Bakal Caleg Menanti Putusan MK Agar Mantap di Pemilu 2024
Bakal caleg sangat berharap MK segera menjatuhkan putusan uji materi soal sistem pemilu. Putusan itu dibutuhkan guna memantapkan langkah mereka berkontestasi di Pemilu 2024. Apalagi, pendaftaran caleg Senin (1/5/2023).
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Putusan Mahkamah Konstitusi soal sistem pemilu kini sangat dinanti para bakal calon anggota legislatif. Putusan itu akan memberikan kepastian dalam memantapkan langkah mereka berkontestasi di Pemilu 2024. Apalagi, mengingat pendaftaran bakal calon anggota legislatif tinggal menghitung hari.
Bakal caleg petahana dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Nasir Djamil, Sabtu (29/4/2023), mengatakan, putusan MK itu sangat dinanti. Nasir berharap agar hakim mahkamah tidak berlama-lama menjatuhkan putusannya. Sebab, bakal caleg dan partai sudah mulai bergerak menuju pendaftaran yang tinggal hitungan hari karena pendaftaran mulai dibuka pada 1 Mei hingga 14 Mei.
”Kalau proporsional terbuka, semua bakal calon ini punya harapan. Harapan inilah yang menggerakkan roda perekonomian di masyarakat akibat pemilu legislatif. Jadi, tidak ada diskriminasi,” kata Nasir.
Nasir yang akan maju lagi sebagai anggota DPR dari Daerah Pemilihan Aceh II ini lebih setuju dengan sistem proporsional terbuka karena berdampak langsung ke masyarakat. Sementara kalau sistem proporsional tertutup, demokrasi di setiap internal partai juga perlu diperbaiki terlebih dahulu.
Nasir berharap agar hakim mahkamah tidak berlama-lama menjatuhkan putusannya. Sebab, bakal caleg dan partai sudah mulai bergerak menuju pendaftaran yang tinggal hitungan hari.
Sejak November 2022, MK belum menjatuhkan putusan untuk Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tentang uji materi pada sistem proporsional terbuka dalam Pasal 168 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang digugat sejumlah pihak. Sejumlah pihak itu antara lain, Demas Brian Wicaksono, salah satu pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Para pemohon mendalilkan berlakunya norma-norma pasal tersebut berkenaan dengan sistem proporsional berbasis suara terbanyak telah bermakna dibajak oleh bakal caleg pragmatis. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, melainkan mewakili diri sendiri.
Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu yang memberikan hak kepada pemilih untuk memilih langsung wakil-wakilnya di parlemen. Adapun dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik saat pemungutan suara, sementara caleg yang akan duduk di parlemen ditentukan oleh partai.
Bakal caleg petahana dari Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, juga berharap MK menolak gugatan pihak pemohon yang mengajukan uji materi UU Pemilu tersebut. Sebab, jika sistem proporsional tertutup, akan memperkecil peluang politisi yang baru mendaftar caleg.
”Sistem terbuka itu lebih adil karena pendatang baru pun bisa mendapatkan kursi seperti yang terjadi selama ini. Di DPR itu hampir 40 persen kursi yang ada bukan diduduki nomor urut satu, harusnya hal ini tidak perlu digugat lagi di MK,” kata Saleh saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Menurut Saleh, hakim mahkamah harus mempertimbangkan manfaat dari sistem proporsional terbuka yang sudah dilakukan dalam 20 tahun terakhir ini. Jika akhirnya sistem proporsional tertutup berlaku lagi, 20 tahun terakhir adalah sebuah kesalahan.
Tetap jalankan sosialisasi
Namun, untuk kepentingan dirinya sebagai peserta Pemilu 2024, bakal caleg Dapil Sumatera Utara II yang sudah menjadi anggota DPR sejak 2014 ini memilih tidak terlalu memikirkan proses yang sedang terjadi di MK. Proses sosialisasi sudah dan terus berjalan, baik untuk dirinya maupun untuk PAN.
”Saya setiap turun ke masyarakat itu selalu menyebut nama dan partai saya, apa yang kami perjuangkan. Jadi, kalau nanti sistem tertutup, saya harapkan mereka ingat saya dan ingat PAN,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luluk Nur Hamidah, juga berharap MK memutuskan sistem proporsional terbuka masih berlaku pada Pileg 2024. Sebab, jika diputus tertutup dan langsung berlaku tahun depan, caleg dan partai akan merugi karena sudah melakukan strategi politik dengan sistem terbuka.
”Jadi, ketika diadaptasi ke sistem tertutup, pasti butuh penyesuaian yang tidak mudah. Kalau berlaku di pileg selanjutnya, baru adil karena ada persiapan partai untuk memperkuat sistem internal partai. Semua ada plus minusnya. PKB punya sejarah ketika sistem tertutup justru juara ketiga pada 1999,” kata Luluk.
Saya setiap turun ke masyarakat itu selalu menyebut nama dan partai saya, apa yang kami perjuangkan. Jadi, kalau nanti sistem tertutup, saya harapkan mereka ingat saya dan ingat PAN.
Luluk yang akan kembali maju sebagai caleg PKB dari Dapil Jawa Tengah IV ini juga menyoroti keterwakilan perempuan di parlemen. Menurut dia, sistem pemilu terbuka atau tertutup tetap harus mengutamakan keterwakilan perempuan di parlemen. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai target 30 persen karena masih berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI.
Menurut Luluk, sistem proporsional terbuka harus menempatkan perempuan yang memang berkualitas di urutan pertama. Sementara, kalau sistem tertutup, partai bisa mengader perempuan untuk bersaing di daerah pemilihan yang sudah dipastikan menjadi daerah basis partai sehingga tingkat keterpilihannya tinggi.
”Sistem apa pun itu harus bisa menjamin keterwakilan perempuan itu semakin besar dan lebih baik di parlemen,” tutur Luluk.