Presiden Tidak Setuju Hakim Konstitusi Dikenai Tindakan Kepolisian
Presiden sebelumnya diminta mengeluarkan persetujuan tertulis kepada Jaksa Agung untuk memerintahkan kepolisian melakukan tindakan pada hakim konstitusi terkait dugaan pemalsuan surat yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Sembilan hakim konstitusi berfoto bersama setelah rapat pleno pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi periode 2023-2028 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (15/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo menolak memberi izin pemeriksaan hakim konstitusi dan tindakan lain oleh penyidik kepolisian dalam kasus dugaan tindak pidana pemalsuan terkait pengubahan substansi putusan nomor 103/PUU-XX/2022. Alasan yang dikemukakan Presiden adalah kasus itu sudah ditangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Hal itu terungkap dalam surat Menteri Sekretaris Negara Pratikno tertanggal 15 Maret 2023 yang ditujukan kepada Viktor Santoso Tandiasa, kuasa hukum dari Zico Leonard Djagardo Simanjutak selaku pemohon uji materi perkara nomor 103 tahun 2022.
Sebelumnya, Viktor meminta Presiden melakukan tindakan administratif pemerintahan berupa mengeluarkan persetujuan tertulis kepada Jaksa Agung untuk memerintahkan kepolisian melakukan tindakan terhadap hakim konstitusi terkait dugaan pemalsuan surat yang terjadi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemalsuan surat yang dimaksud adalah perubahan substansi putusan dan risalah sidang perkara nomor 103/2022. Adapun tindakan kepolisian dimaksud adalah pemanggilan untuk meminta keterangan, penyitaan, penggeledahan, hingga penangkapan dan penahanan.
Jawaban Menteri Sekretaris Negara Pratikno atas permintaan agar Presiden mengeluarkan persetujuan dilakukannya tindakan kepolisian terhadap hakim konstitusi dalam kasus dugaan pemalsuan surat terkait dengan perubahan substansi putusan 103/PUU-XX/2022.
Mengacu pada Pasal 6 Ayat 3 Undang-Undang MK, hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Persetujuan tertulis hanya dikecualikan jika hakim konstitusi tertangkap tangan atau berdasar permulaan yang cukup disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, atau tindak pidana khusus.
Seperti diberitakan sebelumnya, Zico Leonard telah melaporkan sembilan hakim konstitusi ke Polda Metro Jaya atas dugaan pemalsuan surat/dokumen putusan dan risalah sidang. Penyidik telah meminta keterangan dari sejumlah pihak, seperti pelapor, Panitera MK Muhidin, Pelaksana Tugas Sekretaris Jenderal MK Heru Setiawan, serta ahli Bivitri Susanti dan Feri Amsari.
Atas permintaan Viktor itu, dalam surat dari Pratikno tertulis bahwa permohonan tidak dapat ditindaklanjuti karena saat ini Majelis Kehormatan MK tengah melakukan pemeriksaan internal terhadap hakim konstitusi dan panitera yang berkaitan dengan perkara dimaksud.
Zico menyayangkan sikap Presiden. Menurut dia, pelaporan pidana dan proses etik yang tengah berjalan di MK adalah dua hal yang berbeda dan tak saling berhubungan. Meskipun demikian, ia mengapresiasi surat jawaban dari Mensesneg tersebut.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menunjukkan salinan Keppres Nomor 114/P Tahun 2022 kepada wartawan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Zico memberikan bukti baru terkait dugaan pengubahan substansi putusan MK berupa surat pemberhentian dengan hormat Hakim Konstitusi Aswanto yang tertuang dalam Keppres Nomor 114/P Tahun 2022.
”Jarang-jarang surat dibalas Presiden. Tetapi, balasannya pun membingungkan. Sebab, proses pemeriksaan pidana (di polisi) dan etik adalah dua upaya hukum yang berbeda sehingga Presiden tidak tepat beralasan pidana tidak jalan karena etik sedang jalan,” kata Zico.
Menurut rencana, Majelis Kehormatan MK akan membacakan putusannya pada Senin, 20 Maret 2023.
Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti meyakini perubahan frasa dalam putusan bukan kesalahan teknis.
”Apa pun alasannya, pengubahan putusan itu sudah harus dikualifikasikan sebagai pelanggaran etik. Pembuktian dalam pemeriksaan akan menunjukkan pelanggaran tersebut masuk kategori ringan, sedang, atau berat. Majelis Kehormatan MK perlu memutus kasus ini secara imparsial dan berintegritas,” ujarnya.