Korban dan keluarga korban tragedi di seputar reformasi 1998 terus berjuang menuntut keadilan. Mereka berusaha menjaga agar peristiwa itu tak hilang dari ingatan publik.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA, PRAYOGI DWI SULISTYO, DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keluarga korban dan korban peristiwa-peristiwa terkait reformasi 1998 tetap konsisten berusaha menjaga memori kolektif terkait pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di periode itu. Di seperempat abad usia reformasi, mereka tetap berharap keadilan muncul walaupun peristiwa ini mulai dilupakan sebagian masyarakat.
Berdasarkan jajak pendapat Kompas pada 9-11 Mei 2023 dengan melibatkan 506 responden di 38 provinsi, sepertiga responden tidak memiliki imaji terkait pelanggaran HAM pada awal reformasi. Kelompok responden berusia 17 hingga 24 tahun (gen Z) memiliki proporsi paling besar yang menjawab tidak tahu (46,4 persen).
Di tengah kondisi itu, Maria Katarina Sumarsih (71), orangtua Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang meninggal ditembak dalam Tragedi Semanggi I, lebih dari 16 tahun mencari keadilan dengan menyampaikan tuntutan dalam aksi damai setiap Kamis. Aksi dilakukan bersama keluarga korban lain di seberang Istana Negara, Jakarta.
”Cinta saya kepada Wawan, dukacita atas meninggalnya Wawan, bertransformasi pada perjuangan kami sekeluarga untuk menegakkan hukum sebagaimana agenda reformasi ketiga, yaitu tegakkan supremasi hukum,” tutur Sumarsih dalam aksi Kamisan ke-773, Kamis (11/5/2023).
Sumarsih bersikukuh mewujudkan agenda reformasi untuk menegakkan hukum. Ukurannya, kasus Semanggi I-II dan Trisakti dibawa ke pengadilan.
Maria Cornelia Kuryati Sanu (75), orangtua Stevanus Sarintus Antonius Sanu, juga menanti pertanggungjawaban negara. Stevanus merupakan korban kerusuhan Mei 1998 yang terbakar di Yogya Plaza Klender pada Mei 1998.
Maria mengatakan, dirinya pernah ditawari jalan islah, tetapi menolak sehingga dipertanyakan oleh keluarga korban lainnya. ”Kalau kami mau menerima islah, jalan damai, itu berarti kita ’menjual’ anak kita. Nanti keadilan di mana? Makanya Ibu tetap bertahan,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berharap negara memperhatikan keluarga korban. Uluran tangan dari negara dan lembaga lain diharapkan.
Dari Solo, Jawa Tengah, suara putri sulung aktivis sekaligus penyair Widji Thukul, Fitri Nganthi Wani (34), terdengar perlahan saat menceritakan penantian keadilan terhadap nasib ayahnya yang hilang 25 tahun silam. Beberapa kali ia terbata-bata karena sulit mengungkapkan kekecewaannya. Hingga ibunya, Dyah Sujirah atau disapa Sipon, meninggal awal tahun lalu, ayahnya yang hilang sejak reformasi 1998 tak diketahui rimbanya.
Wani menuturkan, ibunya berjuang keras setelah Widji Thukul hilang. Sipon berjuang menghidupi Wani dan adiknya, Fajar Merah, mulai dari mengalami teror sampai kesulitan mendapat dana pinjaman membuka usaha. Wani dan Fajar juga tak bisa menyelesaikan pendidikan formal karena keterbatasan biaya.
Nonyudisial
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Dhahana Putra menyebut, negara sudah hadir dalam memulihkan hak-hak korban, terutama dalam kacamata penyelesaian nonyudisial. Baru-baru ini Presiden menerbitkan tiga instrumen hukum penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu Keppres No 17/2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Inpres No 2/2023 tentang Tindak Lanjut Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, dan Keppres No 4/2023 tentang Tim Pemantau Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.
Di payung hukum itu dimandatkan untuk memulihkan hak-hak korban 12 pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM, salah satunya Peristiwa 1998. ”Inpres tersebut juga menugaskan 19 kementerian dan lembaga untuk memberikan pemulihan bagi korban,” katanya.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Atnike Nova Sigiro, Selasa (23/5/2023), berharap program penyelesaian nonyudisial yang sudah dimulai di era pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin memiliki visi jangka panjang. Alasannya, bentuk pemulihan korban pelanggaran HAM berat yang sudah tertunda 25 tahun tak bisa dilakukan terburu-buru.
Pendekatan terhadap korban yang mengalami disabilitas permanen dan mereka yang kehilangan anggota keluarga tidak bisa disamakan. Menurut dia, dibutuhkan master plan jangka panjang karena diyakini program pemulihan tidak akan selesai tahun ini.
Secara institusi, sudah ada Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang diberi mandat menghadirkan keadilan bagi korban. Payung hukum keppres dan inpres terkait penyelesaian nonyudisial harus diperkuat.
Hal ini membutuhkan peran dari DPR dan partai politik dengan memasukkan agenda keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat. ”DPR harus bisa membuat regulasi yang mengunci kebijakan yang sudah baik agar dilanjutkan pemerintah berikutnya. Salah satunya dengan penguatan fungsi kelembagaan Komnas HAM dan LPSK,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengungkapkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berlarut-larut berisiko menurunkan gaung peringatan reformasi pada masa mendatang. Usman optimistis api perjuangan dalam berbagai inisiatif kegiatan masih terus dilakukan. Hal ini tak lepas dari peran banyak pihak, seperti mahasiswa, kampus, alumni aktivis 1998, dan Komisi Nasional Perempuan.