Pilihan sistem pemilu untuk DPR, DPRD tidak diatur jelas dalam konstitusi. Terkait hal tersebut, MK diharapkan menempatkan diri sebagai pemberi rambu-rambu saat pembentuk UU ingin mengevaluasi sistem tersebut.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konstitusi Negara Republik Indonesia tidak mengatur eksplisit pilihan sistem pemilu yang dianut untuk pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah. Hal ini berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang jelas diatur sistemnya.
”Kalau pilpres itu cristal clear. (Berdasar) Pasal 6A Ayat 3 dan 4 UUD kita, sistem pemilu kita adalah sistem pemilu dua putaran atau majority runoff two-round system. Tapi (pemilu untuk) DPR, DPRD, dan DPD itu tidak jelas. Hanya disebutkan di (Pasal) 22E Ayat 3, peserta pemilihan umum (untuk memilih anggota) DPR dan DPRD adalah partai politik. Kata-kata itu adalah karakter dari sistem pemilu proporsional,” kata Pembina Perludem Titi Anggraini pada diskusi politik Lumbung Informasi Rakyat (Lira) bertajuk ”Pemilu Legislatif 2024: Terbuka atau Tertutup?” yang digelar di Jakarta, Jumat (20/1/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hadir pada diskusi yang diawali pidato pembuka dari Presiden DPP Lira Andi Syafrani tersebut dan narasumber lain, yakni politikus PDI-P dan Staf Khusus Menteri Sosial Faozan Amar, politikus Nasdem Dedy Ramanta, dan pengamat politik Adi Prayitno.
Titi menuturkan, pada dasarnya sistem pemilu proporsional itu karakternya berorientasi pada partai politik. Hal ini karena kebanyakan peserta pemilu adalah partai politik. ”Dan di Indonesia, mau terbuka atau tertutup, faktanya yang bisa mencalonkan adalah hanya partai politik. Kenapa kita memilih terbuka, sebenarnya (ini) menjadi jembatan akan ketidakpuasan publik akibat pengambilan keputusan dalam proses pencalonan yang sangat elitis, tertutup, dan jauh dari jangkauan anggota ataupun publik,” ujarnya.
Bicara sistem pemilu, maka ada banyak varian. Sistem pemilu proporsional yang terbuka pun ada tiga varian; terbuka setengah tertutup, terbuka setengah terbuka, dan benar-benar terbuka. ”Kembali kepada konstitusi yang tidak mengatur eksplisit, maka kalau kami melihat, pilihan sistem pemilu itu mestinya adalah artikulasi konsensus politik bersama pembentuk undang-undang yang diambil keputusannya secara terbuka, akuntabel, demokratis, dan partisipatoris,” ujar Titi.
”Kembali kepada konstitusi yang tidak mengatur eksplisit, maka kalau kami melihat pilihan sistem pemilu itu mestinya artikulasi konsensus politik bersama pembentuk undang-undang yang diambil keputusannya secara terbuka, akuntabel, demokratis, dan partisipatoris. ”
Jadi, perdebatan soal apakah akan memilih sistem terbuka atau tertutup semestinya dilakukan di dalam gedung parlemen, dan tidak kemudian membawa persoalan tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Dan ini konsisten dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi terdahulu terkait dengan pilihan variabel sistem,” katanya.
Menurut Titi, hulu persoalan apakah mau sistem terbuka atau tertutup ada di partai politik. ”Kalau kami, kan, mendukungnya, MK menempatkan ini sebagai open legal policy, kebijakan politik hukum terbuka pembentuk undang-undang. Serahkan kepada pembentuk undang-undang untuk memilih dengan pakem-pakemnya,” ujarnya.
Menurut Titi, pakem yang dimaksud antara lain menegaskan terlebih dahulu tujuan pemilu. Pemilu bukan sekadar memilih orang, melainkan juga mewujudkan perdamaian, membentuk kohesi sosial, representasi, akuntabilitas pemerintahan, dan seterusnya.
”Mengapa kemudian kalau Mahkamah (Konstitusi) serta-merta mengubah sistem, misalnya, di luar dugaan kita nih, Mahkamah (Konstitusi) menyatakan tertutup yang paling konstitusional, (maka) satu, itu menyulitkan kita melakukan inovasi dan modifikasi ke depan yang lebih baik dari sisi pilihan-pilihan sistem,” katanya.
Titi menuturkan, di masa depan dimungkinkan yang diinginkan bukan sistem pemilu tertutup atau terbuka, melainkan sistem pemilu campuran, yakni kombinasi antara pluralitas mayoritas dan proporsional.
Kedua, desain kerangka hukum pemilu pun belum didesain untuk penegakan hukum sistem pemilu proporsional tertutup. ”(Hal) ini karena yang diatur baru praktik jual beli suara yang melibatkan pemilih. Tetapi jual beli kursi, jual beli tiket pencalonan, cari pasalnya di UU Pemilu itu susah ditegakkan. Sampai hari ini saja selalu mentok karena pasalnya tidak ada,” tutur Titi.
”Apabila MK sampai memutuskan sistem yang konstitusional adalah sistem pemilu tertutup, tanpa ada jaminan paksaan demokrasi partai, maka implikasinya adalah politik akan makin elitis dan hegemonik pada kelompok atau orang-orang tertentu di partai. ”
Apabila MK sampai memutuskan sistem yang konstitusional adalah sistem pemilu tertutup, tanpa ada jaminan paksaan demokrasi partai, maka implikasinya adalah politik akan makin elitis dan hegemonik pada kelompok atau orang-orang tertentu di partai. ”Di (sistem pemilihan) terbuka saja yang menentukan hanya ketum atau sekjen atau beberapa elite partai. Apalagi ditutup,” kata Titi.
Titi menuturkan, karena sistem pemilu DPR dan DPRD tidak diatur jelas dalam konstitusi, MK sebaiknya menempatkan diri dalam konteks memberikan rambu-rambu, pakem-pakem, prinsip-prinsip ketika misalnya pembentuk UU ingin mengevaluasi sistem. ”Tentu dengan memperkuat kedaulatan rakyat, representasi, kualitas demokrasi, dan seterusnya,” ujarnya.
Buka klausul
Sementara itu, Adi Prayitno menuturkan, belakangan ada sejumlah warga negara yang menggugat sistem proporsional terbuka dan membawanya ke MK. Delapan partai politik yang kemarin menolak soal proporsional tertutup semestinya membuka klausul pembahasan UU Pemilu terkait hal ini di DPR.
”Dibuka kembali, toh pemilu kita masih lama kok. Di tengah wacana penundaan pemilu, tiga periode, dan seterusnya, masih ada rentang waktu sekitar sembilan bulan untuk membahas ini di DPR yang memang tugas fungsinya untuk mengurus tentang regulasi,” kata Adi.
Delapan partai politik secara kuorum dapat melaksanakan rapat-rapat di DPR, termasuk paripurna, panitia khusus, panitia kerja, dan seterusnya untuk membahas soal sistem proporsional terbuka atau tertutup ini. ”DPR itu, kan, sangat terbiasa membuat sesuatu itu dalam sekejap. Revisi UU KPK, cepat. Apa lagi? Ciptaker, cepat. Apa iya untuk urusan (memutuskan) proporsional terbuka atau tertutup juga tidak bisa ketok palu dalam waktu dekat?” ujar Adi.
DPR itu, kan, sangat terbiasa membuat sesuatu itu dalam sekejap. Revisi UU KPK, cepat. Apa lagi? Ciptaker, cepat. Apa iya untuk urusan (memutuskan) proporsional terbuka atau tertutup juga tidak bisa ketok palu dalam waktu dekat?
Menurut Adi, langkah seperti ini adalah proses legislasi dan proses politik yang mestinya harus dipegang teguh oleh DPR. ”Sambil menunggu, misalnya, keputusan di Mahkamah Konstitusi. Jadi, ini adalah satu proses yang sebenarnya ingin ditunggu. Bukan hanya deklarasi bersama teman-teman (delapan) partai itu di luar parlemen yang tidak ada kekuatan hukumnya, yang bisa dilihat sebagai bentuk keseriusan bahwa mereka itu menolak proporsional tertutup,” katanya. (CAS)