Para Korban Pemerkosaan Mei 1998 Menanti Penjelasan
Korban kekerasan seksual Tragedi Mei 1998 yang masih hidup mempertanyakan mengapa mereka dikorbankan. Namun, mereka tidak mungkin mengungkapkan keingintahuan itu secara langsung ke publik karena tidak ada perlindungan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Ita Fatia Nadia (65), salah satu Tim Relawan Kemanusiaan Kemanusiaan Mei 1998, berbicara dengan suara tertahan saat menceritakan pengalamannya menolong korban kekerasan seksual 25 tahun silam. Ketika terjadi kerusuhan di Jakarta akibat krisis ekonomi, pada 12 Mei 1998, telepon di kantor Ita, Yayasan Kalyanamitra, berdering. Mereka mendapat informasi ada pemerkosaan di Pluit, Jakarta Utara.
Informasi itu juga segera disampaikan Ita kepada Ketua Tim Relawan Kemanusiaan Mei 1998, Sandyawan Sumardi. Tidak lama kemudian, Kalyanamitra kembali ditelepon orang tak dikenal bahwa telah terjadi penjarahan di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Alhasil, Ita berbagi tugas dengan timnya. Ia bergegas pergi ke Glodok. Di lokasi itu, ia menemukan empat perempuan Tionghoa berusia 25-40 tahun dianiaya. ”Beberapa perempuan itu sudah diseret-seret. Saya bingung. Saya dengan dua teman saya maju. Itu entah kekuatan dari mana. Orang yang baru menyeret itu langsung minggir. Saya peluk tiga perempuan ini, satu lagi sudah terduduk,” kata Ita saat ditemui di rumahnya di Yogyakarta, Sabtu (13/5/2023).
Ita segera membawa empat perempuan tersebut dengan dibantu masyarakat ke sebuah hotel untuk mendapa perawatan. Ketika keluar dari hotel, ia masih menemukan satu wanita yang dianiaya dan langsung dibawanya ke hotel. Selain itu, Ita juga mendapat informasi pemerkosaan di sejumlah lokasi lain. Ia juga mendatangi lokasi itu.
Adapun, berdasar kesimpulan hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Tragedi 12-15 Mei 1998, korban kekerasan terhadap perempuan yang diverifikasi TGPF sebanyak 85 perempuan. Rinciannya, 52 korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual, dan 9 korban pelecehan seksual.
Ita mengungkapkan, ada korban pemerkosaan yang meninggal dunia. Selain Ita Martadinata yang dibunuh pada 9 Oktober 1998 sebelum memberi kesaksian di Perserikatan Bangsa-Bangsa, juga ada korban lain yang meninggal karena Tragedi Mei 1998. Korban tersebut, di antaranya, Fransisca yang masih berusia 11 tahun. Saat ditemui Ita di Tangerang, Banten, Fransisca masih hidup. Namun, karena mengalami pendarahan, akhirnya Fransisca menyusul ibu dan kakaknya yang terlebih dahulu meninggal karena tragedi tersebut.
Selain mereka, juga ada korban pemerkosaan yang meninggal di Kemayoran, Jakarta Pusat. Korban yang masih berusia 13 tahun meninggal usai diminta bunuh diri karena dianggap menjadi aib keluarga.
Para korban yang hidup hingga saat ini masih dekat dengan Ita. Ada yang sudah berkeluarga dan ada yang tinggal di luar negeri. Namun, mereka tidak mau muncul ke publik karena tidak ada perlindungan. Mereka masih mempertanyakan, mengapa mereka dikorbankan.
”Tiga poin yang disampaikan korban pemerkosaan adalah kami minta penjelasan kenapa kami dikorbankan. Kami tidak butuh direparasi, dan biarkan kami meneruskan hidup yang sudah bahagia ini,” kata Ita.
Dihubungi dari Jakarta, Sandyawan Sumardi, anggota TGPF Tragedi 12-15 Mei 1998, menuturkan, harapan agar korban kekerasan seksual sebagai alat teror dalam kasus apa pun mengungkapkan jati dirinya ialah naif. Sebab, mereka mengalami trauma yang tak terperi. ”Para penyintas, sekuat apa dan bagaimanapun, pasti trauma,” jelasnya.
Sandyawan menuturkan, tidak mungkin mengungkap jati diri korban. Sebab, kendala hukum masih menjadi persoalan dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual. Ia menjelaskan, sistem pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sangat membebani korban kekerasan seksual. Penyidik kerap kali hanya memahami bahwa dalam kasus kekerasan seksual, harus ada saksi yang melihat langsung kejadian.
”Hal ini kemudian pasti jadi beban dalam pembuktian oleh korban, termasuk juga menyediakan visum, bahkan sperma pelaku sebagai barang bukti. Maka tak heran, dengan alasan tidak cukup bukti, kepolisian sering justru mendorong melakukan mediasi dengan pihak pelaku,” katanya.
Pemulihan korban
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Veryanto Sitohang, mengatakan, sulit bagi korban kekerasan seksual 1998 muncul ke publik. Sebab, mereka dibayang-bayangi adanya serangan. ”Tidak hanya korban Mei, tetapi juga mayoritas etnis Tionghoa. Trauma tidak hanya korban langsung,” kata Veryanto.
Menurut dia, sulit menghilangkan trauma itu. Karena itu, akses pemulihan terhadap korban jadi sangat penting. Pemerintah sudah membuat beberapa regulasi, seperti Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Namun, mengubah pola pikir masyarakat lewat pendidikan, budaya, dan agama bahwa tiap orang memiliki kesetaraan sebagai warga negara juga diperlukan. Ketika ada ujaran kebencian, penegak hukum harus memastikan korban dilindungi dan ada penegakan hukum.
Untuk mengembalikan harkat dan martabat korban, kata Veryanto, pemerintah harus mengakui adanya peristiwa kekerasan seksual itu, menyatakan permintaan maaf, dan meyakinkan publik mereka akan mencari dalang peristiwa ini. Para korban juga akan semakin terpulihkan saat pemerintah menunjukkan komitmen memulihkan luka para korban. ”Kemudian juga membuat semacam memorialisasi untuk menyampaikan ke publik bahwa peristiwa ini pernah terjadi dan kita tidak ingin mengulanginya. Dan paling penting, gerakan kolektif untuk bagaimana kita mendukung perempuan-perempuan korban dan menyampaikan bahwa kita satu warga negara,” kata Veryanto.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro mengakui perlu penanganan berbeda terhadap korban kekerasan seksual dalam kasus pelanggaran HAM berat. Dibutuhkan institusi yang memiliki program khusus untuk menangani korban kekerasan seksual. Menurut Atnike, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bisa mengembangkan fungsi itu karena mereka berpengalaman melindungi korban kekerasan seksual.
Namun, kata Atnike, harus dilihat juga tujuan Komnas HAM atau LPSK berinteraksi dengan korban. ”Kalau belum ada tujuannya, ya jangan berinteraksi. Kasihan korbannya. Dia harus membuka dirinya, tetapi untuk apa? Apakah untuk ada pengadilan? Apakah untuk ada pengungkapan kebenaran dan pengakuan publik, sehingga keberadaan mengenai korban kekerasan seksual itu diakui?” ujarnya.