Reformasi alat pertahanan dan keamanan negara harus dilakukan dengan serius dan substantif. Pengarusutamaan HAM perlu diterapkan di segala lini.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA, PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat pada 1998 menimbulkan korban dalam jumlah besar. Peristiwa kelam itu pun menorehkan luka dan trauma mendalam, bahkan hingga kini. Maka, sangat penting agar peristiwa serupa tak terulang dalam perjalanan bangsa ke depan. Untuk itu, regulasi terkait harus diperkuat selain pentingnya pengarusutamaan hak asasi manusia di instansi-instansi pertahanan dan keamanan negara serta masyarakat.
Jane Rosalina Rumpia dari Divisi Pengawasan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), mengatakan, Indonesia sudah memiliki instrumen hukum yang bakal menindak tegas para pelaku pelanggaran HAM berat melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun, regulasi itu dinilainya tidak sempurna. Sebab, aturan tersebut dinilai tidak meratifikasi seluruh Statuta Roma.
Dari empat jenis kejahatan HAM dalam Statuta Roma, yaitu kejahatan kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi sebagai bagian dari kejahatan serius, hanya dua yang diratifikasi dalam UU Pengadilan HAM, yakni kejahatan kemanusiaan dan genosida.
”Kontras menilai UU Pengadilan HAM hanya kamuflase, upaya menyelamatkan muka pemerintah di mata internasional dan modus menghindari dibentuknya pengadilan HAM internasional,” ujar Jane, saat dihubungi, Minggu (28/5/2023).
Ketidaksempurnaan UU Pengadilan HAM pula, menurut Jane, yang menyebabkan dari 17 kasus pelanggaran HAM berat yang penyelidikannya sudah dirampungkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), baru empat kasus yang diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun, itu pun tidak bisa menghadirkan keadilan substantif bagi korban.
”Kenyataan pahitnya, pengadilan tidak bisa menghadirkan keadilan hukum bagi korban. Bahkan, dalam pelaksanaannya dipenuhi intimidasi saksi atau korban. Dakwaan dari jaksa penuntut umum setengah hati, dan bebasnya seluruh terdakwa,” papar Jane.
Untuk 12 kasus pelanggaran HAM berat lainnya, nasibnya masih terkatung-katung. Berkas masih bolak-balik antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum. Dampaknya, para terduga pelaku terus berkeliaran, bahkan bisa memegang jabatan strategis di pemerintahan.
Jika negara berkomitmen serius menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, menurut Jane, Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi juga harus segera dibahas hingga disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Penghilangan paksa
Hal yang tak kalah penting, menurut Jane, instrumen untuk mencegah terjadinya tindak penghilangan orang secara paksa juga harus dilengkapi. Tindak pidana penghilangan paksa memang sudah menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur dalam UU Pengadilan HAM. Namun, dalam undang-undang itu sifatnya masih terlalu umum dan tidak mengakomodasi perlindungan masyarakat sipil dari tindak penghilangan paksa.
Oleh karena itu, negara harus segera meratifikasi Konvensi Internasional Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (The International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance/ICPPED).
”Kami berharap negara dapat meratifikasi konvensi internasional itu untuk menyelesaikan kasus penghilangan paksa yang terjadi di Indonesia. Kelengkapan instrumen itu juga penting untuk menjamin ketidakberulangan praktik penghilangan paksa,” tegasnya.
Selain itu, ratifikasi konvensi internasional tersebut juga bisa memberikan pemulihan secara menyeluruh bagi korban ataupun keluarga korban. Sampai seperempat abad setelah reformasi, nyatanya masih ada keluarga yang menanti kejelasan kasus penghilangan paksa yang terjadi sekitar tahun 1998.
Dalam upaya untuk mencegah terulangnya sejarah kekerasan struktural, Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat (Tim PPHAM) yang dibentuk Presiden Joko Widodo pada 2022 juga telah merekomendasikan sejumlah hal, di antaranya rekomendasi pemberian pendidikan hukum humaniter bagi instrumen pertahanan negara, yaitu TNI. Selain itu, menanamkan nilai-nilai universal HAM kepada instrumen keamanan negara, yaitu Polri.
Institusi Polri mengaku telah menyisipkan pendidikan HAM bagi anak-anak didiknya sejak 1970-an. ”Sudah diterapkan dari tahun 1970-an, sudah ada. Sejak deklarasi HAM, Polri sudah menindaklanjuti dengan pendidikan di berbagai sekolah pembentukan Polri, pengembangan Polri, dan khusus, ya,” kata Komisaris Besar Hudit Wahyudi di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Lemdiklat) Polri.
Berbagai mata pelajaran tentang HAM telah disampaikan di setiap level pendidikan Polri, seperti sekolah polisi negara dan akademi kepolisian. Durasinya pun berbeda-beda, bergantung pada tingkatannya, bervariasi pada 5-20 jam pelajaran. Beberapa contoh realisasinya, pelajaran mengenai negosiator, patroli, penanganan konflik secara humanis, pendidikan terkait terorisme, tindak perdagangan orang, serta tindak pidana perempuan dan anak.
”Itu semua kami ajarkan di sekolah-sekolah pendidikan, baik pendidikan pembentukan, spesialisasi, maupun pengembangan,” kata Hudit.
Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono menyampaikan, pendidikan hukum humaniter sudah berjalan di TNI walaupun mereka tugasnya sebagai alat pertahanan negara yang siap untuk perang melawan musuh. Para prajurit sebelum berangkat bertugas dan ketika di satuan dibekali dengan pendidikan hukum humaniter.
Pelajaran hukum humaniter itu, menurut Julius, ada dalam pelajaran saat prajurit berada di kelas ataupun di badan pembinaan hukum dan dinas hukum masing-masing satuan.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, jika memang ingin mencegah peristiwa pelanggaran HAM berat tidak terulang di masa depan, reformasi alat pertahanan dan keamanan negara, yaitu TNI Polri, harus dilakukan secara serius dan substantif.
Namun, cara itu saja dinilainya tidak cukup. Perlu ada metode yang menyasar kultural masyarakat. Misalnya, membangun budaya HAM dalam arti yang lebih luas di masyarakat. ”Tidak hanya penting membuat kurikulum untuk TNI dan Polri, tetapi juga harus ada program yang sistematis terkait pengarusutamaan HAM di publik. Misalnya, dengan menetapkan bulan HAM pada setiap bulan Mei. Itu bisa lebih efektif dan secara struktural membangun memori kolektif bangsa,” katanya.