”Sextortion”, Praktik Korupsi yang Belum Jadi Kewaspadaan Bersama
”Sextortion” atau penyelewengan kekuasaan dengan pemerasan seksual pada pelayanan publik belum cukup dikenal dan diatur dalam regulasi. Padahal, Indonesia adalah negara dengan tingkat ”sextortion” lumayan tinggi di Asia.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
AYU NURFAIZAH UNTUK KOMPAS
Pembicara diskusi Sextortion dan Korupsi di Sekitar Kita yang diselenggarakan Tranparency International Indonesia di Melawai, Kebayoran Baru, Jakata Selatan, Sabtu (11/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Global Corruption Barometer 2020 menunjukkan, Indonesia berada di tingkat pertama kasus sextortion atau pemerasan seksual dalam pelayanan publik. Sextortion merupakan korupsi karena termasuk tindakan penyelewengan kekuasaan.
Hingga kini, belum ada regulasi khusus yang mengatur sextortion. Hal ini dapat diatasi jika ada penguatan pada mekanisme pelaporan lembaga publik.
Peneliti Tranparency International Indonesia (TII), Izza Akbarani, Sabtu (11/3/2023), menjelaskan, konsep sextortion merupakan penyelewengan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan seksual. Dalam pelayanan publik, pemerasan seksual merupakan bentuk korupsi karena menyalahgunakan wewenang untuk keuntungan pribadi. Istilah sextortion ini belum banyak dikenal masyarakat Indonesia dan pejabat publik, padahal praktik ini sering terjadi.
Berdasarkan Global Corruption Barometer tahun 2020, Indonesia merupakan negara dengan tingkat sextortion tertinggi di Asia, yaitu 18 persen. Dari 1.000 orang yang disurvei, 18 persen di antaranya pernah mengalami langsung atau mengenal seseorang yang mengalami sextortion. Tingkat ini dua kali lipat lebih tinggi dari rata-rata negara Asia yang berada di kisaran 8 persen.
TII mencatat telah terjadi beberapa tindakan sextortion oleh aparat negara yang diberitakan media dalam 10 tahun terakhir. Salah satunya yang terjadi pada 2016 di Malang, Jawa Timur, sextortion dilakukan oleh dua anggota polisi dengan melakukan pemerasan seksual kepada dua siswi sekolah menengah kejuruan. Kasus lain, pada 2021, seorang polisi di Kutalimabaru, Sumatera Utara, juga memeras dan melakukan kekerasan seksual kepada istri tersangka narkoba.
”Fenomena sextortion di Indonesia seperti gunung es, bisa jadi jumlahnya lebih besar dari ini. Perempuan merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalaminya meskipun laki-laki juga bisa,” kata Izza dalam diskusi ”Sextortion dan Korupsi di Sekitar Kita” yang diselenggarakan oleh TII di Melawai, Jakarta Selatan.
Menurut Izza, selama ini masyarakat hanya melihat korupsi sebagai penyelewengan wewenang pada materi, seperti uang dan properti. Padahal, kepuasan seksual yang diminta oleh pelaku dari korban tanpa konsensus juga merupakan bentuk korupsi, khususnya yang dilakukan pejabat negara.
Setidaknya terdapat tiga syarat yang menentukan kasus kekerasan seksual memiliki unsur korupsi dan digolongkan sebagai sextortion. Syarat tersebut meliputi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, quid pro quo atau tuntutan aktivitas seksual dengan imbalan seperti jabatan atau wewenang, serta pemaksaan psikologis oleh pelaku.
”Bagi korban, sextortion berdampak pada trauma, pengucilan, perundungan, hingga dapat berpengaruh ke karier, seperti tidak bisa naik jabatan ataupun diputus hubungan kerja. Bagi pelaku aparat publik yang melakukan sextortion, integritas lembaganya menjadi buruk, bahkan nol integritas kalau melakukan korupsi (yang demikian),” papar Izza.
Bagi korban,sextortion berdampak pada trauma, pengucilan, perundungan, hingga dapat berpengaruh ke karier, seperti tidak bisa naik jabatan.
Belum diatur
Hingga saat ini, belum ada regulasi yang spesifik mengatur sextortion di Indonesia. Izza mengatakan, delik eksploitasi seksual bisa digunakan dari Undang-Undang Tindak Pidana Seksual (UU TPKS). Namun, pada UU TPKS ini pun tidak mengatur sextortion secara khusus.
Serupa dengan Izza, Koordinator Tim Asistensi Pembaruan Peradilan Mahkamah Agung Astriyani menilai, belum ada delik mengenai sextortion pada perundang-undangan di Indonesia. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), kewenangan pengadilan tipikor adalah menangani perkara korupsi yang dapat dinilai dengan materi. Konsekuensinya, banyak tindak pidana lain yang terjadi bersamaan dengan perkara korupsi, tetapi tidak bisa dibawa ke pengadilan tipikor.
”Membawa sextortion ke ranah pidana di Indonesia tantangannya cukup besar. Tindakan sextortion itu sulit dibuktikan karena kasusnya spesifik. Namun, jika ada peraturan yang mengatur, harusnya ancaman pidananya lebih berat karena, selain pembuktiannya tidak mudah, tindakan itu telah mencederai integritas institusi negara,” tuturnya.
Unjuk rasa di Kantor Polisi Resor Kota Banda Aceh, Kamis (24/4/2014). Gerakan ini terdiri dari ibu-ibu, perempuan remaja, dan laki-laki remaja menuntut aparat penegak hukum mengusut tuntas dan tegas tanpa pandang bulu kepada setiap pelaku kekerasan seksual. Unjuk rasa ini sekaligus menindaklanjuti kasus pencabulan yang dilakukan personel Kepolisian Daerah Aceh, Brigadir M (33), kepada paling tidak lima siswi di Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Para korban pencabulan ini mengalami trauma psikologis, seperti takut keluar rumah dan tidak mau sekolah.
Berangkat dari hal ini, Astriyani menilai, peran sistem pengaduan, whistle blower, dan aturan kode etik yang dimiliki lembaga negara menjadi krusial. Menurut dia, sudah banyak lembaga negara di Indonesia punya mekanisme ini, tetapi belum tentu sistemnya telah aman dan melindungi hak-hak pengadu.
”Penyelesaian masalah ini perlu dipikirkan dengan upaya terstruktur dan mendorongnya sebagai tanggung jawab negara. Selain edukasi ke masyarakat, perlu juga pemahaman mengenai sextortion bagi penyelenggara negara. Hal ini karena masih minimnya pemahaman aparat negara terkait tindak pidana dan pelanggaran etik yang ramah jender,” papar Astriyani.