Satu hingga dua tahun sebelum pemilu merupakan fase bagi partai politik mengumpulkan modal. Masyarakat perlu mengawal ini agar tidak terjadi korupsi politik dan penyelewengan kekuasaan.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·2 menit baca
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Ketua KPU DKI Jakarta Betty Epsilon Idroos (ketiga dari kanan) dan Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo (kedua dari kanan) menandatangani kerja sama penyelenggaraan Sekolah Anti Korupsi, di Jakarta, Rabu (4/3/2020). Kegiatan ini bertujuan agar penyelenggara pemilu dapat terbebas dari perilaku koruptif.
JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan terhadap aliran dana kampanye di pemilu yang tidak menyeluruh berimplikasi pada rentannya praktik penyelewengan hingga korupsi. Perlu ada peran masyarakat sipil untuk mengawal penggunaan dana itu mengingat Pemilihan Umum 2024 tinggal setahun lagi.
Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam, Sabtu (18/3/2023), menilai, ketiadaan syarat bagi partai politik (parpol) dan calon anggota legislatif untuk melaporkan harta kekayaan rentan menyebabkan terjadinya penyelewengan publik dan praktik korupsi. Selama ini, sumber dana parpol tidak dilihat secara keseluruhan dan hanya dilihat dari penggunaan dana kampanye.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”UU Pemilu dan Partai Politik memang bicara tentang akuntabilitas, tetapi siapa yang bisa memastikan hal ini. Dalam setiap verifikasi parpol pemilu tidak menyasar pada penggunaan dana di luar kampanye,” ujar Roy saat dihubungi dari Jakarta.
Penggunaan dana program pemerintah pada tahun-tahun sebelum pemilu juga rentan diselewengkan untuk kegiatan yang mengarah pada pemilu. Bentuknya bisa pencitraan anggota legislatif di daerah pemilihannya.
”Belum ada pengawas pemilu yang sampai mengawasi program pemerintah, seperti bantuan sosial, hibah, dana keuangan, setahun sebelum pemilu. Hal ini tidak diatur. Kewenangan dan kapasitas lembaga pengawas pemilu kita sempit,” tuturnya.
Suasana acara Dialog Kebangsaan Bersama Partai Politik dalam Rangka Persiapan Pemilu Tahun 2024, di Hotel The St Regis, Jakarta, Senin (13/3/2023). Dalam acara ini, Wakil Presiden Maruf Amin turut hadir untuk memberikan sambutan. Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan 24 partai politik peserta Pemilu 2024 juga menandatangani kesepakatan bersama untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan bebas dari kekerasan.
Padahal, lanjutnya, ada kecenderungan dari parpol dan kandidat petahana (incumbent) yang ingin mencalonkan diri kembali sebagai anggota legislatif menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan pemilu.
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur mengenai dana kampanye, tetapi UU ini tidak menjadikan laporan harta kekayaan pribadi (LHKP) sebagai syarat pendaftaran calon legislatif, yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Hanya calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang memiliki kewajiban menyampaikan LHKP kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tiadanya kewajiban melaporkan harta kekayaan itu berdampak negatif. Sebab, caleg petahanabisa saja menggunakan uang publik untuk kepentingan parpol sebagai sumber ilegal. Sumber ilegal ini merupakan kesepakatan politik yang diperoleh dari usaha, investasi, serta transaksi proyek-proyek pemerintah.
Tiadanya kewajiban melaporkan harta kekayaan itu berdampak negatif. Sebab, caleg petahanabisa saja menggunakan uang publik untuk kepentingan parpol sebagai sumber ilegal.
”Kesepakatan-kesepakatan politik ini harus dikembalikan saat kandidat tersebut terpilih. Dapat diprediksi, kebijakan yang dihasilkan tidak akan jauh dari kesepakatan politik sebelum pemilu yang mempengaruhi akuntabilitas pemerintah,” ucapnya.
Menurut Roy, pemilu yang bersih sejalan dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Seleksi pemimpin yang bersih dan berintegritas sangat dipengaruhi proses politiknya. ”Ketika kontestasi politik dimulai dengan proses pembiayaan politik yang ilegal, maka akan mencederai pemilu. Saat kandidat tersebut terpilih, ia akan menghasilkan kebijakan yang mengancam akuntabilitas dan pemerintahan yang tidak bersih,” paparnya.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana menyampaikan materi saat sosialisasi penerapan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) di Kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Jakarta, Jumat (16/4/2021). Sosialisasi ini diharapkan bisa membuat partai politik menjadi bagian dari agenda pemberantasan korupsi. Sebelumnya KPK juga melakukan kegiata serupa ke PDI Perjuangan, PPP, Gerindra, dan PKS.
Saatnya mengawal
Pengajar di Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, pun menyampaikan bahwa tahun ini merupakan momen yang tepat untuk mengawal akuntabilitas dana kampanye. Menurut dia, perputaran uang sudah terjadi 1-2 tahun menjelang pelaksanaan pemilu. Pada momen ini, calon anggota pemilu, baik parpol maupun caleg, mengumpulkan kapital atau modal untuk Pemilu 2024.
“Setelah itu, tahun ketiga dan keempat merupakan momen pengembalian modal dan tahun kelima untuk mereka sendiri. Tren kasus-kasus korupsi di daerah terjadi pada tahun pertama dan kedua pascapemilu,” ujar Mada.
Sebelumnya, Ketua Kelompok Hubungan Masyarakat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Natsir Kongah memerinci, sebanyak Rp 45 triliun dana terindikasi sebagai hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sebagian dana ini mengalir ke sejumlah politikus dan diduga digunakan untuk membiayai pemenangan di Pemilu 2019 dan Pemilu 2024. Pola-pola ini kerap terjadi pada setiap periode pemilu.
Menurut Mada, masyarakat bisa mengawal aliran dana publik ke politikus dari laporan PPATK ini. Namun, butuh tindak lanjut atas laporan ini. ”Tantangannya memang akses informasi. Peran PPATK strategis karena mereka bisa melacak aliran dana ini dari hulu hingga hilir. Selain itu penggunaan dana pemilu perlu dikawal oleh Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan KPK serta masyarakat sipil,” tutur Mada.
Dalam beberapa laporan, korupsi politik terjadi ketika biaya politik tinggi. Biaya ini tidak terepresentasikan pada laporan formal. ”Hulunya untuk mengawal aliran uang di pemilu, ya, sekarang. Laporan dana kampanye secara formal itu satu hal, tetapi banyak juga perputaran uang yang tidak terlapor,” kata Mada.