Dana Daerah Mengendap, Presiden Jokowi Dorong Pemda Punya Dana Abadi
Presiden Jokowi menyatakan, anggaran daerah yang mengendap di bank agar dijadikan dana abadi sehingga bisa diinvestasikan. Mengenai banyaknya anggaran yang idle ini, pemerintah daerah dinilai juga perlu diberi kemudahan.
Oleh
NINA SUSILO, MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
·6 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Presiden Joko Widodo kembali menyoroti anggaran daerah yang masih mengendap di rekening bank dalam jumlah besar. Di sisi lain, pemerintah daerah berharap pemerintah pusat mempercepat pencairan anggaran atau memberi instrumen untuk memastikan anggaran daerah tidak mengendap di bank.
Anggaran daerah yang masih ada di rekening bank pada akhir 2022 mencapai Rp 123 triliun. ”Ini jangan ditepuktangani. Sekarang saya lihat harian itu. Kita lihat ini uangnya provinsi ada berapa, uangnya kabupaten ada berapa, uangnya kota ada berapa. Yang paling banyak di provinsi mana, yang paling banyak di kota mana, yang paling banyak di kabupaten mana,” tutur Presiden Joko Widodo dalam pembukaan rapat koordinasi Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023).
Pembukaan rakor Forkopimda juga dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Jaksa Agung St Burhanuddin.
Presiden Jokowi pun mengajak kepada pemerintah daerah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) cukup besar untuk menyusun program sebelum tahun anggaran berjalan. Dengan demikian, alokasi anggaran tidak menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran (silpa).
Ketimbang menjadi silpa, lanjut Presiden Jokowi, pemerintah saat ini memberi ruang untuk membentuk dana abadi (sovereign wealth fund). Pemerintah pusat saat ini sudah memilikinya. Pemerintah daerah, kata Presiden, juga bisa seperti itu. ”(Daerah) Yang memiliki PAD besar disisihkan, ditabung di dana abadi. Sudah ada dalam undang-undang maupun peraturan pemerintah terkait hubungan keuangan pusat dan daerah,” tuturnya.
Di tingkat pusat, Presiden mencontohkan, dana abadi pendidikan sampai 2022 sudah terkumpul Rp 124 triliun. Tahun 2023 ini, dana abadi pendidikan diperkirakan menjadi Rp 144 triliun. ”Daerah juga bisa melakukan hal yang sama dan itu kalau menjadi dana abadi, bisa diinvestasikan. Ikut investasi di INA-Indonesia investment authority. Dengan return yang jauh lebih tinggi,” tambah Presiden.
Di sela rakor, beberapa kepala daerah meminta pemerintah pusat tidak sekadar menyalahkan pemerintah daerah.
Di sela rakor, beberapa kepala daerah meminta pemerintah pusat tidak sekadar menyalahkan pemerintah daerah. Tata kelola pencairan anggaran daerah perlu diperbaiki supaya transfer daerah tidak terlambat, demikian pula petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis penggunaan anggaran tersebut.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta Kementerian Keuangan menggunakan data riil dalam melihat anggaran daerah yang belum dibelanjakan. Pemerintah Provinsi Jateng, misalnya, bisa memberikan tautan mengenai data riil anggaran daerah yang sudah dibelanjakan dan belum digunakan. Sebab, APBD Jateng sudah didigitalisasi.
Di sisi lain, menurut Ganjar, anggaran daerah bisa mandek akibat beberapa hal. Pertama, pencairan anggaran yang terlampau mendekati penutupan tahun anggaran. Anggaran tidak bisa terserap baik. Sebab, untuk menggunakannya, pemda harus menunggu APBD perubahan, sementara waktu tutup tahun anggaran sudah tiba.
Untuk anggaran yang dicairkan terlambat ini, menurut Ganjar, solusinya ada, misalnya Kementerian Keuangan bisa memberikan payung hukum supaya pemda tetap bisa menggunakan anggaran di awal tahun anggaran.
Kedua, ada beberapa alokasi yang memang harus ditabung seperti dana untuk penyelenggaraan pilkada. Anggaran pun mengendap di rekening.
Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat juga menolak apabila pemerintah daerah dinilai tidak mau segera membelanjakan anggarannya. Dia meminta pemerintah pusat mengecek betul apakah anggaran yang disebut mengendap di rekening sudah betul-betul sampai ke pemerintah daerah. ”Dana transfer itu, data administrasi kertasnya ada (di daerah), tapi fisiknya di pemerintah pusat. Jadi, terlambat dari pusat, bukan dari daerah,” ujarnya.
Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto yang juga Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menambahkan, pemerintah daerah tidak dengan sengaja mengendapkan anggarannya. Justru tidak terserapnya anggaran lebih banyak akibat lambatnya regulasi seperti petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksana (juklak) dari pemerintah pusat.
”Ketika anggaran datang, DAK/DAU (dana alokasi khusus/dana alokasi umum) telat, juklak dan juknis telat, maka tidak terserap. Persoalan ini harus dikembalikan lagi kepada pemerintah pusat,” ujarnya kepada wartawan.
Perlu ada terobosan
Secara terpisah, Guru Besar Ilmu Pemerintahan Daerah Prof Dr Djohermansyah Djohan menyoroti problem penyerapan anggaran daerah yang terus terulang setiap tahun. Menurut dia, perlu ada perbaikan terobosan, baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah daerah. Dana APBD yang mengendap di bank pada akhir tahun 2022 sebesar Rp 123 triliun dinilai sebagai jumlah yang besar atau 10-20 persen dari keseluruhan anggaran.
”Uang yang cukup banyak itu harusnya bisa jadi berbagai macam produk yang bisa menyejahterakan masyarakat, untuk menurunkan tingkat kemiskinan hingga mengembangkan kota. Menjadi idle yang menjadi sia-sia. Artinya dengan begitu ini menjadi cerita berulang,” tambahnya.
Djohermansyah menegaskan bahwa pemerintah daerah harus diberi ruang dan kemudahan agar punya kapasitas dalam menjalankan uang yang diturunkan dari pemerintah pusat. Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis harus diberikan tepat waktu dan jangan terlambat. Program dan kegiatan yang disiapkan juga harus diberi kemudahan seperti soal pengadaan tanah agar tidak ada kendala di lapangan.
Pemerintah pusat sebagai pemberi kewenangan juga harus mendorong dan mengawasi daerah. Pihak Istana Kepresidenan diharapkan juga memantau secara langsung untuk perkembangan pembangunan dan program daerah itu. Dengan demikian, penyusun anggaran bisa segera mengoreksi jika penyerapan rendah.
”Zaman (Presiden) Soeharto, ada Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan. Pusat bisa mengawasi langsung dan melakukan tindakan korektif yang menghambat percepatan pembangunan. Jangan berulang di ujung,” papar Djohermansyah.
Pemerintah daerah harus diberi ruang dan kemudahan agar punya kapasitas dalam menjalankan uang yang diturunkan dari pemerintah pusat.
Teguran mengenai anggaran daerah yang mengendap di rekening bank sudah berkali-kali disampaikan Presiden Jokowi kepada kepala daerah. Terakhir, Presiden menyampaikan dalam pembukaan rapat koordinasi nasional investasi tahun 2022 di Jakarta, Rabu (30/11/2022). Saat itu, anggaran daerah yang mengendap mencapai Rp 278 triliun.
Sepanjang 2016 sampai 2021, sorotan sama disampaikan beberapa kali. Dalam pengarahan kepada para kepala daerah hasil pilkada serentak 2015 di Istana Negara, Jakarta, Presiden meminta kepala daerah mempercepat penyerapan anggaran. Sebab, anggaran daerah yang mengendap di bank masih Rp 183 triliun.
Tahun 2021, hal sama disampaikan dua kali. Pada Pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) 2021 di Istana Negara, Jakarta, 4 Mei 2021, Presiden menyentil anggaran daerah yang masih di bank sebanyak Rp 182 triliun. Dalam Rakornas dan Anugerah Layanan Investasi 2021 pada 24 November 2021, Presiden juga mengingatkan anggaran pemda yang mengendap di bank mencapai Rp 226 triliun. Presiden minta penyerapan atau belanja APBD secepatnya dioptimalkan.
Di sisi lain, Djohermansyah menyambut baik pernyataan Presiden Jokowi agar pemerintah daerah memiliki dana abadi yang selama ini hanya dimiliki oleh pemerintah pusat. Kepemilikan dana abadi di tingkat daerah ini akan sangat membantu pemerintah daerah karena bisa mengelola dana dalam beberapa tahun, tidak harus diselesaikan dalam satu tahun anggaran seperti saat ini.
Namun, Pemerintah Pusat harus menyiapkan instrumen regulasi agar daerah diperbolehkan punya dana abadi. ”Mestinya dimungkinkan buat daerah sehingga punya kekuatan finansial untuk mempercepat program kegiatan, misal untuk pengadaan atau penyediaan tanah dan untuk kepentingan sarana untuk kepentingan percepatan program akan membantu menurunkan silpa,” ujar Djohermansyah.