Korban Kerusuhan 1998, Saling Berbagi Keluh Kesah dan Berikhtiar Bangkit Bersama
Ibu-ibu korban kerusuhan 1998 berusaha sekuat tenaga bangkit dari trauma kehilangan keluarganya. Diawali dari kebutuhan mencari keadilan atas peristiwa pelanggaran HAM berat itu, mereka membentuk sistem pendukung.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Wajah Murni (60) seketika muram saat mengingat anak laki-lakinya, Agung Tri Kurniawan, yang menjadi korban kebakaran Mal Yogya Plaza Klender, Jakarta Timur, 25 tahun silam. Jumat (12/5/2023) malam, bersama dengan ibu-ibu korban peristiwa kerusuhan Mei 1998, ia berdoa untuk korban tewas dalam peristiwa itu.
Sejak selepas isya, belasan warga berkumpul di gang kampung selebar sekitar 2 meter di RT 004 RW 008 Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur. Malam itu, tepat 25 tahun peristiwa tragis kerusuhan Mei 1998 yang membakar Mal Yogya Klender. Karena letak kampung dekat dengan mal, banyak warga jadi korban kerusuhan.
Ibu-ibu korban berusaha sekuat tenaga bangkit dari trauma mendalam kehilangan keluarganya. Diawali dari kebutuhan mencari keadilan atas peristiwa pelanggaran HAM berat itu, mereka membentuk sistem pendukung. Para korban bergabung dalam organisasi Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI).
Selain berfungsi sebagai kelompok pendamping, IKOHI juga mendukung pemberdayaan perempuan yang mayoritas ibu korban untuk berdaya. Sejak 2012, IKOHI mendirikan Koperasi Gemah Ripah. Koperasi simpan pinjam itu awalnya dibuat untuk menyalurkan program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang disalurkan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dari awalnya hanya bisa menyalurkan pinjaman Rp 500.000 per anggota, kini koperasi bisa menyalurkan Rp 1,5 juta per anggota.
Ketua Umum IKOHI Wanmayetty menuturkan, pada 2012, IKOHI mendapat bantuan KUBE dari pemerintah. Menurut Yetty, saat itu syarat dari pemerintah agar dana bantuan bisa dikucurkan adalah membentuk koperasi. Sebanyak 80 orang masuk sebagai anggota koperasi. Dari 80 orang dibentuk lagi delapan kelompok usaha bersama.
Untuk pinjaman Rp 1 juta misalnya, anggota harus mengembalikan setiap bulan Rp 100.000, selama 11 kali. Artinya, bunga pinjaman sekitar 10 persen. Yetty menyebut uang itu sebenarnya tidak tepat jika dikatakan sebagai bunga. Uang itu hanya seperti uang administrasi yang nantinya juga akan dikembalikan lagi untuk kemanfaatan anggota koperasi. Misalnya, untuk konsumsi saat pertemuan rutin bulanan.
Selain itu, anggota koperasi juga wajib menyetor iuran wajib Rp 20.000 per bulan. Simpanan wajib itu akan dikembalikan lagi untuk anggota.
Sekretaris Jenderal IKOHI Zaenal Muttaqien menambahkan, koperasi korban Peristiwa 1998 sangat dirasakan manfaatnya oleh korban. Sebab, laki-laki yang notabene kepala keluarga korban pelanggaran HAM itu banyak yang meninggal dunia. Akhirnya, ibu-ibu beralih peran jadi tulang punggung keluarga. Beban ganda kehilangan anak sekaligus suami, membuat mereka harus tangguh dalam pertarungan hidup. Modal yang dikucurkan pemerintah, dilengkapi pelatihan pemberdayaan ekonomi, membuat ibu-ibu terbantu dalam memberdayakan diri.
Murni (60), misalnya, berdagang sayuran segar keliling kompleks perumahan di Kawasan Pulogadung. Berkat pinjaman dari Koperasi Gemah Ripah, dia terus mengembangkan usahanya. Ia kini memiliki freezer untuk menyimpan sayuran dan bahan mentah. Dengan demikian, dia bisa berbelanja lebih banyak dan menyimpan dagangan lebih layak.
Setelah lebih dari 25 tahun, ia menyadari usahanya berjualan sayur-mayur ternyata berkembang. Dia mampu menyekolahkan enam anaknya sampai lulus kuliah. Anaknya kini juga telah bekerja sebagai aparatur sipil negara dan karyawan badan usaha milik negara. Dia juga sudah bisa membeli rumah baru berkat usaha kecil-kecilannya itu.
”Saya bersyukur sekali bisa mengenal ibu-ibu di IKOHI. Saya bisa dapat bantuan pinjaman uang untuk usaha, juga bisa berbagi keluh kesah sesama korban,” tuturnya.
Keuangan Ruminah (66), yang dahulu memiliki usaha salon di Mal Yogya Klender, hancur karena kerusuhan. Usahanya yang dulu berada di basemen mal habis tak bersisa. Ditambah lagi anak laki-laki ketiganya, Gunawan, juga jadi korban. Hidupnya sempat berada di titik terendah.
Jika mengingat peristiwa kelam yang merenggut nyawa anaknya, Ruminah masih kerap berkecil hati. Sebab, dia dan para ibu korban masih mendapat stigmatisasi. Di lingkungannya, muncul ujaran jahat korban kerusuhan Mei 1998 tak akan bisa masuk ke surga. ”Warga sini (ada yang) bilang anak yang meninggal di mal, matinya pada masuk neraka. Saya sahutin begini, memangnya nanti kamu matinya bagaimana? Emang kita mau (mati) kayak gitu, saya gituin,” ucap Ruminah dengan mata menerawang.
Sistem pendukung
Yetty mengungkapkan, IKOHI tak hanya menyalurkan bantuan, tapi juga jadi support system bagi ibu-ibu korban. Dana iuran rutin anggota terkadang juga digunakan untuk gotong royong dan solidaritas. Misalnya, saat ada anggota yang sakit, meninggal dunia, atau ditimpa musibah, mereka akan datang membersamai. IKOHI juga jadi wadah pemulihan psikologi korban. Mereka berpandangan, selama kebenaran belum terungkap, korban akan terus jadi korban, karena didiskriminasi masyarakat. Karena itu, IKOHI juga sempat membuat program konseling kesehatan mental bagi para korban.
”Selain mendampingi korban dalam upaya menuntut keadilan kepada negara, kami juga ada program konseling kesehatan jiwa. Di situ, ibu-ibu banyak cerita masalah keluarga. Semua ditumpahkan dalam forum konseling itu,” katanya.
Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan, korban pelanggaran HAM berat memang tidak mudah menjalani hidup normal. Terutama bagi masyarakat marjinal yang harus terus bekerja melanjutkan hidup. Namun, karakteristik masyarakat Indonesia yang sosial-komunal, yang berjiwa sosial tinggi, justru bisa membantu mereka lebih cepat memulihkan diri.
Ia juga menilai keberadaan kelompok pendukung seperti Goperasi Gemah Ripah IKOHI memang diperlukan bagi keluarga korban. Dengan keberadaan masyarakat sipil pendamping korban, media massa, akademisi, mereka merasa tidak sendiri menghadapi peristiwa tragis yang traumatik itu.
”Dengan didampingi kelompok pendamping, koperasi, dan juga masyarakat sipil menuntut reformasi, mereka bisa melanjutkan menjalani hidup sembari merehabilitasi memori kolektif. Setelah itu, baru mereka bisa menuntut hal yang lebih struktural, seperti pengakuan oleh negara dan penegakan hukum,” kata Devie.