Tutup Ruang Radikalisme, Pemerintah dan Daerah Harus Hadir Rangkul Keluarga Napiter
Selain pemerintah, daerah juga jangan mengabaikan nasib keluarga narapidana terorisme atau eks narapidana terorisme atau napiter. Perhatian semua pihak dibutuhkan agar mereka tak kembali lagi ke pusaran radikalisme.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mengingatkan pemerintah agar tidak mengabaikan nasib keluarga narapidana terorisme atau eks narapidana terorisme atau napiter. Kehadiran negara dibutuhkan agar mereka tidak kembali masuk ke pusaran radikalisme. Apalagi, ratusan eks napiter didapati berpotensi menjadi residivis atau masih berstatus ”merah”.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Santoso, dalam rapat kerja bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2023), mengatakan, adanya kejadian bom bunuh diri yang dilakukan oleh eks napiter, Agus Sujatno, di Polsek Astana Anyar, Bandung, 2022, menunjukkan dampak dari ketidakhadiran pemerintah dalam mengawasi dan mendampingi mereka seusai keluar dari penjara.
Setelah keluar dari penjara, Agus didapati mengalami kesusahan dalam perekonomiannya. Agus hanya mendapatkan bantuan seadanya dari pemerintah, seperti kompor gas.
Hal semacam ini mampu menjadi pemantik bagi Agus untuk melakukan aksi terornya kembali. Karena itu, Santoso meminta pemerintah melalui BNPT agar tidak abai terhadap nasib eks napiter, begitu pula keluarga mereka.
Jadi, persoalan-persoalan keluarga napiter dan eks napiter ini harus bisa diselesaikan secara komprehensif. Kalau perlu, modalnya diberikan supaya ini tidak terjadi lagi. Jangan sampai mereka terlibat lagi dalam kegiatan-kegiatan terorisme. Negara harus hadir.
”Jadi, persoalan-persoalan keluarga napiter dan eks napiter ini harus bisa diselesaikan secara komprehensif. Kalau perlu, modalnya diberikan supaya ini tidak terjadi lagi. Jangan sampai mereka terlibat lagi dalam kegiatan-kegiatan terorisme. Negara harus hadir,” ujar Santoso.
Baca juga: Deradikalisasi Belum Merata, Eks Narapidana Terorisme ”Merah” Masih Terabaikan
Dalam liputan khusus Kompas yang terbit pada Senin (13/2/2023) ini, ditemukan sejumlah keluarga napiter yang belum mendapatkan perhatian optimal dari negara. Beberapa istri dari napiter mengaku harus berjuang menghidupi anak-anaknya selepas suami mereka ditangkap polisi akibat terlibat tindak pidana terorisme.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Supriansa, sependapat dengan Santoso. Eks napiter biasanya kembali masuk ke jaringan terorisme karena merasa tidak bisa menghidupi keluarganya. Alhasil, kehidupan mereka disantuni oleh jaringan terorisme.
Kalau anggaranya diperkirakan cukup besar, BNPT harus berpikir untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya.
Untuk itu, menurut Supriansa, negara harus hadir dan menutup ruang bagi jaringan terorisme sehingga tidak bisa masuk kembali ke keluarga eks napiter. Ia meyakini negara bisa merangkul mereka dengan memberikan pelatihan-pelatihan serta kegiatan-kegiatan yang dapat memicu mereka untuk mencari pekerjaan. Kemudian, anak-anak juga harus disekolahkan ke tempat yang moderat.
”Kalau anggarannya diperkirakan cukup besar, BNPT harus berpikir untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga lainnya,” kata Supriansa.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Muhammad Nasir Djamil, menambahkan, untuk meringankan kerja BNPT, BNPT bisa menggandeng forum koordinasi pimpinan daerah untuk menangani keluarga eks napiter. Ia pun mengingatkan bahwa penanganan keluarga eks napiter ini merupakan tugas bersama.
Hubungkan eks napiter itu dengan para pemangku kepentingan di daerah sehingga mereka bisa bekerja. Sebab, apa pun ceritanya mereka punya potensi kembali lagi ke organisasi terorisme.
”Hubungkan eks napiter itu dengan para pemangku kepentingan di daerah sehingga mereka bisa bekerja. Sebab, apa pun ceritanya mereka punya potensi kembali lagi ke organisasi terorisme. Jangan biarkan mereka mengemis ke tempat-tempat tertentu karena tidak ada perhatian dari negara,” ucap Nasir Djamil.
Komitmen pemimpin daerah
Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengungkapkan, dari total 1.036 eks napiter, terdapat 116 residivis eks napiter. Adapun 19 orang di antaranya masih berada di dalam lembaga pemasyarakatan.
Misalnya, Iqbal Husaini yang terlibat dalam kasus pelatihan militer pada 2009 dan Supriadi yang tergabung dalam jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pada 2012-2018. Kemudian, Juhanda yang terlibat dalam peristiwa bom Gereja Oikumene pada 2016 dan Sunakin yang terlibat dalam peristiwa bom Thamrin pada 2016.
Selain itu, Wawan Kurniawan yang terlibat dalam peristiwa kerusuhan Mako Brimob pada 2018 dan Agus Sujatno yang melakukan aksi bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar pada 2022 lalu.
Ia menjelaskan, tak semua eks napiter yang keluar dari lapas telah berikrar setia kepada NKRI dan insaf atas perbuatannya. Berdasarkan data BNPT, setidaknya sekitar 80 persen eks napiter masih bersikukuh dengan pendirian atau ideologinya, misalnya Abu Bakar Ba’asyir.
”Jadi, memang kita menghadapi kelompok yang memang di antara mereka masih ada yang yakin dengan apa yang diyakini adalah sebagai sebuah kebenaran,” tutur Boy.
Jadi memang kita menghadapi kelompok yang memang di antara mereka masih ada yang yakin dengan apa yang diyakini adalah sebagai sebuah kebenaran.
Ia menyadari, jika mereka tidak diawasi secara intensif, mereka sangat mungkin memengaruhi orang lain atau keluarganya kembali untuk mengikuti paham radikal. Jika itu terjadi, ini akan menjadi ”bom waktu”.
”Tentu anak dalam posisi yang sangat dirugikan dong kalau orangtuanya masih terlibat. Anak itu bisa terbawa-bawa untuk nanti mengikuti jejak orangtuanya. Itu yang perlu diantisipasi. Pendidikan anaknya akan menjadi telantar. Padahal, anak ini masih usia dini dan masa depannya panjang,” ujar Boy.
Meski demikian, lanjut Boy, negara tidak boleh kalah. Dengan anggaran yang terbatas, BNPT akan terus memaksimalkan program-program deradikalisasi dan merangkul mereka. BNPT juga memakai strategi pentaheliks agar seluruh pihak bisa turut membantu menyelesaikan pesoalan yang dialami oleh keluarga napiter ataupun eks napiter.
Baca juga: Pendekatan Kemanusiaan agar Tak Ada Lagi ”Family Tree” Terorisme
Di sisi lain, Boy mengingatkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE). RAN PE ini seharusnya bisa segera diimplementasikan di tingkat pusat dan juga daerah sehingga semua bisa turut andil dalam upaya-upaya pencegahan terkait masalah ekstremisme berbasis kekerasan.
Sejumlah daerah yang sudah menerbitkan peraturan daerah sebagai turunan dari RAN PE ini, yakni Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, dan Kota Surakarta. Beberapa kota yang sedang menyusun perda tersebut di antaranya Bogor, Bandung, Malang, dan Makassar.
”Karena RAN PE ini adalah menyentuh masyarakat yang ada di daerah dan pejabat di daerah, maka ketika lahirnya perda sangat menguntungkan. Artinya, komitmen dari pemimpin daerah sangat berdampak positif terhadap upaya-upaya pencegahan terkait masalah ini,” ucap Boy.