Pelanggaran Kampanye di Luar Tahapan Makin Sulit Ditindak
Karena tidak adanya aturan yang mengatur kegiatan sosialisasi oleh peserta ataupun bakal calon peserta Pemilu 2024, hal itu akan menyebabkan praktik pelanggaran kampanye di luar tahapan bakal semakin sulit ditindak.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di sepanjang Jalan Raya Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Selasa, (28/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Praktik pelanggaran kampanye yang terjadi di luar tahapan bakal semakin sulit ditindak karena tidak adanya aturan yang mengatur kegiatan sosialisasi oleh peserta ataupun bakal calon peserta Pemilu 2024. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat meminta agar Komisi Pemilihan Umum tetap mengatur hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang agar tidak menimbulkan perbedaan tafsir antara sesama penyelenggara dan peserta pemilu di daerah.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Yanuar Prihatin mengatakan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu dinilai tidak terlalu spesifik mengatur sosialisasi yang dilakukan di luar tahapan kampanye. Akibatnya, ada kekhawatiran perbedaan tafsir antara bakal calon anggota legislatif, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di daerah ketika menilai kegiatan yang dilakukan oleh individu yang akan maju sebagai peserta pemilu.
Oleh karena itu, ia mendorong agar KPU segera menyosialisasikan format sosialisasi kepada parpol agar aturannya tidak simpang siur. ”Sosialisasi perlu dilakukan kepada parpol ataupun sesama penyelenggara pemilu agar masalah klasik salah tafsir antara penyelenggara pemilu di pusat dan daerah tidak terjadi sehingga bisa merugikan peserta pemilu,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (28/2/2023).
Menurut Yanuar, aturan sosialisasi sebaiknya diatur secara khusus agar lebih kuat. KPU bisa membuat surat edaran yang memuat pedoman teknis sosialisasi di luar tahapan kampanye. Selain itu, KPU juga bisa segera merevisi PKPU No 33/2018 tentang Kampanye Pemilu sesegera mungkin dengan mengatur kegiatan sosialisasi di luar tahapan kampanye yang lebih detail. Pengaturannya pun harus mengakomodasi berbagai kemungkinan, salah satunya kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh bacaleg ataupun bacapres. ”Yang lebih banyak melakukan sosialisasi kan bacaleg,” tuturnya.
”Sosialisasi perlu dilakukan kepada parpol ataupun sesama penyelenggara pemilu agar masalah klasik salah tafsir antara penyelenggara pemilu di pusat dan daerah tidak terjadi sehingga bisa merugikan peserta pemilu. ”
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua KPU Hasyim Asyari (kiri) dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat acara Pengumuman Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Calon Partai Politik Peserta Pemilu 2024 di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (14/10/2022).
Dalam pernyataan bersama antara Ketua KPU Hasyim Asy'ari dan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja disebutkan, parpol diperbolehkan melakukan sosialisasi pascapenetapan sebagai peserta Pemilu 2024. Sebab, Pasal 25 PKPU No 33/2018 telah mengatur kesempatan sosialisasi bagi parpol sebelum masuk tahapan kampanye. Namun, sosialisasi dan pendidikan pemilih hanya bisa dilakukan di lingkup internal parpol.
Sosialisasi parpol dilakukan hanya terbatas kegiatan pemasangan bendera dan nomor urut, sedangkan pendidikan politik hanya dilakukan di internal partai politik dengan menggunakan metode pertemuan terbatas. Kegiatan itu wajib diberitahukan kepada KPU dan Bawaslu pada sehari sebelum kegiatan. Apabila pelaksanaan metode sosialisasi tersebut pada faktanya mengandung unsur kampanye, kegiatan parpol tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran administratif pemilu, yaitu melakukan kegiatan kampanye di luar masa kampanye.
Selain itu, parpol dilarang mengungkapkan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik parpol dengan menggunakan metode penyebaran bahan kampanye pemilu kepada umum; pemasangan alat peraga kampanye (APK) di tempat umum; atau media sosial yang memuat tanda gambar dan nomor urut partai politik di luar masa kampanye, dan/atau memublikasikan citra diri, identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik parpol melalui media cetak, media elektronik, dan media dalam jaringan yang memuat tanda gambar dan nomor urut parpol di luar masa penayangan iklan kampanye selama 21 hari sebelum dimulainya masa tenang.
”Berdasarkan ketentuan tersebut, KPU dan Bawaslu meminta agar parpol patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Selain itu, parpol diminta menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang masuk kategori kampanye. ”
”Berdasarkan ketentuan tersebut, KPU dan Bawaslu meminta agar parpol patuh terhadap ketentuan yang berlaku. Selain itu, parpol jugag diminta menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan yang masuk kategori kampanye. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dapat dilakukan tindakan penegakan hukum, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana,” tulis pernyataan yang diunggah oleh Hasyim.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Satu tahun menjelang pemilu, para calon kontenstan semakin inten menyosialisasikan diri kepada masyarakat melalui baliho seperti terlihat di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (4/2/2023).
Pengawasan bisa lebih sulit
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Aji Pengestu menilai, tidak adanya aturan khusus yang memuat hal-hal yang diperbolehkan dan dilarang pada masa sebelum tahapan kampanye mengakibatkan pengawasan dan penindakan oleh Bawaslu lebih sulit. Sebab, aturan yang digunakan, yakni PKPU No 33/2018, tidak mengatur secara rinci hal-hal yang diperbolehkan ataupun dilarang. Bawaslu akhirnya tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menjustifikasi temuan dugaan pelanggaran kampanye di lapangan.
”Misalnya kegiatan sosialisasi internal parpol yang berisi ajakan, tetapi diduga melibatkan massa di luar kader sehingga berpotensi melanggar aturan kampanye."
”Misalnya kegiatan sosialisasi internal parpol yang berisi ajakan, tetapi diduga melibatkan massa di luar kader sehingga berpotensi melanggar aturan kampanye," ujarnya.
Menurut Aji, pembiaran terhadap ruang ”abu-abu” sangat berbahaya bagi kondusivitas di masyarakat. Parpol akan semakin masif melakukan sosialisasi tanpa dibatasi aturan yang jelas. Akibatnya, rentan terjadi gesekan di masyarakat sehingga menimbulkan polarisasi, bahkan pendidikan politik tidak menjadi substansi utama.
KOMPAS/HENDRA AGUS SETYAWAN
Bendera partai politik peserta pemilu terpasang di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (27/1/2023).
Penjabat Sementara Direktur Eksekutif Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia Hurriyah mengatakan, masalah klasik dalam pemilu, yakni selalu ada kesenjangan antara aturan yang dibuat penyelenggara yang mengatur tentang perilaku para kontestan. Sementara, pola-pola perilaku aktor elektoral selalu berbeda dengan hal-hal yang diatur.
”Artinya, regulasi tidak pernah betul-betul menyasar pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pola perilaku aktor elektoral"
Salah satunya, aturan tentang sosialisasi hanya diberlakukan kepada parpol, padahal yang lebih banyak sosialisasi adalah bacaleg dan bacapres. Selain itu, aturan kampanye di media sosial hanya mewajibkan pendaftaran akun resmi kandidat, padahal yang lebih banyak berkampanye adalah akun tidak resmi. Aturan yang dibuat cenderung hanya teknis prosedural, tetapi tidak tepat sasaran.
”Artinya, regulasi tidak pernah betul-betul menyasar pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pola perilaku aktor elektoral,” tuturnya.
Oleh karena itu, lanjut Hurriyah, adanya aturan tentang sosialisasi di PKPU 33/2018 pun tidak menjamin bahwa tidak akan ada pelanggaran. Sebab, dalam aturan tersebut masih terdapat kesenjangan substansi dan minimnya kepatuhan parpol. Kalaupun ada sanksi, cenderung sangat lemah sehingga sangat berpotensi dilanggar. ”Peserta pemilu selalu memiliki pola baru untuk menyiasati aturan,” katanya.