Perkuat Lembaga Pengawas untuk Tekan Korupsi Politik
Berkaca dari anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi 2022, pemerintah diminta memperkuat kembali lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan, seperti KPK, Kompolnas, dan Komisi Kejaksaan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Perilaku korupsi yang masih terus terjadi di Tanah Air mendapat sorotan masyarakat dan dituangkan dalam mural, seperti terlihat di Kedaung, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (1/2/2023). Buruknya nilai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2022 harus menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk mereformasi hukum dengan mereformasi institusi penegak hukum, perundang-undangan yang menjadi dasar penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum secara keseluruhan.
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi 2022 menjadi peringatan adanya masalah, khususnya terkait korupsi politik. Pegiat antikorupsi berharap agar dilakukan pembenahan struktural dan penguatan lembaga-lembaga pengawas aparat penegak hukum.
Pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dan berada pada peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini turun empat poin daripada skor tahun 2021 sebesar 38 atau merupakan penurunan paling drastis sejak 1995. Nilai ini sama dengan capaian pada tahun 2014. IPK merupakan indikator komposit untuk mengukur persepsi korupsi sektor publik pada skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih) di 180 negara dan wilayah. Indeks ini berdasarkan kombinasi dari 13 survei global serta penilaian korupsi menurut persepsi pelaku usaha dan penilaian ahli sedunia sejak tahun 1995.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengatakan, anjloknya skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2022 sesungguhnya mencerminkan bahwa korupsi masih menjadi tantangan utama yang menghambat iklim kemudahan berusaha. ”Sebab, masih panjangnya rantai red-tape birokrasi yang kemudian diperburuk dengan penegakan hukum yang dianggap belum memenuhi rasa keadilan,” kata Alvin ketika dihubungi pada Minggu (5/2/2023).
Terkait hal itu, upaya pemerintah untuk meminimalisasi terjadinya korupsi, seperti digitalisasi proses administrasi, merupakan upaya positif yang harus didukung. Namun, upaya semacam itu hanya berdampak pada korupsi skala kecil (petty corruption), semisal pengurusan dokumen. Sementara, lanjut Alvin, masalah mendasar di Indonesia adalah terjadinya korupsi politik, khususnya terkait state-capture corruption atau penyusunan regulasi yang mengakomodasi kejahatan korupsi ataupun ketidakadilan secara luas. Masalah tersebut tidak akan selesai hanya dengan digitalisasi.
ARSIP PRIBADI
Alvin Nicola
Adapun dalam IPK 2022, penurunan tertajam IPK terjadi pada indikator Political Risk Service (PRS) International Country Risk Guide dari poin 48 pada 2021 menjadi 35 pada 2022. PRS terkait dengan korupsi dalam sistem politik, konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, serta pembayaran ekstra/suap untuk izin ekspor-impor.
Oleh karena itu, menurut Alvin, pemerintah perlu segera membenahi sistem politik. Yang pertama adalah pembenahan struktural terkait aspek formil perundang-undangan. Itu berarti proses pembuatan sebuah undang-undang harus betul-betul transparan, akuntabel, serta menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna.
Yang kedua, lanjutnya, pemerintah perlu memperkuat kembali lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan. Lembaga itu terutama adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Kepolisian Nasional, dan Komisi Kejaksaan. Selain itu, mendukung sistem satu atap yang dijalankan Mahkamah Agung (MA).
”Hal ini penting karena di saat ada proses resentralisasi kebijakan, seperti dalam Undang-Undang tentang Cipta Kerja, keberadaan lembaga pengawas yang kuat menjadi krusial,” kata Alvin.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, berpandangan, anjloknya IPK Indonesia membuktikan bahwa arah politik hukum pemberantasan korupsi yang diusung Presiden Joko Widodo sejak 2019 hingga 2022 gagal. Kegagalan itu terwujud dalam ketidakmauan pemerintah dan DPR membentuk produk legislasi untuk memberantas korupsi, yakni Undang-Undang tentang Perampasan Aset dan UU tentang Pembatasan Uang Kartal.
Sebaliknya, lanjut Kurnia, yang justru disahkan menjadi undang-undang adalah produk legislasi yang penuh kontroversi, seperti UU tentang Cipta Kerja, UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, serta UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. ”Maka, mestinya ini menjadi titik tolak bagi pemerintah untuk memperbaiki IPK dan melakukan mitigasi untuk mencegah terjadinya korupsi politik,” katanya.
Di sisi lain, untuk menekan terjadinya korupsi, diperlukan lembaga penegak hukum yang mumpuni sebagaimana pernah dijalankan KPK. Oleh karena itu, ujarnya, alih-alih ”dibonsai” seperti saat ini, KPK mesti diperkuat kembali agar dapat menjalankan tugas dan fungsinya secara maksimal.
Penguatan KPK semakin relevan karena tahun ini Indonesia telah memasuki tahun politik, yakni masa menjelang Pemilu 2024. Pada masa ini, potensi terjadinya politik uang akan sangat besar. Jika hal tersebut tidak diantisipasi atau dibenahi secara serius, bukan tidak mungkin skor IPK bagi Indonesia pada tahun depan akan semakin merosot.
Hal itu dapat dilihat dari para pihak yang tersangkut kasus hukum dan diproses KPK saat ini sebagian besar berasal dari sektor politik, baik yang duduk di badan legislatif maupun dari eksekutif. Berangkat dari hal ini, diperlukan aparat penegak hukum yang berani untuk membongkar kasus tersebut.
”Maka, pada 2023, Presiden Joko Widodo harus menunjukkan komitmennya untuk menunaikan janji politiknya berupa keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi, khususnya penguatan aparat penegak hukum, mumpung tahun ini adalah tahun pemilihan komisioner KPK,” kata Kurnia.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, Jumat (11/6/2021). ICW melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri atas dugaan pelanggaran kode etik ke Dewan Pengawas KPK.
Kurnia berharap Presiden tidak mengulangi lagi proses pemilihan komisioner KPK pada 2019 yang dinilainya amburadul. Oleh karena itu, panitia seleksi pimpinan KPK nantinya harus diisi oleh orang-orang yang berintegritas dan obyektif serta memahami kondisi dan situasi KPK saat ini. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat memilih para calon komisioner KPK yang memang berkomitmen untuk memperkuat lembaga antikorupsi tersebut. Adapun masa jabatan pimpinan KPK periode 2019-2023 akan berakhir pada Desember 2023.