Dari ”Buya Hamka” ke ”Dilan”, Kisah Para Presiden-Wapres ”Nonton” Film
Di tengah kesibukan, menonton film salah satu opsi hiburan presiden-wapres. Dimulai dari era Presiden Soekarno hingga kini, Wapres Ma’ruf Amin menjadi salah satu wapres yang juga kerap menonton film.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ibu Wury Maruf Amin saat menghadiri pemutaran perdana film Buya Hamka besutan sutradara Fajar Bustomi di Studio II Epicentrum XXI, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2023).
Suasana studio II Epicentrum XXI di Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2023), terlihat remang. Pemandangan khas bioskop. Namun, terasa suasana beda, bernuansa protokoler, ketika terlihat Pasukan Pengamanan Presiden menjaga mulai luar gedung hingga di dalam ruang studio.
Di deretan kursi agak belakang, pada posisi lebih tinggi dibanding kursi di deretan depan, terlihat Wakil Presiden Ma’ruf Amin didampingi Ibu Wury Ma’ruf Amin duduk untuk menyimak pemutaran perdana film berjudul Buya Hamka. Sebelum film yang disutradarai Fajar Bustomi tersebut diputar, produser Chand Parwez Servia pun menyampaikan sepatah dua patah kata pengantar.
”Saya ingin berbagi cerita sedikit. Jadi, pada 2014, Ketua MUI-nya masih Bang Din Syamsuddin, saya ditawarkan, apakah berminat membuat film Buya Hamka,” kata Parwez yang berdiri di bawah layar lebar studio menghadap ke deretan kursi yang diduduki Wapres Amin.
Suasana jelang pemutaran perdana film Buya Hamka besutan sutradara Fajar Bustomi di Studio II Epicentrum XXI, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2023). Acara tersebut dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Ibu Wury Ma’ruf Amin.
Parwez pun mengungkapkan kekagumannya terhadap sosok Buya Hamka sebagai seorang kiai, sastrawan, dan figur luar biasa yang nasionalis. Singkat kata, dia pun mengisahkan proses panjang produksi, termasuk melintasi masa pandemi Covid-19. Dan, film Buya Hamka yang merupakan bagian pertama dari tiga episode yang direncanakan pun diantarkan untuk dapat diedarkan dan disaksikan masyarakat luas pada Lebaran 2023.
Menurut Parwez, film-film seperti ini semestinya kian banyak dibuat. ”Kisah-kisah yang menunjukkan Islam rahmatan lil alamin (rahmat bagi semesta alam) ini sangat penting untuk dibuat,” katanya.
Hal ini pun disandingkan dengan fenomena maraknya film bertema horor. Dia sampaikan adanya pandangan bahwa tempat yang paling seram di dunia sekarang ini adanya di bioskop-bioskop di Indonesia. ”Isinya horor semua,” kata Parwez disambut tawa pelan hadirin.
Parwez mengharapkan film seperti Buya Hamka memberikan pencerahan. Film tersebut diharapkan menjadi sebuah ilustrasi yang baik dan mempunyai nilai-nilai positif.
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Wakil Presiden Ma’ruf Amin seusai menghadiri pemutaran perdana film Buya Hamka besutan sutradara Fajar Bustomi di Studio II Epicentrum XXI, Jalan HR Rasuna Said, Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (21/3/2023).
Suri teladan
Saat memberikan keterangan pers seusai menyaksikan film tersebut, Wapres Amin menuturkan, Buya Hamka adalah seorang tokoh ulama yang patut menjadi suri teladan karena memiliki keahlian lengkap.
”Saya kira (Buya Hamka) seorang tokoh yang patut kita jadikan teladan, baik sebagai tokoh ulama maupun sebagai seorang pejuang bangsa dan juga sebagai sastrawan yang banyak menulis buku-buku roman,” kata Wapres Amin.
Saya kira (Buya Hamka) seorang tokoh yang patut kita jadikan teladan, baik sebagai tokoh ulama maupun sebagai seorang pejuang bangsa dan juga sebagai sastrawan yang banyak menulis buku-buku roman.
Wapres pun mengapresiasi film beserta semua pihak yang terlibat di dalamnya. ”Menurut saya, jalan cerita dan pemain-pemainnya sangat bagus, bisa menggambarkan dan memberikan inspirasi bagi kita semua,” katanya.
Pada kesempatan tersebut, Wapres Amin juga mengungkapkan, pembuatan film Buya Hamka telah dimulai saat dirinya masih menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). ”Pembicaraan-pembicaraan tentang pembuatan film ini ketika itu saya (masih) menjadi Ketua Umum MUI dan sering berdiskusi tentang rencana pembuatan film ini tahun 2015,” katanya.
Terakhir, Wapres mengimbau kepada masyarakat, khususnya generasi muda, menonton film Buya Hamka yang menurut dia sangat menarik dan inspiratif. ”Anjuran saya supaya masyarakat menonton film ini karena banyak pelajaran dan hal-hal yang bisa dijadikan teladan dan bisa memberi inspirasi kepada kita semua,” katanya.
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Pemeran utama film Dilan: 1990 dan Dilan: 1991, Iqbal Ramadhan, menyapa penggemar di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/2/2019).
Dari presiden ke presiden
Bukan hanya Wapres Amin, para presiden dan wapres lainnya yang berada di tampuk pemerintahan negeri ini pun tak asing dengan aktivitas nonton film. Presiden Joko Widodo, misalnya, pada Februari 2018 menonton film Dilan 1990, sebuah film yang diangkat dari novel karya Pidi Baiq. Tentu banyak orang masih ingat dengan kutipan manis bernada rayuan dari Dilan, ”Jangan rindu. Berat. Kamu enggak akan kuat. Biar aku saja.”
Demikian pula Wapres Jusuf Kalla pada periodenya yang kedua bersama Presiden Jokowi memodali film tentang kisah ibunya, Athirah, pada 2016. Film itu kemudian menyabet piala FFI 2016 sebagai film terbaik.
Presiden Jokowi memang suka menonton film. Selain film komedi Dono, Kasino, Indro, Presiden juga menyukai film komedi karya Raditya (Dika) Cinta Brontosaurus, Manusis Setengah Salmon. Ia memiliki pandangan terkait film yang menarik banyak orang menonton. ”Industri kreatif kita ini berkembang dengan baik. Peluang-peluang yang ada bisa digunakan dengan baik, salah satunya adalah film,” kata Presiden Jokowi saat itu seusai menyaksikan film Dilan 1990.
Industri kreatif kita ini berkembang dengan baik. Peluang-peluang yang ada bisa digunakan dengan baik, salah satunya adalah film. (Presiden Jokowi)
Setahun berselang, entah berhubungan atau sebatas koinsidensi, istilah Dilan pun disebut-sebut pada debat sesi keempat calon presiden (capres) Pemilu 2019. Saat itu, capres nomor urut 01, Joko Widodo, menyebutkan istilah Dilan yang merupakan akronim dari Digital Melayani.
Popularitas Dilan, baik di novel maupun di film, menjadikan istilah tersebut tidak terasa muncul tiba-tiba. Jutaan orang di Indonesia dimungkinkan telah mendengarnya. Sebuah pesan kiranya akan mudah tersampaikan ke sekian banyak orang ketika menunggang atensi dari sekian banyak orang tersebut.
”Aku mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan tokoh-tokoh yang kupuja itu di dinding. Aku menjaga koleksi ini dengan nyawaku. Ini adalah harta pertamaku yang sebenarnya. ”
Presiden pertama RI Soekarno atau Bung Karno pun dikenal menyukai kesenian, termasuk film. Bahkan, seperti dituturkannya dalam buku berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, hal ini telah dirasakannya sejak umur tujuh tahun. Bung Karno kecil pun mengumpulkan foto bintang film, yang merupakan hadiah, di setiap bungkus rokok Westminster keluaran Inggris.
”Aku mengumpulkan bungkus-bungkus rokok yang sudah terbuang dan menempelkan tokoh-tokoh yang kupuja itu di dinding. Aku menjaga koleksi ini dengan nyawaku. Ini adalah harta pertamaku yang sebenarnya,” kata Bung Karno dalam otobiografi yang dituturkan kepada Cindy Adams tersebut.
Tak sekadar menikmati film, sikap kritis Bung Karno di masa dewasa pun muncul ketika dia merasa ada substansi sebuah film yang tidak sesuai dengan pandangannya. Hal ini terjadi ketika Bung Karno mengomentari film berjudul Broken Arrow, sebuah film yang mengisahkan kisah cinta seorang gadis Indian dengan perwira Amerika.
”Kenapa gadis Indian itu harus mati di akhir cerita? Kenapa mereka tidak dijadikan sepasang merpati yang berbahagia?” tanya Bung Karno kepada Eric Johnson, pemimpin perusahaan film Amerika.
Johnson menjawab, ”Bisnis film adalah bisnis untuk mencari uang. Orang-orang yang berasal dari bagian selatan akan memboikot film ini bila orang kulit putih dan gadis kulit coklat akhirnya hidup bahagia di masyarakat.”
Bung Karno pun menyuarakan pandangannya bahwa film seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan solidaritas antarbangsa di dunia, bukan untuk menghancurkannya. Ah, pesan bahwa film sejatinya bukan sekadar tontonan, melainkan juga tuntunan kiranya telah pula diingatkan oleh presiden pertama Indonesia.
Kegemaran Bung Karno menonton film di belakang Istana Negara, Jakarta, juga dilanjutkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputeri. Gedung di belakang Istana Negara, yang kini digunakan sebagai ruang wartawan, adalah ruang bioskop, tempat Presiden Soekarno dan keluarga menonton film. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ruang bioskop itu dibongkar dan dijakan ruang pers atau wartawan berkumpul jika menanti acara Presiden.