Pemikiran Cak Nur, Gus Dur, maupun Buya Syafii menjadi panutan dalam menjaga nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Ketiganya selalu menggaungkan kebinekaan dalam konteks kebangsaan dan juga demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana acara Refleksi Kebangsaan yang diadakan oleh Sumbu Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sumbu Kebangsaan adalah sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Acara tersebut berusaha menggali kembali pemikiran kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif yang menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Pemikiran tiga cendekiawan Muslim, yaitu Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Buya Syafii Maarif, terus relevan untuk menghadapi tantangan bangsa di hari ini. Keugaharian hidup dan kemuliaan berpikir yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara penting untuk diteladani generasi muda.
Semangat ini yang ingin diperkenalkan dan disebarluaskan oleh Sumbu Kebangsaan, sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society (NCMS), Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Hal itu disampaikan Sumbu Kebangsaan saat menggelar diskusi publik bertema ”Spirit Guru Bangsa: Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii, dalam Aspek Bernegara Masa Kini,” Sabtu (18/3/2023), di Jakarta.
Sebelum acara puncak diskusi ini digelar, serangkaian diskusi telah diadakan terlebih dahulu oleh kelompok anak muda. Diskusi itu terdiri delapan tema, yaitu mahasiswa dan anak muda; politik gagasan, teladan dari guru bangsa; energi dan mineral; intelektual; pendidikan dan teknologi; tokoh agama; pembangunan berkelanjutan; dan kedokteran. Delapan tema bincang-bincang itu juga melahirkan rekomendasi kebangsaan dari anak-anak muda.
Omi Komaria Nurcholis Madjid, istri Nurcholis Madjid ini, mengatakan, diskusi ini digelar bukan untuk mengultuskan tiga guru bangsa yang telah tiada, yakni Nurcholis Madjid yang biasa disapa Cak Nur, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii. Namun, justru dihadirkan agar generasi muda mengenal sosok mereka. Setelah mengenal, mereka bisa meneladani semangat juang, nilai-nilai, kesederhanaan, dan dedikasi ketiganya dalam membangun kehidupan bangsa dan negara.
”Generasi muda yang belum pernah bertemu Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii Maarif agar memiliki sedikit pengalaman melalui rangkaian acara ini,” ungkapnya.
Istri almarhum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, Omi Komaria, memberikan testimoninya dalam forum Refleksi Kebangsaan yang diadakan oleh Sumbu Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sumbu Kebangsaan adalah sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Acara tersebut berusaha menggali kembali pemikiran kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif yang menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Indonesia.
Omi pun menceritakan kenangan-kenangan bersama suaminya, yang menurut dia bisa menginspirasi anak muda. Salah satunya adalah saat Cak Nur mendapatkan tawaran untuk mengajar di universitas bergengsi di Amerika Serikat.
Saat itu, ia sudah senang karena ada harapan kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan mengajar di Indonesia. Di AS, Cak Nur hanya akan mengajar tiga kali dalam seminggu. Sisanya, bisa digunakan untuk menuangkan ide dan gagasan melalui tulisan. Namun, tawaran menggiurkan itu ditolak. Cak Nur memilih tetap di Indonesia. Dia juga meyakinkan Omi bahwa pilihannya itu yang terbaik.
Cak Nur dan Gus Dur berdiskusi dan sesekali tertawa lepas. Salah satu yang dibicarakan tentang semangat untuk mengembalikan Nahdlatul Ulama (NU) kepada khitah nya.
”Rakyat perlu kita, Ma. Kalau kita hanya mementingkan kepentingan sendiri, berarti kita egois. Jangan pada saat bangsa butuh untuk ditemani, kita malah bersenang-senang di luar negeri,” tutur Omi menirukan perkataan Cak Nur.
Omi juga sempat menceritakan kedekatan Cak Nur dengan Gus Dur. Gus Dur disebutnya pernah menginap di apartemen mereka di Chicago, saat Cak Nur tinggal di sana. Pada pertemuan itu, Cak Nur dan Gus Dur berdiskusi dan sesekali tertawa lepas. Salah satu yang dibicarakan tentang semangat untuk mengembalikan Nahdlatul Ulama (NU) kepada khitahnya.
Istri almarhum cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, Omi Komaria, memberikan testimoninya dalam forum Refleksi Kebangsaan yang diadakan oleh Sumbu Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sumbu Kebangsaan adalah sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Acara tersebut berusaha menggali kembali pemikiran kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif yang menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Indonesia.
Adapun relasi Cak Nur dengan Buya Syafii Maarif juga sudah seperti saudara sendiri. Cak Nur selalu senang berdiskusi dengan Buya yang gaya bicaranya berapi-api. Buya selalu bersemangat ketika menyampaikan perjuangan untuk bangsa dan negara. ”Ketiga tokoh ini telah menyumbangkan pemikiran, dan teladan terutama untuk mewujudkan wajah Islam Indonesia yang inklusif dan toleran,” imbuhnya.
Musdah Mulia dari Mulia Raya Foundation juga menceritakan pengalamannya saat masih menjabat sebagai Ketua Umum Fatayat NU. Saat itu, dia sering bersama-sama dengan Gus Dur melakukan kunjungan ke luar kota.
Menurut dia, Gus Dur paling senang berkunjung ke pesantren. Sebab, menurut Gus Dur pesantren adalah napas kehidupan umat Islam di Indonesia. Pada saat kunjungan itu, Gus Dur juga kerap diberi amplop. Tanpa dibuka, amplop kerap dia berikan kepada kiai sepuh yang dia temui selama kunjungan.
”Saya kerap bertanya, kenapa amplopnya belum dibuka sudah diberikan ke orang lain, Gus? Namun, Gus Dur hanya tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa. Ini yang sampai sekarang belum bisa saya tiru,” katanya.
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Amin Abdullah memberikan pandangannya dalam forum Refleksi Kebangsaan yang digelar Sumbu Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sumbu Kebangsaan adalah sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Acara tersebut berusaha menggali kembali pemikiran kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif yang menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Indonesia.
Referensi moral
Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Amin Abdullah mengatakan, merawat pemikiran ketiga tokoh itu melalui Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute adalah langkah yang tepat. Sebab, ketiganya merupakan simpul-simpul masyarakat sipil yang masih banyak didengarkan. Ini merupakan langkah strategis untuk mewariskan pemikiran dan teladan dari ketiga tokoh tersebut.
”Spirit Cak Nur, Gus Dur, dan Buya Syafii Maarif itu artinya besar sekali. Ada referensi moral, kesederhanaan untuk mengatasi tantangan bangsa saat ini. Miris di saat masih ada fenomena kemiskinan ekstrem, malah banyak pejabat bergaya hidup hedonis,” tuturnya.
Mereka selalu menggaungkan toleransi dan kebinekaan dalam konteks kebangsaan.
Ketiganya juga bisa menjadi panutan dalam hal nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Mereka selalu menggaungkan toleransi dan kebinekaan dalam konteks kebangsaan. Adapun dalam konteks kenegaraan, mereka juga memperjuangkan demokrasi, pluralitas, dan inklusivitas.
”Warisan yang ditinggalkan ketiganya, bisa menjadi modal sosial dan modal kultural bangsa ini ke depan," tegasnya.
Anggota Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society, Yudi Latif, memberikan ceramah dalam forum Refleksi Kebangsaan yang diadakan oleh Sumbu Kebangsaan di Jakarta, Sabtu (18/3/2023). Sumbu Kebangsaan adalah sebuah wadah inisiatif bersama Nurcholish Madjid Society, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute. Acara tersebut berusaha menggali kembali pemikiran kebangsaan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid, dan Syafii Maarif yang menjadi salah satu pemikir Islam paling berpengaruh di Indonesia.
Anggota Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society, Yudi Latif, menambahkan, ketiga tokoh tersebut adalah sosok manusia ide dan manusia etik. Hal itu menjadi dasar eksistensi dan kemuliaan manusia. Manusia akan meninggalkan warisan baik bagi generasi sebelumnya jika mereka memiliki visi-misi, ide, dan etika. Artinya, eksistensi manusia tidak hanya mengikuti logika alam, tetapi juga etika yang dijunjung tinggi dalam kehidupan.
”Dengan itu kehidupan manusia bisa menjadi lebih berarti karena bisa melayani banyak orang,” katanya.
Baik Cak Nur, Gus Dur, maupun Buya Syafii Maarif selalu menunjukkan laku kehidupan penuh keugaharian. Hingga akhir hayatnya, Buya Syafii masih kerap mengendarai sepeda ontel dan tak gengsi menggunakan angkutan umum. Ini bisa menjadi contoh bagi generasi muda dalam membangun dan mempertahankan integritasnya.
Yudi juga menyebut bahwa kemampuan nalar dan etika sedang dalam titik tergawat di negeri ini. Menurut dia, politik di negeri ini dibangun tanpa nalar dan keadaban. Akhirnya, yang terjadi adalah banyak aturan dibuat, tetapi pelanggaran masih banyak terjadi. Misalnya, berbagai aturan dibuat untuk mencegah korupsi, tetapi korupsi masih merajalela.
”Negara berdiri di atas samudera etika, melalui hukum dan penegakan hukum. Di dalam negara demokrasi, semakin minus adab, semakin banyak hukum diproduksi, tetapi gagal untuk mengatasi persoalan,” tegasnya.