KPK Temukan Bukti Dugaan Korupsi Bupati Kapuas dan Istrinya
Pengamat melihat perilaku korupsi untuk menghimpun kekuatan politik, seperti diduga dilakukan Bupati Kapuas dan istrinya, seolah sudah menjadi tradisi. Perlu ada perbaikan dari sisi bantuan dana untuk partai politik.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat bersama istrinya yang merupakan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, resmi ditahan dan digiring menuju mobil tahanan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah rumah pribadi dan kantor Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Dalam penggeledahan itu, KPK menemukan sejumlah bukti yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi Ben dan istrinya, Ary Egahni, yang juga merupakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem.
”Kami menemukan dan sudah mengamankan bukti berupa dokumen-dokumen yang dapat menerangkan perbuatan para tersangka,” ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Rabu (29/3/2023).
KPK juga akan segera menyita dan menganalisis dokumen itu. Lebih lanjut, pembuktian dokumen akan dikonfirmasi kepada para saksi yang dipanggil penyidik KPK. Kendati demikian, Ali tidak menyebutkan secara mendetail bukti yang ditemukan tim penyidik KPK.
Sehari sebelumnya, KPK menetapkan Ben dan Ary sebagai tersangka. Pasangan suami istri itu diduga melakukan korupsi untuk mendanai kontestasi di pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan legislatif, membayar lembaga survei nasional, dan membiayai kebutuhan hidup.
Kedua tersangka diduga melanggar Pasal 12 Huruf f dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tersangka bisa dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Selain itu, bisa dipidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 250 juta.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, Ben diduga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemerintah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Ben juga menerima uang dari beberapa pihak swasta terkait dengan pemberian izin lokasi perkebunan di Kabupaten Kapuas (Kompas, 29/3/2023).
Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB (Ben) dan AE (Ary) sejauh ini sekitar Rp 8,7 miliar yang dimanfaatkan untuk membayar dua lembaga survei nasional.
Sementara itu, Ary diduga turut ikut campur dalam proses pemerintahan, seperti memerintahkan beberapa kepala SKPD untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam bentuk pemberian uang dan barang mewah. Fasilitas dan uang yang diterima keduanya digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional Ben mengikuti pemilihan bupati Kapuas dan pemilihan gubernur Kalimantan Tengah tahun 2020.
”Ini juga termasuk untuk keikutsertaan Ary dalam pemilihan anggota DPR RI tahun 2019. Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB (Ben) dan AE (Ary) sejauh ini sekitar Rp 8,7 miliar yang dimanfaatkan untuk membayar dua lembaga survei nasional,” tutur Johanis.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak (tengah) memimpin ekspose penahanan Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat bersama istrinya yang merupakan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Mengenai status Ary, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Hermawi Taslim mengatakan, partai menghormati proses hukum yang dijalankan oleh KPK terhadap Ary.
Terkait Ben, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan akan memonitor kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ben. ”Nanti saya monitor dulu,” ucapnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa.
Akan tetapi, saat dikonfirmasi kepada Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, ia menyatakan bahwa Ben bukan kader Golkar.
Menurut Ketua Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada Totok Dwi Diantoro, perilaku korupsi untuk menghimpun kekuatan politik seolah sudah menjadi tradisi. Kondisi ini akibat dari politik pragmatis sehingga kader partai cenderung melegalisasi berbagai cara untuk menggapai kekuasaan.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat bersama istrinya yang merupakan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, diangkut mobil tahanan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Para kader partai tampaknya selalu mencari cara untuk berkorupsi demi kelangsungan partai. Hal ini, jika terjadi di tingkat daerah, akan sulit untuk diawasi dan semakin liar. Di sisi lain, partai politik masih mengandalkan pemenuhan finansial dari kadernya.
”Dalam konteks partai, kehadiran negara diharapkan dapat menopang biaya kegiatan partai. Ini untuk menghindari praktik pembiayaan pribadi yang berujung kekacauan,” ujarnya.
Selama ini menurut dia, partai dituntut untuk menjalankan perannya sebagai instrumen demokrasi. Namun, mereka tidak dibayar untuk mengaktualisasi peran partai. Hal ini, kata Totok, tidak logis. Negara seharusnya mendukung dari segi sumber daya.
Untuk diketahui, KPK pernah mengusulkan agar bantuan keuangan partai politik yang saat ini sebesar Rp 1.000 per suara untuk ditingkatkan menjadi Rp 8.500 per suara. Kenaikan ini merupakan upaya untuk mencegah korupsi yang selama ini kerap melibatkan kader partai di eksekutif ataupun legislatif.