Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen
Di tengah mahalnya ongkos politik, sejumlah caleg dengan modal finansial terbatas berhasil melenggang ke Senayan. Lalu, apa saja rahasia mereka hingga sukses menembus parlemen?
- Di tengah gempuran politik uang, sejumlah caleg dengan modal finansial terbatas tetap bisa terpilih sebagai anggota DPR.
- Para caleg dengan kekuatan finansial terbatas itu memanfaatkan modal sosial yang dimiliki untuk dapat melaju ke Senayan.
- Strategi lain yang bisa dilakukan caleg modal cekak adalah dengan ”membonceng” tokoh masyarakat yang populer di daerah pemilihannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Jelang Pemilihan Legislatif 2024, para calon anggota legislatif dengan modal cekak harus memiliki semangat juang lebih keras dibandingkan dengan mereka yang berdompet tebal. Jika modal uang lemah, modal sosial harus diperkuat. Jejaring partai juga tak boleh dilupakan. Tanpa semua itu, duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.
Ingatan anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR, Arif Wibowo, tiba-tiba terlempar ke masa Orde Baru saat memperbincangkan soal calon anggota legislatif (caleg) modal cekak di Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Selasa (11/4/2023). Arif teringat saat masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Jember, ia sudah berjibaku mendampingi para petani di wilayah Jember dan Lumajang, Jawa Timur, yang tersangkut sengketa lahan.
Salah satu kasus yang paling dia ingat adalah pengambilalihan lahan petani seluas 3.274 hektar di Jenggawah oleh PTP XXVII untuk perkebunan tembakau. Berkat upaya Arif bersama kawan-kawannya, pada 1995 terbit keputusan presiden (keppres) yang berisi penetapan tanah hak guna usaha PTP XXVII tersebut diberikan kepada para petani.
Aktivitasnya memperjuangkan hak para petani itu merupakan salah satu modal yang membuatnya berani menjajal peruntungan untuk menjadi anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur IV. Maklum, sebagai seorang aktivis, ia tak punya uang berlebih untuk membiayai pemenangan pemilu. Namun, ternyata, modal sosial itulah yang justru mengantarkannya menduduki satu kursi di Senayan pada Pemilu 2009.
Lihat Juga: Caleg, Gladiator Tiga Arena dan Tantangan Politik Uang
Perjuangan untuk membela hak-hak rakyat yang tersangkut masalah agraria tak pupus setelah ia duduk sebagai wakil rakyat yang terhormat. Kebetulan juga partainya menempatkannya di Komisi II DPR yang menangani urusan pemerintahan dalam negeri dan otonomi daerah, aparatur dan reformasi birokrasi, kepemiluan, serta pertanahan dan reforma agraria.
Kesetiannya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang terlibat sengketa agraria itu pun kemudian mengantarkannya kembali menjadi anggota DPR pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Selama tiga periode di DPR, Arif selalu ditugaskan di Komisi II.
”Mungkin saya salah satu anggota legislatif yang beruntung. Sejak mahasiswa sudah berjuang mendampingi petani yang terlibat sengketa agraria di daerah yang sekarang ini menjadi dapil (daerah pemilihan) saya. Itu modal sosial saya, yang kalau dikoversi ke rupiah, nilainya bukan hanya miliaran, melainkan triliunan,” tutur Arif dalam bincang-bincang ”Nyaleg dengan Modal Cekak, Mungkinkah?”.
Sampai saat ini pun, Arif masih berjuang melepaskan 132 hektar lahan yang masih dikuasai PTP XXVII. Selain itu, masih ada setidaknya 21 kasus konflik agraria yang perlu dibereskan. Menurut Arif, bukan hal yang mudah memperjuangkan hal tersebut. Masyarakat di daerah pemilihannya pun paham bahwa ada beberapa faktor yang menghambat, seperti faktor struktural ataupun kebijakan.
”Nah, saya hanya bounding saja, dalam situasi apa pun, saya temani rakyat. Itu yang saya lakukan. Misal begini, kalau reses, saya tidak bisa datang terlalu lama, ya, teman-teman itu yang saya undang. Kami bisa berdiskusi, membahas masalah-masalah yang terjadi di masyarakat di sana. Bisa dicek juga, rumah saya 24 jam terbuka untuk mereka,” ucap Arif.
Modal sosial inilah yang terus dijaga Arif. Apalagi, dia akan kembali mendaftarkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024.
Modal sosial itu pula yang dimanfaatkan Luqman Hakim, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) DPR, untuk memenangi Pemilu 2019. Saat pertama kali mengikuti kontestasi politik, ia menyadari bahwa perjuangan untuk duduk di kursi parlemen tidaklah mudah. Sebab, tak hanya kompetisi antarpartai politik di satu dapil, ia juga harus bertarung dengan caleg dari partai lain sekaligus sesama caleg dari partai yang sama.
Baca Juga: Strategi Dua Kaki PKB demi Kuasai 100 Kursi Parlemen
Namun, semangatnya tak surut. Sebagai Ketua Bidang Politik dan Pemerintahan Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor kala itu, ia memiliki puluhan ribu anggota yang tersebar di mana-mana, termasuk di dapilnya, yakni Dapil Jawa Tengah VI yang meliputi Wonosobo, Magelang, Temanggung, dan Purworejo.
Anggota Komisi VIII dari Fraksi PKB, Luqman Hakim
GP Ansor merupakan organisasi kepemudaan yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang cukup dikenal dengan semangat kekeluargaan dan solidaritasnya. ”Ini modal sosial yang luar biasa. Hanya karena kami ini satu organisasi, lalu jiwa korsanya muncul. Mereka gotong royong menjadi relawan-relawan yang sangat militan di lapangan dan itu sangat membantu,” tutur Luqman.
Anggota Komisi VIII DPR itu mengaku, ia memang mengeluarkan uang untuk ongkos politik. Namun, jumlah uang yang dikeluarkan disebut tak sebanding dengan perjuangan para anggota GP Ansor yang rela merogoh kantong sendiri untuk menyosialisasikan dan mengampanyekan Luqman. ”Mungkin kalau uang yang dikeluarkan relawan itu ditotal Rp 1 miliar, tapi yang saya keluarkan untuk bantu tidak sampai Rp 1 miliar,” tuturnya.
Tetap keluarkan biaya
Sekuat-kuatnya modal sosial yang dimiliki, baik Arif maupun Luqman tetap mengakui ada ongkos politik yang dikeluarkan dari kantong mereka saat berkontestasi. Namun, jumlahnya tidak sebesar caleg-caleg lain yang memang memiliki modal finansial besar.
Arif, misalnya, dalam pemilu pertamanya pada 2009, hanya menghabiskan Rp 150 juta untuk biaya operasional relawan. Namun, ongkos politik yang dikeluarkannya terus meningkat, menjadi Rp 500 juta pada Pemilu 2014 dan Rp 850 juta di Pemilu 2019.
Jumlah itu masih jauh di bawah ongkos politik yang dikeluarkan seorang anggota DPR dari dapil Jawa Tengah yang tak ingin disebutkan namanya. Ia mengaku harus merogoh kocek hingga Rp 2,3 miliar untuk ongkos politik di Pemilu 2014. Bahkan, pada Pemilu 2019, ia menghabiskan uang Rp 7,1 miliar untuk biaya pemenangan.
Ihwal ongkos politik menuju Senayan ini pernah diulas dalam disertasi doktoral Pramono Anung, Wakil Ketua DPR periode 2009-2014 yang kini menjabat sebagai Sekretaris Kabinet. Dalam penelitian berjudul ”Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen (Studi Interpretif Pemilu 2009)” itu, Pramono memaparkan biaya kampanye caleg bervariasi, mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 6 miliar.
Biaya paling kecil dikeluarkan oleh para caleg yang punya modal sosial tinggi, seperti artis dan aktivis. Adapun biaya paling besar dikeluarkan oleh para caleg dengan modal sosial rendah, seperti kalangan pengusaha.
Kalau tidak paham lapangan, mau Rp 1 triliun dikeluarkan, juga belum tentu terpilih. Kecuali kalau uang itu langsung disebar ke rakyat, tetapi ini dilarang karena termasuk money politics.
Menurut Arif, besar atau kecil biaya yang dikeluarkan itu memang sebenarnya kembali lagi pada kebutuhan dari masing-masing caleg. Akan tetapi, politisi yang baru mengikuti kontestasi politik perlu memetakan terlebih dahulu uang yang disiapkan akan digunakan untuk keperluan apa saja. Lebih dari itu, mereka juga harus memahami kondisi konstituen dan tentu peta kekuatan politik di dapil.
”Kalau tidak paham lapangan, mau Rp 1 triliun dikeluarkan, juga belum tentu terpilih. Kecuali kalau uang itu langsung disebar ke rakyat, tetapi ini dilarang karena termasuk money politics,” katanya.
Caleg dengan modal sosial rendah akan semakin sulit terpilih jika mereka tidak berupaya mendekati rakyat. Ikatan batin antara mereka dan masyarakat akan sulit terjalin. Masyarakat pun tidak akan menaruh simpati, apalagi memilih mereka. ”Jadi, kalau Sampean (Anda) tidak punya duit, tidak rajin lagi di lapangan, tidak usah mimpi menjadi anggota DPR. Kalau bounding ini tidak ada, susah juga. Jadi, sebenarnya biaya itu salah satu faktor saja,” ucap Arif.
Selain itu, menurut Arif, jika ingin mengeluarkan biaya rendah, caleg harus pula bekerja bersama partai, bukan bergerak sendiri. Partai merupakan kumpulan caleg dan pengurus partai yang terorganisasi. Pemenangan elektoral harus terpimpin dan berbasis pada gotong royong. Semua perlu bertumpu pada mesin partai, tidak kepada individu lagi.
Baca Juga: Tekad Bulat PDI-P Mengejar ”Hattrick” Kemenangan Pemilu
”Saya kira, jika itu bisa di-manage dengan baik, hasilnya luar biasa. Kalau bekerja sendiri, konsekuensi logis pasti berbiaya tinggi. Namun, kalau kerja berbasis partai, biaya yang dikeluarkan akan lebih murah. Sebab, partai jauh lebih kuat daripada orang per orang,” tuturnya.
Lima faktor
Peneliti di Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, mengungkapkan, ada lima faktor yang perlu diperhatikan oleh para caleg dengan modal cekak jika ingin terpilih. Pertama, kekuatan dukungan dari partai atau tokoh yang punya pengaruh kuat di dapilnya. Sering kali, tokoh yang punya pengaruh kuat tersebut juga akan berkompetisi di pemilihan kepala daerah. Untuk itu, para caleg bisa ”membonceng” popularitas tokoh tersebut.
Kedua, memperbanyak sosialisasi melalui media sosial sekaligus interaksi langsung. Sosialisasi di media sosial penting mengingat pemilih terbesar di Pemilu 2024 berasal dari kalangan milenial dan generasi Z (kelahiran 1997-2012). Sementara itu, interaksi langsung diperlukan untuk mendekati pemilih dari kalangan baby boomers.
”Jadi, caleg harus inovatif mendekati dengan dua cara yang berbeda, memanfaatkan medsos dan berinteraksi langsung untuk dua segmen yang berbeda. Kedekatan langsung dengan pemilih, hingga akhirnya pemilih mulai mengenal, itu penting,” ujar Rafif.
Faktor ketiga adalah modal sosial yang kuat. Salah satu caranya adalah caleg harus rajin membangun komunikasi dengan warga di dapilnya. Ini menjadi hal yang esensial karena akan membuka peluang bagi caleg modal cekak dan jejaring terbatas untuk memiliki mesin politik yang akan membantu menaikkan popularitas sekaligus elektabilitas.
”Sebab, bagaimana pun juga, kalau kita bicara soal politik, kita tidak bisa bicara satu individu saja. Ada mesin politik di situ. Masalahnya, mesinnya apakah dalam bentuk struktural formal partai, atau dalam bentuk relawan-relawan, atau modal-modal sosial yang dia bisa merangkai kelompok-kelompok strategis yang selama ini terpinggirkan. Semua sama kuatnya, tinggal bagaimana menjaga dan mengembangkannya,” kata Rafif.
Kemudian faktor keempat adalah sensitivitas terhadap isu. Setidaknya caleg mesti punya sensitivitas terhadap isu tertentu, entah mengenai pertanian, buruh, dan lain-lain. Menjadi lebih baik apabila isu yang dibawa tersebut sejalan dengan narasi besar partainya.
Baca Juga: Caleg Perempuan Menembus Legislatif, antara Militansi dan Privilese
Faktor terakhir yang juga penting adalah pilihan partai. Caleg harus mampu melihat sejauh mana kekuatan partai di dapil tersebut. Biasanya, suatu dapil sudah menjadi ”kandang” dari partai tertentu dan karakteristik pemilih sudah terbentuk. Jika salah memilih partai, akan lebih sulit untuk mendapatkan satu kursi parlemen.
Rafif kembali menegaskan, lima faktor itu harus diperhatikan betul oleh para caleg. Sebab, saat ini, pemilu masih menggunakan sistem proporsional terbuka yang perolehan kursinya dihitung berdasarkan raihan suara terbanyak.