Ada beberapa penanda tragedi di seputar reformasi 1998 yang dibangun. Bisakah memorabilia itu membantu merawat ingatan publik akan pelanggaran HAM berat yang terjadi saat itu?
Jalan Mozes Gatotkaca yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta tampak sepi dan lengang, Sabtu (13/5/2023) pagi. Beberapa toko yang menjual telepon seluler di sepanjang jalan yang lebarnya sekitar 4 meter itu baru buka jelang siang hari. Keramaian jalan itu baru terlihat ketika jelang sore hari.
Jalan itu mengambil nama Mozes Gatotkaca, seorang korban tewas dalam bentrokan antara pendemo yang merupakan mahasiswa dan aparat keamanan pada 8 Mei 1998 di sekitar Jalan Gejayan yang kini sudah berganti nama menjadi Jalan Affandi. Mozes merupakan alumnus Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta. Ia hanya mencari makan saat bentrokan itu terjadi. Di lokasi penganiayaan terhadap Mozes, Stefanus Widaryanto (39) juga menjadi korban pemukulan aparat keamanan.
Saat kami bertemu, ia menunjukkan bekas luka lama di keningnya. Menurut Widaryanto, saat itu aparat keamanan cukup beringas memukul siapa saja yang dianggap pendemo. Namun, Widaryanto melarikan diri dan ditolong warga. Tidak lama kemudian, ia mendapat informasi terdapat korban meninggal di lokasi tempat ia dipukul, yakni Mozes.
Nama jalan Mozes Gatotkaca diberikan atas usulan imam Gereja Katolik Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang dikenal dengan Rama Mangun. Matius Dwijo Suprapto (92), ayah Widaryanto, mengungkapkan, nama itu diberikan agar peristiwa pada 8 Mei 1998 tersebut tidak dilupakan begitu saja.
Namun, di masa kini, 25 tahun kemudian, beberapa orang yang beraktivitas di Jalan Mozes Gatotkaca tak tahu sejarah penamaan jalan ini, termasuk beberapa mahasiswa. Jalan itu hanya dikenal sebagai jalan yang banyak terdapat toko yang menjual telepon seluler.
Yepin Taplo (36), mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta mengaku tidak mengetahui bahwa Mozes Gatotkaca merupakan korban tragedi Mei 1998. Namun, ia memahami bahwa peristiwa Mei 1998 menjadi tonggak reformasi untuk bisa keluar dari rezim Orde Baru.
Yepin tidak ingin fakta itu dilupakan atau ditutupi agar menjadi pembelajaran ke depan dan inspirasi bagi anak muda. “Jangan menggunakan kekerasan dan senjata. Ketika ada peristiwa (konflik) terjadi, selesaikan secara damai,” tuturnya.
Keinginan agar peristiwa reformasi 1998 tidak dilupakan juga disampaikan mahasiswa pascasarjana Universitas Cendikia Mitra Indonesia, Elias Nuwa (48). Elias yang juga pernah kuliah di Institut Sains dan Teknologi Akprind Yogyakarta serta tetangga Mozes berharap, sejarah yang terjadi di masa lalu harus dicatat agar tidak dilupakan oleh generasi ke depan.
Bahkan, beberapa mahasiswa tidak memahami adanya peristiwa Mei 1998, apalagi kisah meninggalnya Mozes Gatotkaca. Tiga mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Alda Dewi (20), Ita (21), dan Rika (20) misalnya, mereka kebingungan ketika ditanya tentang nama Mozes Gatotkaca dan peristiwa Mei 1998.
Ketua Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Silverio RL Aji Sampurno mengakui, banyak mahasiswa yang tidak memahami peristiwa Mei 1998. Bahkan, ada dosen muda yang tak memahami peristiwa itu dengan baik. Silverio yang ikut mendampingi mahasiswanya saat terjadi demonstrasi Mei 1998 mengungkapkan, korban yang mendapatkan kekerasan dari aparat keamanan justru bukan peserta demonstrasi aktif. Mereka hanya sekadar ikut-ikutan atau masyarakat yang berjalan di sekitar kegiatan demonstrasi sehingga tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi serangan dari aparat.
Pondok Ranggon
Di Taman Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur, juga terdapat monumen tragedi 1998. Lokasinya tepat di samping makam korban kerusuhan 13-15 Mei 1998. Monumen itu berbentuk tangan tertutup kain dengan jarum serta bekas jahitan dan benang yang menjuntai.
Monumen yang diresmikan tahun 2015 itu mulai termakan usia. Cat mengelupas dari berwarna abu-abu menjadi memutih. Jarum pada monumen juga berkarat, sedangkan penyangga monumen mulai menguning. Menurut penjaga makam, Rohmat (59), jumlah kunjungan sebelum dan sesudah adanya monumen tak banyak berubah. Namun, monumen jadi penanda yang memudahkan para peziarah untuk menemukan kompleks makam korban 1998.
Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan, Theresia Sri Endras Iswarini, mengungkapkan, butuh waktu hampir setahun untuk ada kesepakatan di antara para korban dalam menentukan bentuk monumen itu.
”Tugu jarum, benang, dan kain itu dibuat oleh para korban sendiri. Itu perlu waktu hampir setahun untuk punya kesepakatan di antara para korban, mau yang ditaruh di memorialisasi itu apa?” kata Iswarini.
Ia menjelaskan, simbol jarum, benang, dan kain menunjukkan apa yang sudah terkoyak harus dijahit kembali.
Monumen Trisakti
Ada pula monumen tragedi 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti. Bangunan itu jadi pengingat meninggalnya empat mahasiswa saat berunjuk rasa menuntut Presiden Soeharto turun dari jabatannya sekaligus jadi ikon perjuangan mahasiswa saat reformasi. Beberapa buket, karangan bunga, dan bunga tabur mengering berjajar di monumen. Itu menjadi simbol peringatan 12 Mei yang dikenang mahasiswa setiap tahun. Beberapa mahasiswa mengetahui monumen Trisakti untuk memperingati peristiwa 12 Mei 1998, tetapi tak memahami sejarah di balik monumen tersebut.
Presiden Mahasiswa Universitas Trisakti Vladima Insan Mahardika mengakui, tidak semua mahasiswa memahami sejarah monumen di kampusnya. Ia masih memiliki pekerjaan rumah memberi pemahaman kepada rekannya, apalagi mayoritas lahir setelah tragedi.
Menurut saksi penembakan mahasiswa Trisakti pada 1998, Advendi Simangunsong, gaung peringatan 12 Mei 1998 mulai menurun. Peristiwa itu hanya menjadi catatan sejarah.
”12 Mei ini tidak menjadi milik nasional kalau menurut saya sekarang. 12 Mei hanya sebagai catatan sejarah, tetapi apakah ini dijadikan semacam momentum atau titik awal reformasi, banyak kalangan pemerintah tidak tahu (peringatan) 12 Mei ini,” tutur Advendi yang saat itu menjadi dosen Fakultas Ekonomi Trisakti.
Menurut Advendi, gaung peringatan yang menurun disebabkan politisi yang hanya memanfaatkan momentum untuk popularitas diri. Hal itu dilakukan tanpa diikuti pemaknaan mendalam. Ia menilai, dibutuhkan kerja sama dari banyak pihak untuk merawat ingatan kolektif.
Ia mengapresiasi pemerintah yang mengakui peristiwa Trisakti 1998 sebagai sebuah tragedi, tetapi itu tidak menyelesaikan persoalan. Jika pemerintah mengakui adanya kesalahan aparat keamanan pada 1998, pelaku-pelaku yang terlibat harus dibuka. Menurut Advendi, sejarah akan berlalu, tetapi seharusnya ada satu ingatan dari penyelenggara negara. DPR perlu membuat pernyataan atau keputusan bahwa 12 Mei menjadi hari nasional.
Generasi muda
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Herlambang P Wiratraman mengungkapkan, banyaknya orang muda yang tidak memahami peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu karena negara cukup lama menyembunyikan masalah dasar terkait HAM.
Bahkan, ada upaya melakukan represi. Korban atau keluarga korban justru distigma dan dipersekusi. Negara secara sistematis menggunakan kekuasaannya untuk tak mengungkap kasus pelanggaran HAM berat. Akibatnya, tidak ada pembelajaran bagi publik.
”Publik tak pernah tahu ada apa, peristiwa apa, siapa yang bertanggung jawab. Alih-alih kita berharap tidak terulang, yang terjadi justru kekerasan demi kekerasan berulang kali terjadi,” ujarnya.
Ia menegaskan pentingnya memorabilia, terutama terkait HAM. Sebab, bicara soal HAM bukan hanya terkait kasus hukum semata, melainkan juga soal peradaban kemanusiaan.
Menurut Herlambang, proses pencerdasan publik dalam upaya memajukan peradaban kemanusiaan tidak mengenal batasan waktu atau sekadar kasus hukum. Itu jadi momen penting yang harus dikomunikasikan dari generasi ke generasi agar tak berulang.