Rangkap Jabatan di Ranah Penegak Hukum Perlu Diatur Ulang agar Cegah Korupsi
Praktik rangkap jabatan berjalan beriringan dengan konflik kepentingan sebab dinilai tak punya dasar hukum yang kuat dan tumpang tindih. Pemerintah dan DPR perlu mengatur ulang regulasi, khususnya di ranah penegak hukum.
Oleh
Ayu Octavi Anjani
·3 menit baca
AYU OCTAVI ANJANI
Diskusi hasil studi kasus terkait konflik kepentingan dalam rangkap jabatan aparat penegak hukum, di Jakarta, Selasa (28/2/2023). Polri menduduki posisi kedua dan masuk ke dalam lima besar instansi nonkementerian di ranah penegak hukum yang melakukan rangkap jabatan terbanyak.
JAKARTA, KOMPAS — Praktik rangkap jabatan di ranah penegak hukum ataupun nonpenegak hukum di Indonesia masih banyak ditemukan. Karena itu, pemerintah perlu mengatur ulang regulasi dan ketentuan lainnya agar perangkapan jabatan dapat diminimalkan untuk mencegah korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Mengutip temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang dilaporkan pada 2019, Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter, saat diskusi hasil studi kasus terkait konflik kepentingan dalam rangkap jabatan aparat penegak hukum, di Jakarta, Selasa (28/2/2023), menuturkan, setidaknya sebanyak 397 pejabat publik tercatat melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat badan usaha milik negara atau daerah (BUMN/BUMD).
Rinciannya, sebesar 65 persen lembaga nonkementerian menduduki posisi komisaris BUMN yang dikuasai oleh lima instansi, yakni TNI (27 orang), Polri (13 orang), Kejaksaan Agung (12 orang), pemerintah daerah (11 orang), dan Badan Intelijen Negara (BIN) (10 orang).
Sementara, dari hasil penelusuran dan studi kasus ICW, Lalola menyatakan, praktik perangkapan jabatan sejak Juni hingga Oktober 2022 dan hingga saat ini,terdapat empat pejabat tinggi kepolisian yang merangkap jabatan di BUMN, di antaranya PT Bukit Asam (Tbk), PT Dahana, PT Pertamina (Persero), dan PT Aneka Tambang.
”Studi kasus ini mencatat pola awal terkait dugaan penempatan mantan anggota Polri ataupun pejabat strategis BIN di posisi komisaris BUMN. Terdapat subyek yang merupakan perwira tinggi Polri, yang hingga saat ini merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN di bidang pertambangan. Selain itu, subyek mengemban posisi strategis di BIN,” tutur Lalola, seperti dikutip dari rilis ICW.
Terdapat subyek yang merupakan perwira tinggi Polri, yang hingga saat ini merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN di bidang pertambangan. Selain itu, subyek mengemban posisi strategis di BIN.
Hal senada diungkapkan Direktur Program Trend Asia Ashof Birry yang hadir dalam diskusi. Menurut Ashof, praktik rangkap jabatan bertujuan untuk memperluas pengaruh kekuasaan ataupun rangkap penghasilan yang rentan berujung korupsi. Tak pelak, praktik rangkap jabatan selalu berjalan beriringan dengan konflik kepentingan.
Padahal, ungkap Ashof, gaji yang diterima komisaris BUMN, yakni mencakup tunjangan hari raya (THR) dan tantiem (keuntungan), mencapai Rp 895 juta hingga Rp 3,8 miliar per tahun. ”Menurut saya, aparat penegak hukum yang rangkap jabatan ini, bisa jadi, ingin menambah kekayaan. Wajar saja jika posisi komisaris BUMN sangat diincar mengingat besaran gaji tersebut,” ujar Ashof.
Menurut saya, aparat penegak hukum yang rangkap jabatan ini, bisa jadi, ingin menambah kekayaan. Wajar saja jika posisi komisaris BUMN sangat diincar mengingat besaran gaji tersebut.
Seperti dikutip dalam Kompas.id(25/7/2021), sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, pernah menyatakan, konflik kepentingan dengan perangkapan jabatan membuat seseorang mengambil keputusan yang tidak jernih. Konflik tersebut terjadi karena ada uang. Padahal, ia memiliki kewajiban menjalankan tugas secara profesional di bidangnya (Kompas.id, 25/7/2021).
”Penegak hukum perlu memiliki prinsip-prinsip keadilan yang harus dijunjung tinggi, pertama kali dengan membangun karakter,” kritik Imam saat dihubungi secara terpisah, Selasa lalu.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN
Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo
Tumpang tindih
Lebih jauh, menurut Lalola, pengaturan konflik kepentingan dan rangkap jabatan aparat penegak hukum, khususnya Polri, justru dapat ditemukan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Peraturan-peraturan tersebut dinilai bersifat tumpang tindih dan sumir. Ia memberi contoh, misalnya pengaturan yang sumir, di antaranya Pasal 28 Ayat (2) undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), dengan bagian penjelasannya.
Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, sebut Lalola, pada prinsipnya melarang perangkapan jabatan anggota Polri. Namun, bagian penjelasan pasal tersebut memberikan pengecualian yang bersifat umum atas larangan tersebut. Disebutkan, dalam Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri, bahwa anggota Polri dapat merangkap jabatan—tidak perlu mengundurkan diri ataupun menunggu masa pensiun—sepanjang ditugaskan oleh Kapolri atau jabatan rangkapnya tidak berkaitan dengan Polri.
”Jadi, saya asumsikan isi pasal itu, anggota kepolisian dapat melakukan rangkap jabatan selama itu merupakan penugasan dari Kapolri. Ini menunjukkan, hukum dasar terkait rangkap jabatan tumpang tindih dan tidak jelas,” tutur Lalola. Ketidakjelasan peraturan kepolisian yang melarang rangkap jabatan inilah yang dinilai menjadi salah satu penyebab perangkapan jabatan tersebut.
Jadi, saya asumsikan isi pasal itu, anggota kepolisian dapat melakukan rangkap jabatan selama itu merupakan penugasan dari kapolri. Ini menunjukkan, hukum dasar terkait rangkap jabatan tumpang tindih dan tidak jelas.
Lalola menyatakan, rumusan tumpang tindih dan sumir di kepolisian ini bukan saja multitafsir, melainkan juga memberikan diskresi yang sangat besar bagi Kapolri. ”Instansi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan kekuasaan kehakiman juga mengatur pengecualian rangkap jabatan bagi anggotanya, tetapi rangkap jabatan tersebut diatur dengan definitif terbatas dalam UU, dengan pengaturan yang lebih teknis dan detail pada peraturan turunannya,” papar Lalola.
Di Kejaksaan RI, contoh Lalola, larangan rangkap jabatan dan batasan rangkap jabatannya dituangkan dalam Pasal 11, Pasal 11A Ayat (1), dan Pasal 21 UU Nomor 11 Tahun 2021 jo UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Adapun kekuasaan kehakiman atau lembaga pengadilan mengatur hal serupa dalam Pasal 31 Ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Untuk itu, agar dasar hukum perangkapan tak berpotensi memudahkan pejabat pemerintahan melakukan korupsi dan penyalahgunaan pejabat, Lalola mendesak pemerintah dan DPR perlu mengatur ulang regulasi tersebut. Ketentuan yang selama ini dinilai masih lemahterkait pengendalian konflik kepentingan dan rangkap jabatan harus diperkuat kembali. (Z01)