dan kalau terlalu jauh penyimpangannya akan sulit dikendalikan," tuturnya.
Komaruddin menilai, Indonesia punya modal kuat untuk memanfaatkan teknologi demi kepentingan yang lebih baik. Pertama, Indonesia yang memiliki jutaan penduduk memiliki kesamaan ideologi Pancasila yang bisa menyatukan. Selain itu, Indonesia beruntung memiliki kesamaan bahasa Indonesia.
Indonesia harus memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pemanfaatan teknologi harus tinggi agar bisa setara dengan negara lain.
Pemihakan
Dengan modal tersebut, Indonesia harus memaksimalkan potensi yang dimiliki. Pemanfaatan teknologi harus tinggi agar bisa setara dengan negara lain. Kemudian dari sisi birokrasi, harus ada birokrasi pemerintahan yang efektif. Pemihakan kepada bangsa pun harus jelas agar melindungi kelompok-kelompok yang lemah. Potensi itu didukung oleh jumlah penduduk yang banyak.
"Sekarang peluangnya bagaimana? Kita punya modal semuanya, penduduk banyak, banyak orang pintar, pemerintahan kita juga punya pengalaman, dan siapa sih yang tidak ingin negara ini maju, kemudian siapa yang tidak cinta Indonesia. Bagaimana sekarang mengorkestrasi aset-aset itu," kata Komaruddin.
Di dunia pendidikan yang digelutinya, Komaruddin menilai harus ada perubahan yang radikal dalam sistem pembelajaran, kurikulum, serta model bimbingan studi pada siswa. Tak terkecuali, guru pun harus terus belajar agar bisa memastikan murid-muridnya beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
"Di sekolah kami yang saya bina, Madania, guru yang berhenti belajar, dia juga harus berhenti mengajar. Sebab, kita mengantarkan anak didik memasuki hari esok yang unpredictable, uncertain, dan kompleks. Bagaimana kita bisa mengantarkan anak didik ke sana kalau guru tidak belajar untuk ikut mengintai tren pendidikan ke depan," tutur Komaruddin.
Sementara di dunia politik, ia menilai AI belum banyak diperhatikan oleh partai politik. Narasi tentang teknologi belum menjadi perhatian parpol sehingga Indonesia berpotensi hanya menjadi objek negara lain yang penggunaan teknologinya lebih kuat. Padahal, saat ini sedang terjadi perang teknologi antara blok barat dengan blok timur.
Menurutnya, dunia politik amat berbeda dengan dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan memikirkan 20 hingga 30 tahun ke depan, politik hanya memikirkan siklus pemilu lima tahunan. Parpol pun belum menempatkan agenda teknologi sebagai wacana program strategis.
"Kita membutuhkan parpol yang peduli terhadap perkembangan teknologi, tetapi sampai saat ini saya belum melihatnya," pungkasnya.