Ruang Politik bagi Perempuan Harus Diciptakan Bersama
Bukan hanya dari aspek kuantitas, yaitu jumlah keterwakilan perempuan, tetapi juga kualitas ekosistem politik yang ramah terhadap perempuan.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemenuhan target keterwakilan perempuan di parlemen yang tidak pernah mencapai 30 persen menjadi tantangan yang dihadapi setiap pemilu, termasuk pada Pemilu 2024. Persoalannya tidak hanya pada sulitnya mencari calon anggota legislatif perempuan, tetapi juga stereotip dari pemilih dan diskriminasi yang kerap muncul setelah menjabat sebagai wakil rakyat sehingga akhirnya membuat perempuan berpikir dua kali untuk menjadi anggota parlemen.
”Baik dari partai politik maupun pemilih sering kali bias jender secara pragmatik. Mereka menilai kesempatan perempuan untuk menang dalam kontestasi politik itu kecil, jadi secara pragmatik memilih laki-laki,” ujar Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (Infid), Rizka Antika, dalam diskusi bertajuk ”Menguak Minimnya Capres dan Cawapres Perempuan”, di Jakarta, Kamis (30/3/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Laki-laki, lanjutnya, dinilai memiliki karakteristik kepemimpinan yang diidamkan oleh masyarakat, misalnya percaya diri, asertif, tegas, dan dominan. Adapun perempuan dinilai lebih feminim. Padahal, anggapan ini tidak benar. Ia mencontohkan saat pandemi Covid-19, pemimpin perempuan dilihatnya lebih berhasil mengatasi pandemi daripada pemimpin laki-laki. Hal ini karena perempuan menggunakan pendekatan empati, mendengar masyarakat, dan membuka peluang kolaborasi sehingga berhasil dalam pengendalian krisis.
Selain stereotip, penjaringan calon anggota legislatif dan eksekutif perempuan juga dinilai sulit oleh Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi.
Penyebabnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai politik (parpol) karena kasus korupsi hingga dinasti politik. ”Kesulitan ini menyebabkan partai asal mencomot kader perempuan, misalnya diambil dari istri pejabat atau petahana untuk memenuhi kuota keterwakilan 30 persen calon legislatif,” tutur Nurul.
Sebenarnya, Indonesia telah mengalami perbaikan tren dalam keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi jumlahnya belum pernah mencapai target 30 persen.
Pada periode 1999-2004 keterwakilan perempuan di parlemen hanya 9 persen (44 orang), kemudian menjadi 10,7 persen (65 orang) pada 2004-2009, naik menjadi 17,6 persen (100 orang) pada 2009-2014. Lima tahun berikutnya, pada 2014-2019 ada 17,7 persen (97 orang) dan meningkat menjadi 20,9 persen (120 orang) pada 2019-2024.
Perempuan juga menghadapi tantangan yang tidak ringan ketika sudah terpilih dan duduk di parlemen. Penelitian Perludem tahun 2020 mengenai voters suppresion atau gangguan terhadap hak memilih menemukan banyak konten kekerasan politik terhadap perempuan.
Salah satu bentuknya ke politisi perempuan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang vokal terhadap isu yang berkembang di masyarakat. Ia kerap menjadi target ujaran kebencian.
”Bahkan wawancara kami pada 2009, ketika perempuan korupsi, anggapan masyarakat lebih buruk daripada koruptor laki-laki. 'Wajarlah, make up-nya kan butuh banyak duit' seperti itu stereotip yang berkembang,” ujar Nurul.
Seksisme dan perlakuan diskriminatif juga dialami politisi perempuan di parlemen. Ia menceritakan, beberapa minggu lalu dalam salah satu rapat di Komisi II DPR yang membahas daerah otonomi baru, anggota DPR perempuan diberi ruang berkomentar sangat sedikit, berbeda dari waktu yang diberikan kepada anggota laki-laki.
Padahal, memberi ruang bagi perempuan untuk berbicara dalam pengambilan kebijakan merupakan hal yang krusial. Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebutkan, memberi ruang bagi perempuan juga membuka jalan masuknya perspektif kelompok rentan seperti anak, disabilitas, hingga orang dengan ekspresi jender tertentu. Perspektif kelompok rentan ini diperlukan dalam pengambilan kebijakan.
”Maka dari itu, ruang politik bagi perempuan harus diciptakan bersama, bukan hanya dari aspek kuantitas, yaitu jumlah keterwakilan perempuan, tetapi juga kualitas ekosistem politik yang ramah terhadap perempuan,” ujarnya.
Maka dari itu, ruang politik bagi perempuan harus diciptakan bersama, bukan hanya dari aspek kuantitas, yaitu jumlah keterwakilan perempuan, tetapi juga kualitas ekosistem politik yang ramah terhadap perempuan.
Salah satu yang dapat dilakukan adalah membangun narasi bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin yang baik. ”Membangun narasi dan memberi ruang bahwa ada beragam kepemimpinan untuk menangani masalah, tidak hanya versi maskulin yang tegas, tetapi juga empati. Kekhasan perempuan ini harusnya tidak menjadi kelemahan, tapi justru jadi kekuatan,” kata Rizka.
Menurut Rizka, diversitas penting dilakukan dalam pengambilan kebijakan dengan memasukkan peran perempuan. Ketika pengambilan keputusan diambil oleh kelompok yang homogen, keputusan yang diambil tidak bisa mengakomodasi kepentingan banyak pihak. Dalam hal ini, perempuan perlu menjadi pengambil keputusan substantif bukan hanya sebagai pengisi keterwakilan secara administratif.
Selain itu, Rizka juga memberi masukan kepada parpol untuk berinvestasi pada kapasitas perempuan. Selama ini, sistem kuota keterwakilan perempuan hanya ada saat pemilu, tetapi tidak ada aturan yang mengikat bagi perempuan untuk menjadi pemimpin di partai.
Maka dari itu, kepemimpinan perempuan di parpol juga perlu didorong. Ini tidak hanya di pimpinan pusat, tetapi juga di daerah.