Pengabaian KPU atas Putusan MK Berpotensi Jadi Obyek Sengketa
Tidak adanya perubahan signifikan terhadap evaluasi dapil untuk Pemilu 2024 berpotensi menjadi obyek sengketa di kemudian hari. Padahal, evaluasi dibutuhkan untuk memastikan masyarakat telah terwakili dengan adil.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum dinilai tidak menghormati putusan Mahkamah Konstitusi tentang evaluasi daerah pemilihan calon legislatif untuk Pemilu 2024. Padahal, evaluasi daerah pemilihan dibutuhkan untuk memastikan proporsi keterwakilan masyarakat dapat terbagi dengan adil dan merata.
Pengabaian yang dilakukan KPU ini berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Partai politik bisa menggunakan putusan MK tersebut sebagai obyek sengketa. Akibatnya, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu bisa terjadi dan dikhawatirkan terus menurun.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPR, Jakarta, Senin (6/2/2023), Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menjelaskan, pihaknya menyetujui isi dan lampiran yang termuat dalam Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Daerah Pemilihan (Dapil) dan Alokasi Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota di Pemilu 2024.
Dalam RDP tersebut, pembahasan berlangsung singkat hanya sekitar 15 menit karena tidak ada pembahasan ataupun tanya jawab antara anggota DPR dan KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Mengingat sebelumnya pula, pihak-pihak tersebut sudah bersepakat mengenai isi aturan di dalamnya.
Baca juga: KPU Dinilai Maknai secara Parsial Putusan MK soal Dapil Pemilu 2024
Tidak ada perubahan signifikan mengenai daerah pemilihan ataupun alokasi kursi. Perubahan hanya terdapat pada penambahan daerah pemilihan dan alokasi kursi di empat Daerah Otonom Baru di Papua.
DPR menyetujui Rancangan PKPU ini beserta lampirannya yang tidak dapat dipisahkan dari PKPU ini.
”DPR menyetujui Rancangan PKPU ini beserta lampirannya yang tidak dapat dipisahkan dari PKPU ini,” ucapnya.
Penempatan sebulan
Ketua KPU Hashim Asy’ari menjelaskan, aturan mengenai daerah pemilihan serta alokasi kursi dalam Rancangan PKPU ini akan terlebih dahulu diputuskan lewat Keputusan Komisi Pemilihan Umum. ”Dapil dan alokasi kursi akan ditetapkan melalui Keputusan KPU paling lama sebulan setelah PKPU ini diundangkan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menjelaskan, secara umum, KPU sudah menggunakan data kependudukan yang mutakhir sehingga alokasi kursi dan penataan dapil sudah sesuai dengan jumlah penduduk. Proses yang ditempuh KPU dalam merumuskan alokasi dan dapil pun sudah diawasi oleh pihaknya.
Bawaslu mengawasi Uji Publik Daerah Pemilihan Anggota DPR dan DPRD provinsi yang dilakukan oleh KPU pada 31 Januari 2022 dan secara prinsip menyepakati rancangan dapil dari KPU.
”Bawaslu mengawasi Uji Publik Daerah Pemilihan Anggota DPR dan DPRD provinsi yang dilakukan oleh KPU pada 31 Januari 2022 dan secara prinsip menyepakati rancangan dapil dari KPU,” jelasnya.
Senada dengan Bawaslu, Ketua DKPP Heddy Lugito menjelaskan, Rancangan PKPU yang dibuat sudah mengakomodasi aturan-aturan sebelumnya sehingga hanya menunggu pelaksanaannya saja. Ia berharap, pelaksanaan aturan tersebut bisa berjalan lancar.
”Bagi DKPP tinggal pelaksanaannya saja yang lebih perlu diperhatikan. Pelaksanaan harus memperhatikan pada stabilitas politik nasional agar tidak ada guncangan-guncangan ke depan,” tuturnya.
Tiga aturan hukum
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengingatkan agar rancangan peraturan tersebut memasukkan tiga aturan hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Pemilu, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XX/2022 tentang Pembentukan Dapil.
”Diharapkan aturan ini bisa dimuat di konsideran menimbang, agar semakin kuat,” ujarnya.
Tidak patuh
Dengan kewenangan yang diberikan oleh MK melalui putusannya, KPU seharusnya berani untuk berseberangan dengan DPR mengenai penataan daerah pemilihan.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menerangkan, sikap KPU yang tidak mengindahkan putusan MK tersebut merupakan tindakan di jalan di tempat. Padahal, kewenangan penataan dapil yang diberikan sudah tegas sehingga KPU tidak perlu khawatir akan intervensi pihak-pihak tertentu.
KPU tidak berani untuk berseberangan dengan DPR. Ini sikap anti-progresif yang ditunjukkan KPU. Padahal penataan dapil ini penting untuk mengevaluasi apakah masyarakat sudah terwakili dengan aturan yang ada. Perlu ada evaluasi apakah di daerah itu sudah overrepresented atau underrepresented.
”KPU tidak berani untuk berseberangan dengan DPR. Ini sikap anti-progresif yang ditunjukkan KPU. Padahal penataan dapil ini penting untuk mengevaluasi apakah masyarakat sudah terwakili dengan aturan yang ada. Perlu ada evaluasi apakah di daerah itu sudah overrepresented atau underrepresented,” ucapnya.
Di wilayah overrepresented, jumlah kursi yang diperebutkan terlalu banyak dan tidak sesuai dengan proporsi populasi. Sebaliknya, di wilayah underepresented, kursi yang diperebutkan terlalu sedikit, padahal populasi masyarakat cukup besar. Hal ini membuat masyarakat di wilayah underepresented kurang terwakili suaranya di parlemen.
Arya menambahkan, DPR juga dinilai enggan untuk mengevaluasi daerah pemilihan yang terdapat dalam Lampiran III dan IV Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu karena berisiko secara politik.
Partai politik menolak karena takut harus mengatur ulang konsolidasi serta strategi dan logistik di Pemilu 2024. Walaupun begitu, sebenarnya masih ada waktu untuk itu, karena penentuan daftar caleg tetap masih akhir tahun.
”Partai politik menolak karena takut harus mengatur ulang konsolidasi serta strategi dan logistik di Pemilu 2024. Walaupun begitu, sebenarnya masih ada waktu untuk itu, karena penentuan daftar caleg tetap masih akhir tahun,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, menjelaskan, dalam putusannya, MK sudah memerintahkan KPU untuk mengevaluasi dapil untuk menyelesaikan problem ketimpangan harga kursi dan proporsionalitas. Ia menyebut masih ditemukannya ketimpangan harga kursi membuat masyarakat tidak terwakili dengan baik.
”KPU menafsirkan putusan dengan parsial. Mereka hanya memindahkan lampiran III dan IV ke PKPU. Padahal, perintah dari MK adalah harus ada evaluasi terhadap jumlah dapil dan alokasi kursinya,” jelasnya.
Baca juga: Parpol Bersiap Ubah Strategi Antisipasi Perubahan Daerah Pemilihan
Secara sederhana, ”harga kursi” dapat diartikan sebagai jumlah suara sah yang dibutuhkan untuk mengamankan kursi calon legislatif. Di daerah dengan jumlah suara yang banyak, layaknya mendapatkan jatah kursi yang lebih banyak pula, ketimbang di daerah yang jumlah suaranya lebih kecil.
”Di Sumatera Barat, jumlah kursi yang diperebutkan lebih banyak daripada di Sumatera Utara, padahal jumlah populasi Sumatera Utara lebih besar. Konsekuensinya, masyarakat tidak terwakili secara proporsional. Selain itu, perlu ada proporsionalitas antarkursi di Pulau Jawa dan Pulau non-Jawa,” ucapnya.
Hero menambahkan, KPU seharusnya menaati perintah yang ada dalam putusan MK tersebut, karena jika tidak, partai politik yang merasa tidak puas dengan hasil Pemilu 2024 dapat menggunakan aturan ini sebagai obyek sengketa.
”KPU perlu hati-hati, karena bila putusan ini tidak dipatuhi, partai politik yang tidak puas bisa saja mendelegitimasi hasil Pemilu 2024 dengan alasan KPU tidak menata dapil dengan baik. Ini potensinya jika tidak patuh terhadap putusan tersebut,” katanya.