Keputusan KPU tak menerbitkan aturan baru terkait sosialisasi para peserta dan calon peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye, terus menuai kritik. Tanpa aturan ketat, sosialisasi bisa picu konflik dan ketidakadilan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Bendera partai politik dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS - Ketiadaan aturan ketat yang mengatur soal sosialisasi sebelum dimulainya tahapan kampanyePemilu 2024 pada akhir November mendatang berpotensi membuat peserta pemilu bertarung bebas dalam merebut simpati calon pemilih. Implikasinya, konflik rawan terjadi. Prinsip adil dalam pemilu juga akan sulit terwujud.
Sembilan bulan menjelang tahapan kampanye Pemilu 2024, sejumlah partai politik serta figur potensial bakal calon presiden (capres) dan bakal calon anggota legislatif (caleg) intens menyosialisasikan diri kepada publik. Ada yang intens berkeliling ke sejumlah wilayah. Ada pula yang sudah memasang alat peraga berupa baliho dan spanduk bergambar foto diri di sejumlah lokasi strategis. Begitu pula di media sosial, mereka intens memperkenalkan diri.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Meski demikian, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan tidak mengeluarkan aturan baru terkait sosialisasi partai politik (parpol) dan calon peserta Pemilu 2024 lainnya sebelum masa kampanye. Khusus parpol, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 33 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu dinilai masih relevan mengaturnya, Kompas (25/2/2023).
Terkait hal itu, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, menilai, PKPU No 33/2018 dan Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilu sudah tidak sesuai jika digunakan untuk Pemilu 2024. Pasalnya, kedua aturan itu terbit saat masa kampanye masih berlangsung tujuh bulan, sedangkan pada Pemilu 2024 kampanye hanya 75 hari. Otomatis ada jeda panjang sebelum masa kampanye yang lantas dimanfaatkan para peserta dan calon peserta pemilu untuk sosialisasi.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar
”Kalau KPU mau, KPU bisa menerbitkan aturan lebih ketat soal sosialisasi sebelum kampanye. Namun, karena tidak mau, seakan dibiarkan menjadi arena tarung bebas saja. Jadi, mereka menjadikan Pemilu 2024 menjadi arena tarung bebas, bebas pasang baliho, bebas sosialisasi di media sosial,” tutur Fritz saat dihubungi dari Jakarta, Senin (27/2/2023).
Padahal, jika ada aturan lebih ketat soal sosialisasi, Bawaslu akan lebih mudah mengawasi dan menindak pelanggaran yang dilakukan, baik oleh parpol maupun calon peserta pemilu lainnya. Adanya aturan itu pun dapat mewujudkan keadilan bagi seluruh peserta dan calon peserta pemilu. Apalagi adil merupakan salah satu prinsip utama dalam pemilu. ”Kalau sekarang tidak ada keadilan, yang punya logistik besar bisa melakukan apa saja,” ujarnya.
Potensi polarisasi
Menurut mantan Ketua Bawaslu Abhan, ketiadaan aturan sosialisasi yang ketat juga berpotensi menimbulkan konflik. Tidak hanya di antara pemilih, tetapi juga peserta pemilu.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta khawatir, sosialisasi parpol serta para figur potensial capres/cawapres dan caleg akan semakin marak setelah KPU memutuskan tak ada aturan main baru di masa sebelum tahapan kampanye.
Satu tahun menjelang pemilu, para calon kontestan Pemilu 2024 semakin intens menyosialisasikan diri kepada masyarakat melalui baliho seperti terlihat di kawasan Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (4/2/2023).
Akibatnya, mereka akan saling berebut lahan untuk menarik simpati pemilih di ruang publik ataupun ruang digital. Tujuan awal pengurangan masa kampanye menjadi 75 hari untuk mengurangi potensi polarisasi pun bisa tidak tercapai karena pertarungan justru sudah dimulai jauh hari sebelum masa kampanye resmi.
”Bisa berpotensi memunculkan fitnah, ujaran kebencian, dan perbuatan tidak menyenangkan karena tidak ada aturan di masa sebelum kampanye. Konflik tidak terhindarkan karena pertarungan yang meresahkan,” kata Kaka.
Meski demikian, KPU tetap berkukuh Peraturan KPU No 33/2018 masih relevan untuk mengatur sosialisasi oleh parpol peserta Pemilu 2024 sebelum masa kampanye. Hal-hal yang mengatur apa yang bisa dilakukan ataupun dilarang dilakukan oleh parpol, menurut Ketua KPU Hasyim Asy’ari, tertera dalam Pasal 25.
Menyerahkan ke Bawaslu
Sementara sosialisasi yang dilakukan figur potensial bakal capres ataupun bakal caleg, lanjut Hasyim, bisa masuk sebagai pelanggaran administrasi ataupun pidana pemilu. ”Itu nanti teman-teman Bawaslu yang akan mengonstruksikan sebuah tindakan itu masuk kategori mana,” ujar Hasyim.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari menyampaikan paparannya dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU, Menyongsong Pemilu Tahun 2024 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengatakan, Bawaslu awalnya berharap ada peraturan KPU yang lebih ketat mengatur soal sosialisasi. Apalagi dalam rapat tripartit antara Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), akhir tahun lalu, disepakati akan terbitnya peraturan tersebut dari KPU.
Aturan disepakati lahir karena dipangkasnya masa kampanye yang berimbas pada masifnya peserta dan calon peserta Pemilu 2024 menyosialisasikan diri. ”Tetapi ternyata, KPU tidak mengambil posisi itu, mungkin ada hal-hal lain yang akhirnya menganggap PKPU No 33/2018 cukup,” tambah Lolly.
Padahal, menurut dia, PKPU No 33/2018 hanya mengatur parpol. ”Di luar parpol, hari ini Bawaslu belum bisa menindak karena obyeknya hanya peserta pemilu dan sekarang yang sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu baru parpol. Kalau ada individu yang membuat pertemuan atau sosialisasi kami belum bisa apa-apa,” ujarnya.
Penindakan terhadap parpol yang melakukan kampanye di luar jadwal pun tidak mudah. Sebab, semua unsur kampanye, yakni citra diri, visi, misi, program, tanda gambar, dan nomor urut, harus dipenuhi secara kumulatif. Namun, sepanjang tidak kumulatif, kegiatan dianggap sebagai sarana komunikasi.