Nilai Ada Kejanggalan, Masyarakat Sipil Akan Laporkan Tiga Hakim PN Jakarta Pusat ke KY
Berdasarkan catatan Themis Indonesia, sepanjang 2018-2022, sebanyak 17 kasus perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan ke PN Jakarta Pusat tidak dikabulkan. Karena itu, putusan kabul atas gugatan ke KPU dinilai aneh.
Oleh
Ayu Nurfaizah
·3 menit baca
KOMPAS
Tahapan Pemilu 2024 Jalan Terus, PN Jakpus Dinilai Tak Punya Wewenang Atas KPU.
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat menilai ada kejanggalan dari putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum atau KPU. Mereka menduga ada kesengajaan dari putusan itu untuk penundaan pemilu sehingga akan melaporkan dugaan pelanggaran etik ini ke Komisi Yudisial.
Sebelumnya, tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus perkara gugatan perbuatan melawan hukum dengan nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Majelis hakim tersebut mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan menghukum Komisi Pemilihan Umum selaku tergugat dengan ganti rugi Rp 500 juta. Majelis hakim juga menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 sejak putusan diucapkan pada 2 Maret 2023 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dalam konferensi pers daring “Mempersoalkan Putusan Janggal PN Jakarta Pusat terkait Penundaan Pemilu 2024”, Minggu (5/3/2023),Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas yang juga Managing Partner Firma Hukum Themis Indonesia Feri Amsari menyampaikan, ada sesuatu yang janggal pada proses pengambilan keputusan hakim. Dalam hal ini, pengadilan negeri tidak berwenang memutus perkara mengenai sengketa administrasi pemilu.
Berdasarkan catatan Themis Indonesia, sepanjang 2018-2022, sebanyak 17 kasus perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan ke PN Jakarta Pusat tidak dikabulkan. Penggungatnya merupakan masyarakat sipil yang menggugat lembaga negara seperti gubernur DKI Jakarta, menteri perdagangan, hingga Presiden RI. Dalam amar putusan, PN Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili gugatan masyarakat sipil kepada pejabat publik.
Namun, hal ini berbeda pada gugatan perdata yang diajukan Partai Prima kepada KPU pada nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst. Gugatan ini disidangkan pertama kali pada 19 Desember 2022. Adapun KPU telah mengajukan eksepsi namun ditolak oleh majelis hakim, sehingga persidangan ini dilanjutkan hingga putusan akhir.
”Dari banyaknya kasus PMH kepada lembaga negara tidak terkabul, mengapa gugatan kepada KPU ini yang terkabul? Putusan ini bukan sesuatu yang tidak disengaja. Majelis hakim tahu dampaknya terhadap pemilu,” kata Feri.
Advokat dari Themis Indonesia, Ibnu Syamsu, mengatakan, putusan PN Jakarta Pusat itu tidak hanya berdampak pada dua belah pihak. Dalam sengketa perdata, putusan hakim hanya mengikat pihak tergugat dan penggugat. Namun, dalam kasus ini tidak hanya Partai Prima dan KPU saja yang terdampak namun juga masyarakat Indonesia termasuk partai politik (parpol) peserta Pemilu 2024.
”Ada dugaan kesengajaan penundaan pemilu. Themis berencana akan melaporkan dugaan pelanggaran etik ini ke Komisi Yudisial (KY) pada Senin depan,” ujar Ibnu.
Dia juga mengatakan, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019, PMH lembaga negara adalah kewenangan absolut Pengadilan Tinggi Usaha Negara (PTUN). Pada aturan ini juga ditegaskan bahwa PN harus menyatakan tidak berwenang mengadili pejabat pemerintahan yang sedang diperiksa di PN.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan mengatakan, KY perlu memeriksa proses pengambilan keputusan oleh majelis hakim yang dipimpin oleh T Oyongdengan hakim anggota H Bakri serta Dominggus Silaban ini, alih-alih menilai isi putusannya. ”Ini memang koridor kewenangan KY untuk melihat apa yang terjadi,” sebutnya.
Terkait putusan perdata Prima terhadap KPU, Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Zulkifli Atjo mengatakan, amar putusan ini tidak menyebut penundaan pemilu, tetapi memerintahkan tergugat untuk tidak melakukan sisa tahapan pemilu. Terkait dampaknya kepada parpol lain, Zulkifli menilai hal tersebut di luar kewenangan PN Jakpus.
Dampak
Ketua Forum Informasi dan Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Samsang Syamsir menilai, putusan PN Jakarta Pusat ini menyebabkan keresahan dan kegaduhan publik. Spekulasi bahwa penundaan pemilu merupakan skenario kelompok tertentu juga bermunculan. “Putusan penundaan pemilu ini dapat mengurangi legitimasi publik dan membuat masyarakat tidak percaya pada proses pemilu. Hal ini juga berpotensi menghasilkan aktor yang menunda pemilu selain PN Jakarta Pusat,” ujar Samsang.
TANGKAPAN LAYAR
Miya Irawati Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute pada konferensi pers daring “Mempersoalkan Putusan Janggal PN Jakarta Pusat terkait Penundaan Pemilu 2024”, Minggu (4/3/2023).
Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute Miya Irawati menilai, gugatan penundaan pemilu ini berdampak pada penilaian pemilih khususnya pada parpol kecil. Menurut Miya, dampaknya bisa menurunkan kepercayaan para pemilih muda yang persentasenya mencapai 60 persen dari total pemilih di Indonesia. Dengan proporsi ini, pemilih muda berusia 17-39 tahun mampu mempengaruhi peta politik Indonesia pada pemilu 2024.
”Atensi Partai Prima menunda pemilu beresiko meningkatkan apatisme anak muda terhadap parpol kecil dan alternatif sehingga lanskap politik Indonesia akan tetap didominasi partai besar dan koalisinya. Hal ini jelas akan memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia,” tutur Miya.
Selain itu, Miya juga mempertanyakan tujuan Partai Prima untuk memberhentikan pemilu selama dua tahun empat bulan tujuh hari dan melaksanakannya dari awal. Menurut ia, hal ini mustahil karena saat ini kurang dari satu tahun mendekati Pemilu 2024. “Partai Prima menggugat KPU atas perbuatan melawan hukum (PMH) di PN Jakarta Pusat karena mereka tidak lolos verifikasi administrasi. Namun dalam gugatan ini justru tidak menuntut untuk mengulang proses verifikasi partai mereka. Sulit untuk tidak mencurigai adanya agenda tersembunyi,” katanya.
Sebelumnya, Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono mengatakan, pihaknya tidak pernah berniat untuk menunda waktu pemilu. Namun, upaya agar Prima kembali masuk berkontestasi mengharuskan tahapan pemilu diulang (Kompas.id, 3/3/2023).